Oleh Ryan Kiryanto, Kepala Ekonom BNI
Dewasa ini kita di kalangan pelaku industri perbankan sedang dihadapkan oleh situasi yang sungguh tidak bersahabat atau tidak kondusif. Ancaman krisis ekonomi global sudah ada di depan mata. Semua itu lantaran merebaknya wabah virus korona, yang dikenal dengan COVID-19.
Pada Maret lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah menyatakan bahwa penyebaran wabah COVID-19 sudah masuk kategori pandemi dunia. Lebih dari 210 negara, baik negara maju, negara berkembang maupun negara terbelakang, terpapar oleh COVID-19.
Pandemi COVID-19 memang jenis pandemi yang berbeda dari sisi kejutan atau shock-nya. Ini lantaran metode pencegahan penularannya harus dilalui berbagai program physical distancing atau social distancing. Bahkan di sejumlah negara sampai harus melakukan lockdown atau karantina wilayah.
Larangan melakukan perjalanan antarkota, antarnegara, bahkan antarbenua pun digelar. Juga larangan orang berkumpul. Toko atau pusat perbelanjaan dan restoran beroperasi terbatas. Juga hotel dan bank. Alhasil, terdapat sejumlah sektor ekonomi atau lapangan usaha yang terdampak langsung oleh COVID-19, yaitu transportasi umum, pariwisata (termasuk perdagangan umum, hotel, restoran dan hiburan), pertanian (termasuk perkebunan dan perikanan), manufaktur (terutama yang bahan baku dan bahan penolongnya harus mengimpor), dan konstruksi (termasuk properti).
Datangnya pandemi COVID-19 yang tak terduga-duga ini membuat limbung kalangan pelaku usaha. Dengan pembatasan mobilitas orang, barang dan jasa, membuat pasokan bahan baku, bahan penolong dan barang jadi terganggu. Mekanisme global manufacture supply chains tidak berjalan efektif. Banyak perusahaan mengurangi kapasitas produksi, tak sedikit pula yang sampai harus menutup usahanya setelah pemutusan hubungan kerja (PHK) dilakukan karena usahanya bangkrut.
Alhasil, debitur pelaku usaha yang memiliki kewajiban utang kepada bank kreditur tentu terkendala. Banknya pun menanggung rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) yang membesar dengan kewajiban membentuk provisi atau cadangan kerugian pengurangan nilai (CKPN) yang melonjak. Ini lantaran rasio loan at risks bank membesar karena terdampak oleh COVID-19. Lembaga keuangan non bank pun mengalami nasib yang sama dengan perbankan sehingga mereka perlu mendapatkan perhatian juga dari pemerintah dan otoritas keuangan.
PERPPU No. 1/2020
Hampir pasti tahun ini kinerja perbankan Indonesia untuk semua kategori BUKU akan terkoreksi cukup signifikan. Mengingat sektor perbankan merupakan sektor yang menjadi andalan untuk menopang laju pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah memberikan kebijakan stimulus kepada sektor perbankan supaya tetap dapat memainkan perannya sebagai lembaga intermediaris.
Implikasi pandemi COVID-19 telah berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang mengalami perlambatan dan penurunan penerimaan negara, peningkatan belanja negara, sehingga diperlukan berbagai upaya pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, social safety net, serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak.
Adanya dampak terhadap ancaman semakin memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik karena langkah-langkah penanganan COVID-19 yang berisiko pada ketidakstabilan makroekonomi dan sistem keuangan yang perlu dimitigasi bersama oleh pemerintah maupun koordinasi kebijakan dalam Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), sehingga diperlukan berbagai upaya pemerintah dan lembaga terkait untuk melakukan tindakan antisipasi (forward looking) untuk menjaga stabilitas sektor keuangan.
Pemerintah dan lembaga terkait perlu segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah luar biasa (extra-ordinary actions) dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan melalui berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan.
