oleh Agung Galih Satwiko
DALAM beberapa pemberitaan belakangan ini mengemuka pembahasan mengenai kesulitan industri asuransi dan dana pensiun memenuhi kewajiban investasi di Surat Berharga Negara (SBN). Sebagaimana diketahui, POJK nomor 1 Tahun 2016 tentang Investasi SBN Bagi Lembaga Jasa Keuangan (LJK) Nonbank mengatur penempatan investasi lembaga jasa keuangan pada SBN dengan menetapkan kewajiban minimum investasi pada SBN.
Bagi perusahaan asuransi jiwa, minimal 30% dari seluruh jumlah investasi perusahaan harus ditempatkan pada SBN, dengan masa transisi 20% sampai akhir 2016 dan 30% sampai akhir 2017. Adapun bagi asuransi umum, reasuransi dan lembaga penjaminan, investasi pada SBN minimal 20% dari seluruh jumlah investasi perusahaan dengan masa transisi 10% sampai akhir 2016 dan 20% sampai akhir 2017. Sementara untuk dana pensiun pemberi kerja investasi pada SBN ditetapkan minimal 30% dari seluruh jumlah investasi perusahaan, dengan masa transisi 20% sampai akhir 2016 dan 30% sampai akhir 2017. Demikian juga untuk BPJS Ketenagakerjaan maupun BPJS Kesehatan minimal 30% dari seluruh jumlah investasi perusahaan harus ditempatkan di SBN paling lambat akhir 2016.
Pengaturan mengenai batas minimal investasi pada SBN ini merupakan kebijakan yang tepat dalam rangka mendorong penempatan investasi yang aman dan sesuai dengan karakteristik kewajiban lembaga jasa keuangan non bank yang bersifat jangka panjang. Selain itu kebijakan ini tentu juga akan mendorong peran investor domestik dalam pembiayaan pembangunan nasional serta meningkatkan partisipasi investor domestik dalam kepemilikan SBN Rupiah yang diperdagangkan yang saat ini sekitar 39%-nya, atau sebesar Rp621 triliun, dimiliki oleh investor asing (data per 19 April 2016).
Tingginya porsi kepemilikan asing di pasar SBN domestik membuat stabilitas sistem keuangan rentan terhadap sudden reversal/ pembalikan dana asing. Pembalikan dana asing dapat terjadi tidak hanya karena faktor fundamental Indonesia namun juga karena faktor eksternal yang tidak dapat kita kendalikan, seperti kenaikan tingkat bunga Fed Fund rate, British Exit (Brexit), pelemahan pertumbuhan ekonomi di China, harga minyak dunia, dan lain-lain. Faktor eksternal tersebut dapat memicu pembalikan dana asing yang membuat yield/imbal hasil SBN naik sehingga pemegang obligasi lainnya merugi, Rupiah melemah, current account menjadi defisit, cadangan devisa terkuras, bahkan rating dapat turun dan sebagainya. Oleh karena itu sangat penting untuk membangun basis investor domestik yang dapat menjadi tulang punggung investor SBN. Jepang misalnya sekitar 90% pemegang Japan Government Bonds adalah investor domestik, demikian juga dengan Korea yang juga sekitar 90%-nya dipegang oleh investor domestik (data per akhir 2015). Adapun di Thailand, sekitar 85% pemegang obligasi Negara Thailand adalah investor domestik. Bandingkan dengan Indonesia yang “hanya” sekitar 61% SBN dipegang investor domestik.
Kembali kepada pemberitaan mengenai kesulitan lembaga jasa keuangan non bank dalam memenuhi ketentuan dalam POJK dimaksud, perlu dipahami bahwa pembelian SBN tersebut dapat dilakukan baik di pasar perdana maupun di pasar sekunder. Pembelian di pasar perdana dapat dilakukan melalui keikutsertaan LJK nonbank dalam lelang Surat Utang Negara (SUN) maupun lelang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk yang dilakukan setiap minggu secara bergantian oleh Pemerintah.
Bagaimana strateginya agar LJK nonbank dapat meningkatkan success rate dalam lelang SBN? Tentunya untuk lelang dengan cara kompetitif, order pemesanan juga harus kompetitif. Jelas saja LJK nonbank tidak memenangkan lelang SBN jika menempatkan yield yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan harga wajar di pasar. Selain meneempatkan order dengan yield yang kompetitif, LJK nonbank juga dapat melakukan strategi penyebaran order pada berbagai tingkat yield untuk lebih meningkatkan kesempatan memenangkan lelang SBN (memecah order pemesanan). Dengan strategi ini paling tidak akan ada sebagian order yang dimenangkan. Bahkan jika cukup kompetitif, dapat saja semua order akan dimenangkan.
Cara lain untuk meningkatkan kesempatan menang di lelang SBN ialah memasukkan pemesanan melalui pemesanan nonkompetitif. Dalam setiap lelang SUN, Pemerintah menjamin pemesanan nonkompetitif akan selalu dimenangkan maksimal 30% dari yang dimenangkan (untuk obligasi Negara). Apa itu pemesanan nonkompetitif? Secara sederhana pemesanan nonkompetitif adalah pemesanan pada lelang SBN yang hanya menyebutkan jumlah SBN yang ingin dipesan tanpa menyebutkan yield yang diharapkan.
