Oleh Cyrillus Harinowo, Komisaris Independen Bank Central Asia
DALAM beberapa bulan terakhir, perkembangan populasi mobil listrik di Indonesia mengalami peningkatan yang tajam. Perkembangan ini melampaui prediksi saya pada saat saya menulis buku tentang industri mobil listrik di 2021 yang berjudul Towards the Age of Electric Vehicles, yang diterbitkan oleh Gramedia.
Tahun 2025 ini diprediksi populasi mobil listrik di Indonesia akan mencapai sekitar 100.000 unit, atau bahkan lebih. Perkembangan penjualan mobil listrik ini mengalami akselerasi dengan kehadiran banyaknya mobil listrik baru yang dijual dengan harga yang makin terjangkau dengan model yang makin menarik sehingga memungkinkan masyarakat yang lebih luas mulai memiliki mobil semacam itu.
Negara tetangga kita, yaitu Singapura, akan menerapkan larangan pendaftaran (registrasi) mobil ICE (internal combustion engine) baru mulai 2030 setelah mereka juga melakukan pelarangan registrasi mobil dan taksi diesel baru di 2025. Peraturan ini tampaknya mengikuti Norwegia yang sejak 1 Januari 2025 sudah melarang penjualan mobil ICE baru di negara tersebut
Untuk Indonesia, peraturan seperti itu belum secara tegas dikeluarkan. Namun, kita bisa membayangkan bahwa peraturan yang berlaku di Singapura tersebut pasti akan membawa pengaruh yang besar dalam penerapan kebijakan pengembangan industri otomotif di Indonesia.
Perkembangan populasi mobil listrik tersebut ternyata tidaklah terlalu terhambat oleh masih belum memadainya infrastruktur pengisian daya untuk mobil listrik. Dewasa ini, sebagian besar mobil listrik memanfaatkan pengisian daya yang dipasang di rumah para pemiliknya. Pada saat yang sama, infrastruktur pengisian daya untuk publik (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum atau SPKLU) mulai berkembang dengan cepat dengan tulang punggung infrastruktur SPKLU yang dimiliki PLN namun secara bertahap mulai diperkuat oleh jaringan SPKLU swasta yang menjadi mitra PLN maupun yang independen.
Bahkan, dewasa ini makin banyak SPKLU yang menggunakan mesin pengisian ultra cepat dengan kapasitas sampai 120 KW atau bahkan dengan kapasitas yang lebih besar lagi. Dengan demikian, perkembangan jaringan SPKLU yang cepat ini makin memungkinkan perkembangan populasi mobil listrik di Indonesia.
Untuk masa liburan Natal dan Tahun Baru yang akan datang ini pun PLN telah bekerja keras untuk mengembangkan jaringan SPKLU ke berbagai kota maupun tempat-tempat peristirahatan di jaringan jalan tol Trans Jawa sehingga diharapkan masyarakat yang menggunakan kendaran listrik saat berlibur ke luar kota mampu terlayani oleh jaringan insfrastruktur yang makin kuat ini.
Baca juga: Pembiayaan Kendaraan Listrik Diproyeksi Makin “Nyetrum” hingga Akhir 2025
Perkembangan mobil listrik ini, yang dimaksudkan untuk mengurangi emisi karbon sesuai dengan mandat dari Perjanjian Paris Tahun 2015, masih dibayangi oleh suatu pertanyaan. Kalaupun mobilnya rendah emisi, bagaimana jika sumber listriknya masih menghasilkan emisi yang tinggi?
Sebagaimana dimaklumi, pembangkitan energi listrik di Indonesia dewasa ini masih didominasi oleh pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas, yang secara total masih mendominasi sebesar 85 persen dari seluruh kapasitas pembangkitan yang kita miliki.
