Oleh Ryan Kiryanto, Ekonom dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia/LPPI
DALAM salah satu analisis tentang outlook investasi 2023 terdapat kesimpulan menarik bahwa para investor global kini menghadapi poros makro, pasar, dan kebijakan utama yang akan membentuk keputusan investasi.
Setidaknya terdapat lima tema utama yang mendorong dinamika pasar global di tahun ini. Pertama, inflasi yang tinggi mendorong bank sentral tetap berada di jalurnya untuk pengetatan kebijakan. Kedua, supremasi dolar Amerika Serikat (AS) yang membawa rasa sakit di tempat lain (negara-negara importir yang membayar dengan dolar AS).
Ketiga, di tengah kekhawatiran resesi, investor mempertimbangkan kapan harus beralih dari strategi bertahan ke strategi menyerang. Keempat, pelaku pasar global mempertimbangkan dampak jangka pendek dari arah perubahan kebijakan ekonomi Tiongkok pascapandemi COVID-19. Kelima, kekuatan geopolitik mempercepat pergeseran investasi ke sektor energi dan investasi yang bertanggung jawab.
Supremasi Dolar AS
Spesifikasi terkait supremasi dolar AS, memang mata uang AS ini telah mencapai level valuasi tertinggi selama multidekade, meskipun kekuatannya yang sangat besar terus membebani ekonomi negara-negara lain. Secara khusus, dolar AS yang terlalu kuat memukul pasar negara maju dan negara berkembang yang pembayarannya hanya bergantung pada dolar AS sehingga berdampak inflatoir bagi barang-barang impor yang didatangkan dari mancanegara dan berujung pada peningkatan biaya barang impor.
Ironisnya jika muncul kekhawatiran terhadap resesi global, di mana investor berbondong-bondong beralih ke dolar AS sebagai tempat berlindung yang aman (safe heaven). Celakanya, kenaikan suku bunga acuan yang agresif oleh The Federal Reserve (The Fed) telah menambah daya pikat investasi berbasis dolar AS tersebut.
Berbeda dengan stance kebijakan moneter negara-negara ekonomi maju yang condong ketat atau hawkish untuk menahan laju inflasi tinggi, maka stance kebijakan moneter di Asia cenderung longgar atau dovish lantaran inflasinya terkendali dengan baik. Krisis energi yang inflatoir lebih menekan negara-negara maju ketimbang negara-negara berkembang Asia.
Di Asia, beberapa faktor menunjukkan bahwa kondisi moneter mungkin perlu diperketat lebih lama, termasuk suku bunga riil yang terkompresi, penyimpangan dari aturan kebijakan sederhana, tekanan tambahan dari pass-through nilai tukar, dan tekanan harga yang meluas.
Pasar memperkirakan suku bunga riil di pasar negara berkembang Asia (tidak termasuk Tiongkok) akan meningkat secara bertahap dan berubah positif di akhir tahun ini, tetapi tetap rendah secara keseluruhan. Sementara, suku bunga riil di negara maju (tidak termasuk Jepang) diperkirakan akan tetap negatif untuk sebagian besar 2023 ini.
Beberapa bank sentral di Asia telah mengomunikasikan bahwa siklus kenaikan suku bunga acuan hampir selesai atau sudah selesai. Pelemahan substansial mata uang Asia terhadap dolar AS hingga akhir 2022 lalu dapat menyebabkan tekanan harga yang signifikan, meskipun terlihat ada pembalikan sebagian nilai tukar sejak itu.
Penelitian staf Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) menemukan bahwa episode depresiasi memiliki dampak jangka pendek yang lebih kuat pada harga domestik daripada episode apresiasi. Dalam skenario yang menampilkan fluktuasi nilai tukar yang sama yang dialami di kawasan Asia selama setahun terakhir, tekanan inflasi diperkirakan akan mencapai puncaknya pada paruh kedua 2023, menaikkan tingkat harga lebih dari 2% di pasar negara berkembang dan sekitar 0,5% di pasar negara maju.
Gagasan Awal Dedolarisasi
Selama beberapa dekade, dolar AS telah mendominasi mata uang global. Namun, secara bertahap pengaruhnya dalam perdagangan internasional tampak semakin menurun. Di akhir Maret lalu, kelompok negara yang tergabung dalam aliansi BRICS (Brasil, Rusia, India, China/Tiongkok, dan Afrika Selatan) berembuk untuk membuat “mata uang tunggal” yang akan digunakan untuk mengurangi dominasi dolar AS dalam perdagangan internasional, setidaknya di antara mereka.
Menurut catatan IMF, cadangan devisa dunia dalam denominasi dolar AS tercatat sebesar US$7.087 miliar pada kuartal keempat 2021, dari pangsa pasar 59,15% di kuartal ketiga, lalu turun menjadi 58,81% pada kuartal keempat. Padahal, porsi dolar AS sebagai bagian cadangan devisa global pernah mencapai 72% di awal 2000-an.