Yield atau tingkat imbal hasil bagi pemesan nonkompetitif akan ditetapkan setelah keputusan hasil lelang, yaitu weighted average yield dari pemesanan kompetitif yang dimenangkan. Jadi jika diambil contoh lelang SUN 12 April lalu dimana Pemerintah memenangkan sebesar Rp14 triliun untuk obligasi Negara, maka maksimal sebesar Rp4,2 triliun (30%) pemesanan nonkompetitif pasti akan dimenangkan. LJK nonbank akan memperoleh imbal hasil sebesar rata-rata tertimbang dari penawaran kompetitif yang dimenangkan (Rp9,8 triliun).
Tingkat imbal hasil ini memang diluar kendali LJK nonbank, namun di sisi lain, memenangkan lelang dengan cara ini justru tidak banyak menimbulkan pertanyaan dari shareholder atau auditor, karena yield diserahkan pada mekanisme lelang yang kompetitif. Selain itu meskipun tidak memperoleh yield yang tertinggi, namun paling tidak LJK nonbank juga tidak memperoleh yield terendah, LJK nonbank memperoleh yield sebesar rata-rata tertimbang.
Sementara itu cara lain untuk memperoleh SBN di pasar perdana yang mungkin belum banyak diketahui oleh pelaku pasar ialah melalui private placement. Berdasarkan PMK (Peraturan Menteri Keuangan) Nomor 118 tahun 2015 tentang Penjualan Surat Utang Negara dalam Mata Uang Rupiah dan Valuta Asing di Pasar Perdana Domestik dengan cara Private Placement. Private placement SUN ialah metode penjualan SUN yang dilakukan oleh Pemerintah denngan pihak, dengan ketentuan dan persyaratan SUN sesuai kesepakatan. Artinya metode penerbitan ini tidak melalui lelang, namun melalui jalur proposal kepada Pemerintah dan ditindaklanjuti dengan proses negosiasi.
Tujuan penjualan SUN dengan cara private placement bagi Pemerintah ialah di antaranya untuk melakukan diversifikasi instrumen SUN dan untuk memperluas basis investor. Tujuan ini sejalan dengan kewajiban yang ditentukan dalam POJK yaitu investasi pada SBN oleh LJK nonbank khususnya yang bersifat jangka panjang. Artinya kewajiban investasi SBN oleh LJK nonbank akan memperluas basis investor SUN. Instrumen yang dinegosiasikan dapat berupa instrumen SUN jangka panjang. Kans untuk memperoleh SUN melalui private placement akan semakin tinggi jika seri SUN yang diminta LJK nonbank adalah seri SUN non-benchmark yaitu misalnya untuk SUN tradable dengan tenor di atas 20 tahun, atau SUN tradable di antara tenor 15 dan 20 tahun. Hal itu karena seri-seri non benchmark tidak dilelang oleh Pemerintah.
Bagaimana persyaratannya? LJK nonbank dapat menunjuk salah satu dealer utama SUN untuk menyampaikan proposal pembelian SUN melalui cara private placement. Adapun jumlah minimal adalah sebesar Rp300 miliar untuk satu seri SUN. Apabila dirasa jumlah ini terlalu besar bagi suatu LJK nonbank, maka LJK nonbank dapat bergabung dengan LJK nonbank lainnya dan melakukan pemesanan gabungan kepada Pemerintah melalui satu dealer utama yang ditunjuk. Selanjutnya apabila disetujui maka akan ditindaklanjuti dengan proses negosiasi tingkat imbal hasil yang diharapkan. Negosiasi akan dilakukan antara Pemerintah dengan dealer utama, yang mewakili LJK nonbank. Perlu diketahui bahwa aturan private placement juga dibuka untuk instrumen SBSN. LJK nonbank khususnya yang berdasarkan prinsip syariah kiranya dapat membaca ketentuan dalam PMK nomor 239 tahun 2012 tentang Penerbitan dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara dengan Cara Penempatan Langsung (Private Placement).
Jika pembelian SBN di pasar perdana melalui cara-cara di atas juga belum mencukupi kebutuhan LJK nonbank, maka tentunya harus dilakukan pembelian SBN melalui pasar sekunder, atau melalui reksa dana berbasis SBN. Penulis berpendapat, LJK nonbank tidak seharusnya kesulitan memperoleh SBN sepanjang melakukan langkah-langkah di atas. Dan penulis yakin bahwa dengan tujuan untuk meningkatkan basis investor domestik, seharusnya program OJK ini akan didukung oleh Pemerintah dengan menyediakan suplai SBN yang cukup, baik melalui lelang maupun private placement. (*)
Penulis adalah staf Wakil Ketua DK OJK
Serang - PT Bank Pembangunan Daerah Banten Tbk (Bank Banten) berencana mengambil alih (take over)… Read More
Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekspor pada Oktober 2024 mengalami peningkatan. Tercatat, nilai ekspor Oktober… Read More
Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia pada Oktober 2024 mencatatkan surplus sebesar USD2,48… Read More
Serang - PT Bank Pembangunan Daerah Banten Tbk (Bank Banten) baru saja menggelar Rapat Umum… Read More
Jakarta - Rupiah diperkirakan akan melanjutkan pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) seiring penguatan dolar… Read More
Jakarta - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memblokir sejumlah rekening milik Ivan Sugianto… Read More