Sesuai dengan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 dan menunjuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, kondisi tersebut di atas telah memenuhi parameter sebagai “kegentingan yang memaksa” untuk memberikan kewenangan kepada Presiden menetapkan Perpu antara lain karena adanya:
(a). Kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang (UU);
(b). Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya UU yang saat ini ada; dan
(c) kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Pada intinya COVID-19 telah mengancam keselamatan dan kesehatan masyarakat sehingga penanganan dan pencegahan penyebaran menjadi prioritas tertinggi. Penanganan dan pencegahan COVID-19 akan menyebabkan menurunnya kondisi ekonomi yang serius. Untuk itu, langkah-langkah yang akan diambil sesuai Instruksi Presiden adalah pada fokus kesehatan, social safety net dan bantuan dukungan ke UMKM dan sektor usaha serta lembaga keuangan.
Penanganan dampak COVID-19 akan menambah anggaran sehingga menimbulkan beban APBN yang besar, sehingga APBN 2020 mengalami perubahan signifikan. Diperlukan langkah-langkah relaksasi peraturan perundangan (UU Keuangan Negara, UU Perpajakan, UU Bank Indonesia, UU OJK, UU LPS, dan UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan) untuk mampu menangani kondisi kedaruratan atau kegentingan yang memaksa.
Akhirnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Covid-19. Dalam Perppu tesebut, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), terdiri dari Kemenkeu, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), mendapat perluasan kewenangan.
Pertama, untuk menyelenggarakan rapat dengan pemanfaatan teknologi. Rapat tersebut untuk merumuskan dan menetapkan langkah-langkah penanganan masalah stabilitas sektor keuangan serta menetapkan skema pemberian dukungan pemerintah untuk penanganan permasalahan.
Adapun kewenangan BI, tertuang pada pasal 16 disebutkan BI dapat memberi pinjaman atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan sistem syariah kepada bank sistemik atau bank selain bank sistemik seperti yang tertuang dalam pasal 17.
OJK membantu penilaian (assesment) pemenuhan persyaratan atau kecukupan solvabilitas dan tingkat kesehatan bank. Kemudian, BI bersama OJK menilai pemenuhan kecukupan agunan dan perkiraan kemampuan bank untuk mengembalikan.
Kedua, BI dapat memberi pinjaman likuiditas khusus kepada bank sistemik yang mengalami kesulitan likuiditas dan tidak memenuhi syarat pinjaman likuiditas jangka pendek (pasal 18).
Jika bank sistemik yang telah dapat pinjaman likuiditas jangka pendek masih kesulitan likuiditas, bank sistemik masih dapat mengajukan permohonan pinjaman ini.
Untuk pengajuan pinjaman ini, BI berkoordinasi dengan OJK meminta penyelenggaraan rapat KSSK untuk mempertimbangkan penilaian OJK tentang informasi terkini tentang bank dan rekomendasi BI atas penilaian OJK tersebut. Ketentuan lebih lanjut mengenai pinjaman, diatur bersama Menkeu dan Gubernur BI.
Ketiga, BI dapat membeli Surat Utang Negara (SUN) atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) di pasar perdana untuk penanganan masalah sistem keuangan yang membahayakan ekonomi nasional, termasuk pandemic bond (pasal 19).
Pembelian dimaksud, diperuntukkan sebagai sumber pendanaan pemerintah untuk pemulihan ekonomi nasional termasuk menjaga kesinambungan pengelolaan keuangan negara, memberi pinjaman dan penambahan modal kepada LPS, dan restrukturisasi perbankan saat krisis. Ketentuan lebih lanjut, diatur bersama Menkeu dan Gubernur BI dengan pertimbangan kondisi pasar SUN/SBSN, pengaruh terhadap inflasi serta jenis SUN/SBSN.
Keempat, BI dapat membeli atau repurchase agreement (Repo) Surat Berharga Negara (SBN) yang dimiliki LPS untuk biaya penanganan masalah solvabilitas bank sistemik atau selain sistemik.
Kelima, BI mengatur kewajiban penerimaan dan penggunaan devisa bagi penduduk, yang diatur dengan Peraturan BI.
