Analisis

Menyoal Ketimpangan Simpanan Masyarakat

Oleh Eko B Supriyanto

Debat kedua tanggal 17 Februari 2019 secara tak sengaja mengungkap kondisi riil dalam penguasaan ekonomi. Ketika Jokowi bertanya kepada Prabowo, dalam debat yang membosankan tanpa visi itu, terungkap soal kepemilikan tanah/lahan. Disebutkan bahwa Prabowo memiliki tanah yang luas, ratusan ribu hektare, di Kalimantan. Keesokan harinya diungkap di beberapa media, ternyata yang punya tanah luas tidak hanya Prabowo, tapi juga sejumlah kalangan di sekitar Jokowi.

Ketimpangan soal kepemi-li-kan tanah ini memang sangat serius. Ketimpangan makin meningkat, terutama setelah diterapkannya otonomi daerah. Pembagian lahan dalam rangka modal politik pilkada makin sering terjadi. Penduduk setempat makin terpinggirkan dengan adanya konsesi-konsesi yang diberikan kepada perusahaan. Bayangkan, ada perusahaan yang memegang land bank mencapai 2 juta hektare. Sementara, masih banyak penduduk, yang jangankan punya tanah, membeli lahan untuk kuburan saja belum mampu.

Inilah bom waktu Indonesia di masa mendatang. Sudah enam presiden—dari Presiden Soeharto, B.J. Habibie, Abdurahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarno-putri, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Joko Widodo (Jokowi). Dari enam presiden, ada satu persoalan yang belum terselesaikan, yaitu soal ketimpangan.

Menurut catatan Infobank, setidaknya ada tujuh ketimpangan yang mengadang di depan mata kita. Satu, ketimpangan/kesenjangan kesejahte-raan—antara “Si Kaya” dan “Si Miskin” (0,391). Disparitas kemiskinan masyarakat perkotaan dan perdesaan relatif masih tinggi. Dua, ketimpangan pengusaan lahan, masih 0,71 dan di atas gini pengeluaran. Rata-rata kepemilikan lahan di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara di Asia Pasifik. Tiga, ketimpangan kesehatan dan gizi buruk. Masih belum meratanya bantuan kesehatan antara kota dan desa.

Empat, ketimpangan pendidikan. Meski sudah ada kucuran dana untuk pendidikan sebesar 20% dari APBN, tetap saja akses pendidikan antar-penduduk belum merata. Masih banyak penduduk Indonesia yang berpendidikan rendah (SMP). Ada kesenjangan pendidikan antara Indonesia barat dan Indonesia timur.

Lima, ketimpangan penguasaan kredit. Penguasaan kredit masih tetap berada pada kantong-kantong uang, yaitu di Jawa, dan tentunya masih di Jakarta. Hampir setengah-nya kredit terkonsentrasi di Jakarta (48%) dan masih sulitnya penyaluran kredit ke sektor UMKM.

Enam, ketimpangan produk domestik bruto (PDB). PDB masih tetap terpusat di Jawa dengan share 58,57%. Tujuh, ketimpangan kepemilikan dana antardaerah, yang masih sangat lebar, antara Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur dengan Sumatra, Kalimantan, apalagi Nusa Tenggara.

Ketimpangan lain yaitu masalah kepemilikan simpanan di bank. Saat ini 64% simpanan di bank hanya dikuasai 0,25% pemilik rekening (pemilik simpanan di atas Rp1 miliar).

Kepemilikan simpanan di bank ini tidak berubah. Memang sudah banyak masyarakat yang bereke-ning, tapi rekeningnya tidak banyak “saldonya”. Makin banyaknya masyarakat yang dilayani bank merupakan satu sisi yang baik, tapi data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sudah banyak berbicara panjang lebar tentang penguasaan uang oleh masyarakat.

Sudah waktunya semua pihak berbicara mengenai ketimbangan di banyak hal. Bahwa di mana-mana di dunia ada kesenjangan, tapi kesenjangan makin bekerja sempurna ketika penguasaan aset keuangan hanya jatuh tidak lebih pada 100 keluarga. Politik yang tiba-tiba ingar bingar belakangan ini bisa jadi muasalnya dari soal kesenjangan ekonomi ini.

Siapa pun presiden terpilih nanti setidaknya ia bisa menekan ketimpangan. Sebab, ketimpangan ini merupakan “bom waktu” yang sewaktu-waktu bisa meledak dengan ongkos ekonomi dan sosial yang jauh lebih mahal. Apalagi, ketimpangan peluang sejak lahir dapat menjelaskan sebagian besar ketimpangan pendapatan di masa depan.

Jadi, musuh kita semua adalah soal ketimpangan ini dan terutama urusan “kantong”. Jika simpanan di bank ini meningkat, politik identitas akan gugur. Kita dorong pertumbuhan yang berkualitas yang menciptakan tenaga kerja dan mengurangi kemiskinan, maka kantong di bank otomatis akan tebal sendiri.

Penulis adalah Pimpinan Redaksi InfoBank

Risca Vilana

Recent Posts

BNI Sumbang Rp77 Triliun ke Penerimaan Negara dalam 5 Tahun

Jakarta - PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI mencatatkan kontribusi terhadap penerimaan negara… Read More

5 hours ago

BI Gratiskan Biaya MDR QRIS untuk Transaksi hingga Rp500 Ribu, Ini Respons AstraPay

Jakarta - PT Astra Digital Arta (AstraPay) merespons kebijakan anyar Bank Indonesia (BI) terkait biaya Merchant Discount… Read More

6 hours ago

AstraPay Bidik 16,5 Juta Pengguna di 2025, Begini Strateginya

Jakarta - Aplikasi pembayaran digital dari grup Astra, PT Astra Digital Arta (AstraPay) membidik penambahan total pengguna… Read More

6 hours ago

Askrindo Dukung Gerakan Anak Sehat Indonesia di Labuan Bajo

Labuan Bajo – PT Askrindo sebagai anggota holding BUMN Asuransi, Penjaminan dan Investasi Indonesia Financial… Read More

6 hours ago

Presiden Prabowo Dianugerahi Tanda Kehormatan Tertinggi El Sol del Perú, Ini Maknanya

Jakarta - Presiden Prabowo Subianto memperoleh tanda kehormatan tertinggi, yakni “Grand Cross of the Order… Read More

7 hours ago

RUPS PLN Rombak Pengurus, Berikut Direksi dan Komisaris Terbarunya

Jakarta – PT PLN (Persero) telah melakukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), pada Kamis (14/11).… Read More

8 hours ago