Sinyal dedolarisasi tidak hanya dipicu oleh rencana BRICS, yang menguasai 40% populasi dunia dan 25% produk domestik bruto (PDB) global, akan membuat mata uang baru. Beberapa negara lainnya dikabarkan berminat bergabung dengan BRICS, di antaranya Arab Saudi, Aljazair, dan Iran.
Konon BRICS memiliki strategi untuk tidak membeli dolar AS atau euro (mata uang tunggal Eropa). Disebutkan bahwa mata uang baru akan dipatok dengan nilai emas dan komoditas lain, seperti rare earth element (unsur tanah jarang) yang juga dikenal dengan beberapa nama lain yaitu rare earth metals (logam jarang) atau rare earths (tanah jarang).
Adanya kesepakatan antara Brasil dan Tiongkok untuk berdagang dalam mata uang mereka sendiri pun menjadi pemicu dedolarisasi. Kesepakatan pada 30 Maret 2023 itu memungkinkan kedua negara menggunakan mata uang mereka sendiri, yuan (renminbi) dan real perdagangan dan transaksi keuangan secara langsung, tidak lagi menggunakan dolar AS sebagai mata uang perantara. Tampaknya Tiongkok sedang memperluas penggunaan renminbi secara global, sebuah tren yang berusaha membangun sistem moneter internasional yang mengurangi ketergantungan pada dolar AS.
Faktor yang cukup fenomenal adalah hasil kesepakatan pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN (AFMGM) di Bali, di mana kerja sama transaksi pembayaran lintas batas menggunakan mata uang lokal masing-masing. Penggunaan pembayaran lintas batas dengan mata uang lokal tersebut (disebut skema Local Currency Transaction/LCT), tanpa menggunakan dolar AS.
Secara bilateral (antardua negara) sesungguhnya juga ada kesepakatan terkait penggunaan mata uang lokal dalam transaksi pembayaran. Ini dikenal dengan istilah Local Currency Settlement (LCS). Dalam hal ini, lima negara ASEAN sebelumnya telah menandatangani kerja sama transaksi pembayaran lintas batas sejak November 2022, di tengah pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20.
Skema LCS ini juga gencar ditawarkan oleh India untuk penggunaan mata uang rupee kepada negara-negara mitranya yang menghadapi keterbatasan stok dolar AS. Kabarnya kebijakan ini berlaku efektif sejak 1 April. Dan, masih terdapat beberapa skema pembayaran semacam LCS ini dalam transaksi perdagangan baik bilateral maupun multilateral dengan basis nondolar AS sebagai mata uang pembayarannya.
Prospek ke Depan
Sejumlah analisis dan pelaku pasar keuangan global kompak melihat bahwa belum ada mata uang yang cukup kuat untuk bisa menggantikan posisi dolar AS dalam waktu dekat ini, setidaknya berdasarkan sejumlah pertimbangan. Peranan dolar AS masih tetap sangat kuat dalam transaksi perdagangan internasional. Memang benar ada penurunan, tetapi secara keseluruhan tetap dominan.
Data IMF terkini menunjukkan, dari sejumlah mata uang yang menjadi salah satu komponen cadangan devisa di bank sentral dunia, dolar AS masih mendapatkan porsi tertinggi. Peranan dolar AS sebagai porsi cadangan devisa bank sentral sedunia menduduki angka 58,36%. Mata uang berikutnya yang berperan adalah euro. Itu pun jauh di bawah, dengan porsi 20,47%. Sementara, pangsa yuan atau renminbi dalam komposisi cadangan devisa dunia masih terlalu sedikit, hanya 2,69%, atau jauh di bawah porsi poundsterling Inggris dan yen Jepang.
Dengan porsi yang demikian, dalam waktu dekat, mata uang yuan belum sanggup untuk menggeser peranan dolar AS dalam kancah perdagangan ekonomi dunia, meskipun ekonomi Tiongkok menduduki peringkat kedua terbesar di dunia setelah AS.
Ekonom dari American Institute for Economic Research (AIER), Peter Earle, baru-baru ini (11/4/2023) merilis pandangannya bahwa mengganti peranan dolar AS dalam perdagangan internasional itu tidak mudah. Saat ini mata uang yuan dipatok (pegged) terhadap dolar AS, dan karenanya nilainya tidak mengambang (floating).
Dengan kata lain, nilai tukar yuan tidak mengikuti kekuatan pasar. Selain itu, neraca modal Tiongkok bersifat tertutup, yang berarti modal tidak bisa mengalir ke luar tanpa persetujuan otoritas. Ini menunjukkan yuan sama sekali tidak kondusif sebagai mata uang acuan dalam pembayaran transaksi internasional yang tidak terhitung jumlahnya setiap hari.
Menurut Earle, besarnya ekonomi AS dan luasnya perdagangan global yang melibatkan AS hampir memastikan bahwa sampai batas tertentu, dolar AS akan tetap, paling tidak, sebagai salah satu mata uang teratas yang digunakan untuk transaksi global. Perpindahan peranan ke mata uang lainnya akan menemui berbagai hambatan dan biaya tinggi, di mana saat ini transaksi internasional, baik secara individu, korporasi, maupun pemerintah, dikalkulasi dalam dolar AS.