Keenam, BI memberi akses pendanaan kepada korporasi atau swasta dengan cara repo SUN atau SBSN yang dimilikinya.
Resep Global yang Generik
Sesungguhnya secara garis besar yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia itu sama atau identik dengan yang dilakukan oleh negara-negara lain dalam menghadapi dampak COVID-19, yaitu melalui jalur fiskal, moneter dan bauran diantara keduanya.
Melalui jalur fiskal, pemerintah telah menambah anggaran sebesar Rp405,1 triliun untuk penanganan kesehatan dan perekonomian. Kemudian melalui jalur makroprudensial, BI telah melakukan kebijakan “quantitative easing” (QE) yang sejauh ini akumulasinya setara dengan Rp500 triliunan.
Jalur moneter sudah ditempuh lebih dulu, dengan menurunkan suku bunga acuan BI (BI7DRRR) sebesar 100 bps menjadi 4,5% saat ini.
Terakhir, dari jalur kebijakan perbankan pun sudah dilakukan dimana OJK telah menelurkan POJK relaksasi beleid retrukturisasi kredit maksimal bernilai Rp 10 miliar karena terdampak COVID-19. Jutaan debitur dengan akumulasi nilai kredit mencapai ratusan triliun rupiah sedang direstrukturisasi oleh perbankan menggunakan terapi 3R, yaitu restructuring, rescheduling dan reconditioning bergantung kepada hasil diagnosis pengawas kredit terhadap permasalahan debitur yang terdampak oleh COVID-19.
Kelonggaran restrukturisasi kredit selama 12 bulan ini diharapkan mampu menjaga tingkat kesehatan, likuiditas dan profitabilitas bank.
Debitur di luar skim POJK di atas pun harus direstrukturisasi oleh bank-bank kreditur dengan menerapkan terapi 3R di atas, bergantung kepada hasil diagnosis permasalahan setiap debitur. Yang penting, proses restrukturisasi dilakukan dengan menerapkan prinsip kehati-hatian, kejujuran dan keterbukaan.
Menurut data OJK, keringanan kredit perbankan dan perusahaan pembiayaan bagi debitur yang terdampak COVID-19, hingga 26 April lalu telah dilakukan oleh 65 bank dengan nilai Rp113,8 triliun yang berasal dari 561.950 debitur. Jumlah ini termasuk restrukturisasi kredit UMKM sebesar Rp60,9 triliun dari 522.728 debitur.
Sementara untuk perusahaan pembiayaan, sampai dengan 27 April lalu, sebanyak 166 perusahaan telah menerima pengajuan permohonan keringanan debitur dengan jumlah kontrak restrukturisasi yang disetujui sebanyak 253.185 dengan nilai Rp13,2 triliun. Sementara 367.465 kontrak dengan nilai Rp25,36 triliun sedang dalam proses.
OJK juga menyambut baik dan mendukung upaya pemerintah dalam menjalankan kebijakan stimulus perekonomian lanjutan terkait pemberian subsidi bunga bagi debitur bank dan perusahaan pembiayaan.
OJK dan Pemerintah akan menyiapkan ketentuan pelaksanaan program stimulus lanjutan ini. Ketentuan kriteria debitur bank dan perusahaan pembiayaan yang berhak mendapatkan subsidi bunga Pemerintah antara lain:
Sedangkan empat bank BUMN hingga 24 April 2020 telah merestrukturisasi kredit kepada 832.052 debitur dengan nilai kredit mencapai Rp120,86 triliun. Hal ini sesuai arahan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 11/2020 terkait restrukturisasi kredit debitur terdampak Covid-19. Empat bank milik negara antara lain PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI), dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN).
Untuk debitur UMKM yang direstrukturisasi sebanyak 801.685 debitur senilai Rp87,36 triliun. Sedangkan, restrukturisasi untuk non UMKM sebanyak 30.367 debitur dengan nilai kredit Rp33,49 triliun.
