Jakarta – Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki mengungkapkan salah satu masalah besar yang dialami oleh UMKM di Indonesia, yakni tidak terhubung langsung dengan industri yang lebih besar di Indonesia.
Peran UMKM di Indonesia sangat besar. Data dari Kemenkop UKM pada 2021 lalu menunjukkan kalau UMKM menyumbang 60,5 persen Pendapatan Domestik Bruto (PDB) di Indonesia. UMKM juga berperan dalam membuka 97 persen lapangan kerja baru, bahkan juga bersumbangsih dalam 15,7 persen ekspor yang dilakukan Indonesia ke luar negeri.
Sayangnya, dengan kinerja seperti ini, Teten menganggap kalau UMKM di Indonesia masih belum produktif karena tidak terintegrasi dengan industri besar di Indonesia. Fenomena ini, menurutnya, berbeda dengan UMKM di luar negeri.
“(UMKM) kita tidak produktif. Apakah UMKM kita menjadi bagian supply dari industri? Tidak. Apakah UMKM kita sudah menerapkan teknologi produksi dengan modern? Tidak. Kalau negara lain sudah (menerapkan),” kata Teten dalam acara BRI Microfinance Outlook 2024 pada Kamis, 7 Maret 2024.
Baca juga: Menumbuhkan UMKM Berbasis Risk Acceptance Criteria (RAC)
Alasan kenapa UMKM tidak terhubung dengan industri yang lebih masif, menurut Teten, disebabkan karena alasan didirikannya UMKM terkait. Ia menjelaskan, kalau banyak UMKM di Indonesia yang didirikan sebagai usaha untuk bertahan hidup alih-alih menjadi bagian dari skema usaha yang lebih besar.
“Sebagian besar pelaku UMKM adalah usaha mikro dan sebagian informal. Lebih ke ekonomi subsisten. Bukan bagian dari rantai pasok usaha besar atau industri,” lanjutnya.
Teten juga berujar, UMKM memiliki sejumlah tantangan dari segi pembiayaan. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2021 lalu mengungkapkan 47 persen UMKM belum mendapat kebutuhan pembiayaan dari lembaga keuangan.
Lebih lanjut, Teten juga menyorot banyak bank yang belum berani menyalurkan pembiayaan ke sektor-sektor produktif seperti perkebunan, peternakan, perikanan dan pertanian. Bank lebih condong membiayai UMKM yang bergerak di sektor perdagangan. Ini disebabkan karena minimnya potensi kredit macet (NPL).
“Serapan kredit UMKM di sektor-sektor unggulan masih rendah. Contoh, di pertanian baru 31 persen. Di perikanan lebih rendah, baru 2 persen. Lalu, ke mana sebagian kredit UMKM kita? Yang paling aman ke sektor perdagangan, karena NPL-nya rendah,” beber Teten.
Baca juga: Dinilai Rugikan UMKM, Kebijakan Retur Barang di E-Commerce Perlu Dievaluasi
Bank ogah memberi kredit ke petani karena potensi NPL-nya tinggi. Contohnya, ada peluang gagal panen, tidak ada kepastian harga atau pasar, dsb. Teten menganggap, masalah ini bisa terselesaikan dengan adanya ekosistem yang baik di sektor ini.
“Ketika kami suntikan dana bergulir untuk koperasi, koperasi kita perkuat capitalnya, sehingga koperasinya membeli tunai dari petani, lalu dari koperasi baru ke market, artinya potensi NPL-nya nggak ada. Bank mau masuk. Ekosistem ini yang harus kita bangun,” terangnya. (*) Mohammad Adrianto Sukarso
Jakarta - PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) terus berkomitmen mendukung pengembangan sektor pariwisata berkelanjutan… Read More
Tangerang - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) meluncurkan program… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat bahwa data perdagangan saham selama periode 16-20… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat di minggu ketiga Desember 2024, aliran modal asing keluar… Read More
Jakarta - PT Asuransi BRI Life meyakini bisnis asuransi jiwa akan tetap tumbuh positif pada… Read More
Jakarta - Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, mengisyaratkan rencana untuk mengakhiri konflik yang berlangsung… Read More