Di lain pihak, diperkirakan 95% transaksi pembayaran dolar AS secara global diselesaikan melalui platform SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication). Jumlah rata-rata hariannya diperkirakan US$5 triliun, atau setara dengan US$1,25 kuadriliun per tahun. Suatu jumlah yang teramat besar.
Tercatat dolar AS dan euro mendominasi transaksi pembayaran global, sedangkan dengan poundsterling masih dua hingga tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan yuan, rubel, atau bahkan yen.
Dari ilustrasi di atas, maka angan-angan BRICS untuk menciptakan mata uang baru tampaknya hanya ilusi belaka. Sejauh ini belum ada konfirmasi resmi dari otoritas finansial negara-negara anggota BRICS. Artinya, ide penciptaan mata uang baru sebagai pengganti dolar AS sepertinya masih bersifat wacana.
Mata uang lainnya, seperti rupee India, atau skema LCT (Local Currency Transaction) dari ASEAN, tampaknya juga tidak akan sanggup menggoyahkan peranan dolar AS dalam perdagangan global. Mungkin saja itu bisa digunakan di kawasan atau regional masing-masing, tetapi bukan secara global.
Catatan Penutup
Meski saat ini muncul kekhawatiran soal krisis batas utang (debt ceiling) AS, Warren Buffett sebagai salah satu investor global ukuran kakap yakin bahwa dolar AS tidak akan kehilangan status sebagai mata uang cadangan dunia (reserve currency). Itulah pernyataan tegas Buffett dalam pertemuan tahunan Berkshire Hathaway, belum lama ini (6/5/2023).
Buffett menegaskan tidak ada yang memahami situasi utang seperti Gubernur The Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell, tetapi dia tidak bertanggung jawab atas kebijakan fiskal (yang menjadi otonomi US Treasurer atau Kementerian Keuangan AS). Buffett juga mengatakan orang bertindak berbeda ketika mereka tidak percaya pada mata uang.
Lebih lanjut Buffett mengatakan, mengganti dolar AS sebagai mata uang dunia memiliki risiko. Tidak ada yang tahu sejauh mana setiap orang dapat menggunakan mata uang kertas sebelum menjadi tidak terkendali, terutama jika itu adalah mata uang cadangan dunia. Menurut dia, sulit untuk mempersiapkan perubahan dalam batas utang dan dampaknya terhadap dolar AS karena itu merupakan keputusan politik.
Dominasi dolar AS dalam transaksi dan perdagangan global memang cenderung menurun dari waktu ke waktu. Belakangan ini juga semakin cepat tendensi penurunannya dengan aksi sejumlah negara dan kawasan ekonomi regional yang mengupayakan transaksi perdagangan internasional di luar mata uang dolar AS yang memang sedang cenderung dalam apresiasi sehingga relatif mahal bagi banyak negara.
Namun demikian, peranan dolar AS ini tampaknya masih akan relatif kuat untuk waktu-waktu ke depan. Harus diakui, tidak ada mata uang yang saat ini dapat disepadankan dengan dolar AS, dan karenanya layak mendapat predikat sebagai mata uang dunia – the world currency.
Untuk jangka panjang bisa saja peran dolar AS semakin tergerus dan, pada waktunya, tergantikan.
Namun, dalam perjalanan waktu menuju ke sana, terdapat kemungkinan pergeseran bertahap, dari dominasi penuh dolar AS ke tahap “multi strong currencies”, yakni digunakannya beberapa opsi mata uang kuat dalam transaksi perdagangan internasional.
Tetapi, dalam foreseeable future – jangka waktu yang dapat terlihat sejauh ini – mata uang dolar AS tampaknya masih punya pengaruh kuat, sebagai mata uang acuan dalam aneka transaksi dan perdagangan dunia. Seperti saat ini, semua dihitung atau dinilai dalam dolar AS. Dengan demikian, jika ada pertanyaan, apakah masih aman untuk berinvestasi atau memegang dolar AS pada hari-hari ini, jawabannya sejauh ini masih aman. (*)
Jakarta – Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen akan naik menjadi 12 persen tahun depan.… Read More
Jakarta - Menjelang hari jadinya yang ke-43, PT Asuransi Tugu Pratama Indonesia Tbk (Tugu Insurance)… Read More
Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memproyeksikan pelaksanaan pemilihan kepada daerah (Pilkada) serentak yang dilaksanakan pada November… Read More
Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan, kebijakan penghapusan piutang macet bagi Usaha Mikro, Kecil, dan… Read More
Jakarta - Di tengah melemahnya daya beli masyarakat, Zurich Indonesia mampu mencatat pertumbuhan gross written… Read More
Jakarta - Robert Bosch, pemasok suku cadang otomotif terbesar di dunia mengumumkan akan melakukan Pemutusan… Read More