Jika dirinci, BRI telah merestrukturisasi kredit 691.615 debitur senilai Rp57,73 triliun, Bank Mandiri merestrukturisasi kredit senilai Rp19,04 triliun dari 63.202 debitur. Untuk BNI telah merestrukturisasi kredit dari 50.505 debitur senilai Rp39,44 triliun, serta BTN merestrukturisasi Rp4,64 triliun dari 24.730 debitur.
Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan
Dalam monitoring OJK, hingga April 2020 kondisi stabilitas sektor jasa keuangan di tengah pandemi COVID-19 masih terjaga, ditunjukkan dengan intermediasi sektor jasa keuangan yang membukukan kinerja positif dan profil risiko industri jasa keuangan tetap terkendali.
Melalui sejumlah kebijakan pre-emptive dan forward looking assessment dari stimulus sektor keuangan, fiskal dan moneter, Indonesia mampu mengendalikan volatilitas di pasar keuangan. Pasar saham melemah tipis sebesar 0,9% mtd menjadi 4.496, sedangkan pasar SBN mengalami penguatan dengan yield rata-rata turun sebesar 19,4 bps mtd. Hingga 24 April 2020, investor nonresiden mencatatkan net sell Rp11,8 triliun mtd, jauh lebih rendah dari net sell Maret yang Rp126,8 triliun.
Kinerja intermediasi lembaga jasa keuangan per Maret 2020 masih tumbuh positif. Kredit tumbuh 7,95% yoy, ditopang kredit valas yang tumbuh 16,84% yoy. Piutang Perusahaan Pembiayaan tercatat tumbuh sebesar 2,49% yoy. Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan tumbuh 9,54% yoy. Industri asuransi menghimpun premi Rp17,5 triliun atau terkontraksi 7,51% yoy.
Hingga 28 April 2020, penghimpunan dana melalui pasar modal mencapai Rp28,3 triliun dengan 22 emiten baru. Di dalam pipeline terdapat 53 emiten yang akan melakukan penawaran umum dengan total indikasi penawaran Rp21,2 triliun.
Profil risiko lembaga jasa keuangan per Maret 2020 juga masih terjaga pada level terkendali dengan NPL gross 2,77% dan NPL net 0,98% serta rasio NPF 2,75%. Di tengah pelemahan nilai tukar Rupiah, risiko nilai tukar perbankan dapat dijaga pada level rendah terlihat dari rasio Net Open Position (NOP) sebesar 1,94%, jauh di bawah ambang batas yang 20%.
Sementara itu, likuiditas dan permodalan perbankan berada pada level memadai. Rasio alat likuid/non-core deposit tercatat di level 112,90%, atau di atas threshold 50%. Kondisi ini juga didukung adanya kebijakan restrukturisasi kredit mulai Maret lalu sehingga tidak membebani permodalan bank mengingat kredit yang direstrukturisasi dikategorikan lancar. Selain itu, OJK terus memonitor kondisi likuiditas harian lembaga jasa keuangan termasuk ketersediaan High Quality Liquidity Asset dalam bentuk surat berharga.
Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan tercatat 21,77% serta Risk-Based Capital (RBC) industri asuransi jiwa dan asuransi umum masing-masing 643% dan 297%, di atas ambang batas ketentuan yang 120%. (*)
Jakarta - Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, mengisyaratkan rencana untuk mengakhiri konflik yang berlangsung… Read More
Jakarta – PT Asuransi Allianz Utama Indonesia (Allianz Utama) mencatatkan pertumbuhan positif untuk Growth Written Premium atau GWP… Read More
Jakarta - PT PLN (Persero) memastikan keandalan pasokan listrik menjelang Natal 2024 dan Tahun Baru… Read More
Jakarta– KB Bank mulai mencetak kinerja positif dengan perbaikan kualitas aset dan ekspansi portofolio kredit… Read More
Jakarta - Direktur Utama (Dirut) Bank Mandiri Darmawan Junaidi menilai, Indonesia memiliki kemampuan untuk mengurangi… Read More
Jakarta - PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) buka suara terkait isu serangan ransomware terhadap… Read More