Situasi ini terjadi karena pada waktu yang lalu Indonesia terlalu fokus mengejar kapasitas untuk menjaga keandalan sistem kelistrikan kita yang dengan cepat harus mengejar kebutuhan listrik yang melonjak tinggi. Jadilah industri listrik kita berlomba untuk mengejar target penambahan sebesar 35.000 MW yang meskipun target tersebut sangat tinggi tetapi ternyata mampu dipenuhi oleh PLN.
Namun demikian, dewasa ini muncul kesadaran yang makin kuat bahwa PLN harus makin memperhatikan bauran energinya sehingga makin lama makin banyak fasilitas pembangkitan yang harus dibangun dengan emisi karbon yang rendah. Itulah sebabnya PLN menggalakkan pengembangan pembangkit listrik tenaga air di berbagai daerah, dari yang kapasitasnya kecil sebagaimana banyak dikembangkan di Sumatera Utara hingga yang kapasitas besar seperti yang saat ini mulai dikembangkan di Kalimantan Utara dan ke depannya di Papua.
PLN juga mendorong pengembangan pembangkit tenaga listrik yang menggunakan tenaga panas bumi (geotermal) di mana potensi yang dimiliki di Indonesia melampaui 20 gigawatt (GW), sedangkan saat ini yang sudah dikembangkan baru mencapai sedikit di atas 2 GW. PLN juga mendorong pengembangan pembangkit listrik tenaga surya dan tenaga angin.
PLTS yang sudah mulai dikembangkan contohnya di Danau Cirata, di Likupang Sulawesi Utara, di IKN, dan juga di tempat-tempat lainnya lagi. Sementara, pembangkit listrik tenaga angin sudah berkembang di Sidrap dan Jeneponto di Sulawesi Selatan. Banyak tempat di sepanjang Pantai Selatan Pulau Jawa juga memiliki potensi untuk dikembangkan.
Pemerintah juga makin getol untuk mendorong pengembangan pembangkit listrik dengan memanfaatkan sampah dan saat ini sudah akan dikembangkan di berbagai kota di Indonesia. Jika ini berhasil dilakukan, maka penanganan masalah sampah bisa dilakukan sekaligus memberikan hasil pada penambahan daya listrik yang dihasilkan.
Banyak perusahaan yang juga telah berhasil mengembangkan pembangkit listrik dari limbah sawit maupun juga dari limbah pabrik pengolahan kertas sebagaimana yang telah berjalan saat ini di PT Oki Pulp and Paper di Sumatera Selatan (yang memiliki kapasitas hingga 500 MW). Kesemuanya itu adalah pembangkitan energi yang rendah emisi, yang akan terus didorong pengembangannya.
Tekad untuk makin mengembangkan pembangkit energi yang rendah emisi tersebut secara resmi sudah dituangkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025 – 2034 dari PLN yang sudah ditandatangani oleh Menteri ESDM pada Mei 2025 yang lalu.
Dalam rencana tersebut, PLN akan mengembangkan kapasitas pembangkit sebesar 69,5 GW dalam jangka waktu 10 tahun, di mana sebesar 76 persen dari kapasitas tersebut akan berasal dari energi baru dan terbarukan (EBT), termasuk pengembangan energi nuklir dan energy storage system (ESS).
Secara lebih terperinci, pembangkit energi dengan menggunakan EBT tersebut akan terdiri atas pembangkit tenaga angin sebesar 7,2 GW, tenaga surya sebesar 17,1 GW, tenaga panas bumi sebesar 5,2 GW, tenaga air sebesar 11,7 GW, dan dari biomassa sebesar 0.9 GW. Dari tenaga nuklir akan dihasilkan 0,5 GW, dari ESS akan dikembangkan sebesar 4,3 GW pumped storage, sedangkan storage yang menggunakan baterai akan dikembangkan sebesar 6,0 GW (27 GWh).
