Oleh Eko B. Supriyanto Pemimpin Redaksi Infobank
Bank Indonesia (BI) tetap saja belum meracik jamu pahit. Selama 15 bulan suku bunga acuan BI, BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR), berturut-turut rendah. Inflasi yang mulai membakar dunia, seperti di Amerika, Inggris, dan belahan dunia lainnya – diyakini belum akan merembet ke Indonesia.
Cerita ahead the curve akhir 2018 tak lagi populer, meski The Federal Reserve (The Fed) sudah berkali-kali menaikkan suku bunga. Kini ceritanya bukan lagi ahead the curve, tapi sepertinya behind the curve yang samar-samar tampak dari Jalan Thamrin (Gedung BI).
Apakah ahead the curve atau behind the curve yang akan diambil BI, itu tak begitu penting. Yang penting sekarang adalah asal moneter stabil, baik rupiah maupun inflasi yang terus membakar ekonomi global. Namun, yang perlu terus diperhatikan, rupiah dan inflasi masih seperti “api dalam sekam” – yang tiba-tiba bisa menekan.
Dalam 15 bulan berturut-turut, BI masih mempertahankan BI7DRR di level 3,5% atau di level terendahnya, seperti diputuskan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, Mei 2022. Gubernur BI, Perry Warjiyo, mengatakan, keputusan itu sejalan dengan perlunya BI menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan tingkat inflasi.
Pada akhir 2018, stance kebijakan pre-emptif dan ahead the curve akan diambil BI, khususnya untuk menjaga rupiah dari dampak ekonomi global. Namun, kebijakan itu urung diambil BI, meski kenaikan suku bunga sudah dilakukan The Fed dan Bank of England.
BI masih cukup percaya diri dengan jamu-jamu manisnya. Dan, kenaikan suku bunga acuan BI merupakan jamu pahit. Ada lima jamu yang dikenalkan Perry Warjiyo; satu jamu pahit, yaitu kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas dan empat jamu manis, seperti pelonggaran makro-prudensial, pendalaman pasar keuangan untuk pembiayaan infrastruktur, termasuk sistem pembayaran digital ekonomi finance, juga (mendorong) ekonomi keuangan syariah.
Itu artinya jamu pahit belum disajikan BI, dan langkah ahead the curve juga tidak dilakukan lagi. Tanda-tanda inflasi masih dinilai rendah atau di bawah target BI sendiri. Inflasi yang jadi target 3% plus minus 1, meski plus minus satu itu besar, atau setara dengan 33% target.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi pada April 2022 yang sebesar 0,95% adalah inflasi tertinggi sejak Januari 2017. Kala itu inflasi tercatat 0,97%. Sedangkan, jika dilihat secara tahunan, inflasi April ini 3,47% merupakan angka tertinggi sejak Agustus 2019, di mana saat itu terjadi inflasi 3,49%. Saat sampai Mei 2022, inflasi makin tinggi, selama setahun (YoY) angka inflasi mencapai 3,55%. Angka ini memang masih di bawah target BI sebesar 3% plus minus 1. Tanda-tanda inflasi menjadi “copet” bagi uang rumah tangga sudah terjadi. Perlu jamu pahit berupa kenaikan suku bunga.
Kendati demikian, jamu pahit belum juga diseduh BI, dan tetap mengeluarkan jamu manis berupa kenaikan giro wajib minimum (GWM). Kewajiban GWM rupiah untuk bank umum konvensional yang pada saat ini 5% akan naik menjadi 6% mulai 1 Juni 2022, kemudian naik menjadi 7,5% mulai 1 Juli 2022, dan menjadi 9% mulai 1 September 2022.
Sementara itu, kewajiban GWM rupiah untuk bank syariah dan unit usaha syariah (UUS) juga akan dinaikkan secara bertahap. Saat ini besaran GWM untuk kategori ini 4%, akan naik menjadi 4,5% mulai 1 Juni 2022, lalu naik lagi menjadi 6% mulai 1 Juli 2022, dan menjadi 7,5% mulai 1 September 2022.
Tampaknya BI akan mempercepat normalisasi kebijakan likuiditas melalui kenaikan GWM secara bertahap. Hal ini bisa jadi berkaitan erat dengan kebijakan burden sharing BI dengan membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana yang akan berakhir di 2022 ini. Kebijakan ini akan diberi insentif dengan mengaitkan pemenuhan GWM dan pemberian kredit sektor prioritas dan pemenuhan target UMKM.
Sementara, di luar BI, yaitu kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak konsisten dan membingungkan pasar, seperti kebijakan “pagi tempe, sore dele” yang terjadi di minyak goreng. Hal yang sama juga terjadi pada kebijakan ekspor batu bara.
Larangan ini juga akan mengganggu cadangan devisa. Data BI menyebutkan, pada Maret 2022, US$135,7 miliar, jeblok US$3,4 miliar. Dan, larangan ekspor yang berlaku April 2022 boleh jadi akan menurunkan cadangan devisa yang lebih besar.
Banyak kebijakan yang zig-zag. Tak terhitung, berapa banyak kebijakan soal penanganan pandemi COVID-19 digonta-ganti. Meski tak ada kaitannya, acara pelantikan ADK OJK 2022-2027 yang sudah disiapkan secara matang, toh ditunda juga. Kebijakan plin-plan itu semua telah menurunkan kredi-bilitas pemerintah. Dan, tentu, BI juga akan makin berat menghadapi kebijakan yang terus berubah di sektor riil.
Ada baiknya BI mengambil langkah tak melulu jamu manis. Jamu pahit pun kadang bisa mengobati sakit. Inflasi yang merupakan “tuyul” halus bagi perekonomian yang tertekan karena krisis global akibat perang Ukraina versus Rusia – di mana kenaikan bahan bakar juga sudah terjadi di dalam negeri.
Semoga pemerintah tak lagi membuat kebijakan zig-zag, yang membingungkan pasar, hanya konsep, dan malah sibuk mencari calon presiden – yang akan meninggalkan beban pada pemerintah berikutnya. Dan, jamu pahit pun perlu diseduh mengingat naiknya harga komoditas pangan.
Jakarta – Bank Indonesia (BI) akan memperluas layanan BI FAST dengan menghadirkan fitur transaksi kolektif (bulk… Read More
Jakarta – Harga saham PT Daya Intiguna Yasa Tbk (MDIY) anjlok 24,24 persen atau terkena… Read More
Jakarta - Wakil Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Jakarta sekaligus Anggota Dewan Komisioner… Read More
Bali - Bank Mandiri terus menunjukkan komitmennya dalam mendukung sektor kesehatan melalui penyediaan solusi perbankan… Read More
Jakarta - PT Asuransi Jiwa IFG (IFG Life) menghadirkan produk asuransi perjalanan yang praktis dan… Read More
Jakarta — PT Jalin Pembayaran Nusantara (Jalin), sebagai bagian dari Holding BUMN Danareksa, memperkuat komitmennya… Read More