Baca juga: Indonesia Pacu Transisi Energi Sektor Transportasi Lewat Biofuel dan Kendaraan Listrik
Apa itu pumped storage itu? Ini adalah pembangkit energi yang memanfaatkan tenaga air, yang dibangun dengan menggunakan dua dam yaitu di bawah dan di atas sebagaimana yang saat ini dikembangkan di Cisokan di Bandung Barat. Dalam hal ini, dam yang berada di bawah dipergunakan untuk menampung air yang pada waktu siang akan dipompakan ke dam yang di atas menggunakan tenaga listrik yang biayanya murah di waktu siang, sementara air yang di dam atas akan digelontorkan untuk menggerakkan turbin dan menghasilkan listrik pada saat terjadi beban puncak.
Dari rencana pengebangan 4,3 GW pumped storage tersebut, antara lain sistem yang di Sungai Cisokan dibangun dengan kapasitas sampai 1.000 MW sementara sedang akan dibangun di Jatiluhur dengan kapasitas 700 MW.
Dalam RUPTL 2025 – 2034 tersebut, pemerintah juga akan membangun pembangkit listrik non-EBT, yaitu pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar fosil, sebesar 16,6 GW. Dari kapasitas sebesar itu akan dibangun pembangkit listrik tenaga gas (PLTGU) sebesar 10,3 GW, sementara PLTU yang akan mengunakan batu bara masih akan dibangun dengan kapasitas 6,3 GW. Pertanyaannya, kenapa pemerintah masih tetap akan membangun pembangkit listrik dengan menggunakan bahan bakar fosil tersebut?
Sebagaimana diketahui, di dalam industri kelistrikan, dikenal apa yang disebut dengan “base load” atau beban dasar yang harus tersedia untuk menjaga keandalan sistem kelistrikan kita. Jika beban dasar tersebut tidak terpenuhi, maka terdapat risiko terjadinya pemadaman sebagian yang sangat merugikan masyarakat dan dunia usaha.
Beban dasar ini hanya bisa dipenuhi oleh sumber energi listrik yang terus-menerus berproduksi tanpa henti. PLTGU dan PLTU memiliki karakteristik semacam itu. Demikian juga dengan pembangkit listrik geotermal dan nuklir.
Sementara itu, pembangkit listrik yang EBT umumnya memiliki sifat “intermittent”, sehingga tidak cocok jika dipergunakan sebagai bagian dari beban dasar. Oleh karena itu, jika kita menginginkan aliran listrik yang terus-menerus, maka diperlukan alat untuk mengubah dari sifat intermittent tersebut menjadi aliran listrik yang terus-menerus yaitu dengan menggunakan ESS.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut, perencanaan pembangkitan energi sebagaimana yang tertuang dalam RUPTL 2025 – 2034 tersebut sudah merupakan pilihan yang optimal dalam meningkatkan bauran energi ke arah emisi karbon yang rendah namun pada saat yang sama tetap terjaga keandalan sistem kelistrikan kita.
Semoga infrastruktur tenaga listrik di Indonesia terus berkembang namun pada saat yang sama terus berkontribusi dalam menjaga lingkungan kita.
Poin Penting Hashim Djojohadikusumo meraih penghargaan “Inspirational Figure in Environmental and Social Sustainability” berkat perannya… Read More
Poin Penting Mirae Asset merekomendasikan BBCA dan BMRI untuk 2026 karena kualitas aset, EPS yang… Read More
Poin Penting Indonesia menegaskan komitmen memimpin upaya global melawan perubahan iklim, seiring semakin destruktifnya dampak… Read More
Poin Penting OJK menerbitkan POJK 29/2025 untuk menyederhanakan perizinan pergadaian kabupaten/kota, meningkatkan kemudahan berusaha, dan… Read More
Poin Penting Sebanyak 40 perusahaan dan 10 tokoh menerima penghargaan Investing on Climate 2025 atas… Read More
Poin Penting IHSG ditutup melemah 0,09% ke level 8.632 pada 5 Desember 2025, meski beberapa… Read More