Rupiah diprediksi menguat sejalan dengan melemahnya dolar. Ditundannya kenaikan suku bunga The Fed menjadi salah satu pemicunya. Rezkiana Nisaputra.
Jakarta – Melemahnya sejumlah data Tiongkok seperti laju pertumbuhan ekonomi yang melambat, industrial production, dan lainnya, telah memberikan imbas negatif pada laju mata uang Asia termasuk laju mata uang Rupiah yang masih melanjutkan pelemahannya di awal pekan lalu.
Di sisi lain, pelemahan juga berimbas pada sejumlah harga minyak mentah dunia setelah merespon data-data dari Tiongkok. Dengan pelemahan tersebut, memberikan ruang bagi US$ untuk dapat terlihat lebih menguat. Meski indeks USD terhadap sejumlah mata uang Asia bergerak melemah namun, terhadap Rupiah terlihat menguat.
Kepala Riset NH Korindo Securities Indonesia Reza Priyambada mengatakan, adanya rilis kenaikan National Association of Homebuilders (NAHB) housing market index AS sebelumnya yang dibarengi dengan pelemahan laju harga minyak mentah dunia seiring ekspektasi meningkatnya supply, telah memberikan semangat bagi laju US$ untuk menguat terhadap Rupiah.
Menurutnya, pelemahan harga minyak mentah dunia yang berimbas pada penurunan sejumlah harga komoditas memberikan amunisi bagi US$ untuk dapat bergerak menguat. Sentimen ekspektasi ada lebih baiknya berpengaruh dari Paket Kebijakan Ekonomi jilid V yang memberikan sentimen positif pada laju Rupiah sehingga mampu berbalik menguat.
“Terhadap mata uang lainnya, laju USD masih terlihat menguat pada pekan lalu namun, Rupiah (IDR) mampu melampaui ekspektasi akan terjadinya pelemahan. Laju Rupiah sempat berada di bawah target resisten Rp. 13.625. Rp 13.600-13.540 (kurs tengah BI),” ujar Reza dalam risetnya di Jakarta, Senin, 26 Oktober 2015.
Lebih lanjut Reza menilai, tren penguatan laju Rupiah masih berlanjut hingga akhir bulan ini seiring dengan berbalik melemahnya laju US$. Sementara di sisi lain, momentum tersebut dimanfaatkan sejumlah mata uang untuk berbalik naik. Bahkan beberapa diantaranya mampu melanjutkan kenaikannya.
“Pada pasar spot valas global, terlihat laju EUR-USD dan GBP-USD mampu berbalik naik. Begitupun dengan sejumlah mata uang Asia Pasifik dimana laju US$ bergerak melemah seperti AUD-USD dan NZD-USD yang bergerak menguat, sementara USD-JPY, USD-CNY, USD-KRW, dan lainnya tercatat melemah,” ucap dia.
Dia mengungkapkan, pergerakan laju Rupiah terhadap dolar As masih sejalan dengan perkiraan sebelumnya. Dirinya pernah menyampaikan, bahwa berbaliknya laju Rupiah yang bergerak positif terhadap dolar AS dapat dijadikan kembali sebagai momentum Rupiah untuk berada di zona hijaunya.
“Meski kami belum dapat memastikan akan terjadinya suatu tren penguatan untuk jangka menengah-panjang namun, jika sentimen yang ada cukup direspon positif maka minimal masih dapat melanjutkan kenaikannya,” tukas Reza.
Kendati begitu, dirinya berpesan agar tetap dapat mencermati sentimen yang akan muncul dalam kedepannya. Secara trennya, laju Rupiah masih mencoba untuk bertahan di level yang positif. Dengan demikian, dibutuhkan sentimen yang lebih positif untuk dapat mempertahankan laju Rupiah agar dapat bergerak positif.
Oleh sebab itu, jelang rapat The Fed diharapkan dapat memberikan sentimen positif oleh pelaku pasar dan tidak memicu pembalikan arah melemah dari Rupiah. “Tetapi, tetap harus cermati sentimen yang akan muncul. Laju Rupiah diperkirakan di atas target resisten 13.625. Rp 13.525-13.470 (kurs tengah BI),” paparnya.
Sebelumnya Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Mirza Adityaswara mengklaim, penguatan laju Rupiah terhadap dolar AS yang terjadi belakangan ini, didorong oleh faktor eksternal dan faktor internal. “Rupiah menguat 0,9% (23/10), mulai siang menguat 1,1%. Ya ada dua sebab, pertama kalau dari eksternal masih kembali lagi tentang Amerika dan juga Eropa,” ujarnya.
Faktor eksternalnya, kata Mirza, masih terkait dengan tingkat suku bunga acuan Bank Sentral AS The Fed yang kemungkinan besar masih belum akan dinaikan hingga akhir Oktober ini. Kendati begitu, Bank Indonesia tetap harus mewaspadai risiko-risiko yang terjadi di global dalam kedepannya.
“Ya memang kita juga masih menunggu kebijakan The Fed, tapi kan memang masih tercerna saat ini jika kuartal empat tidak terjadi kenaikan suku bunga Amerika itu, walaupun masih ada pernyataan-pernyataan di negara bagian berbeda satu sama lain,” ucap Mirza.
Sedangkan untuk faktor internal sendiri, menurut Mirza, konsistensi pemerintah yang berkomitmen untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui deregulasi, debirokratisasi serta mendorong investasi dinilai mulai mampu meyakinkan pelaku pasar.
“Intinya sih ada paket 1-5 mudah-mudahan ini terus bertambah yang menunjukkan kepada pasar bahwa pemerintah semakin serius,” tambah dia.
Selain itu, kata dia, penghapusan pajak ganda untuk kontrak investasi kolektif dari dana investasi real estate atau yang biasa disebut REITs (Real Estate Investment Trust), juga diperkirakan akan mampu mendorong arus modal masuk (capital inflow) sehingga juga akan berpengaruh positif terhadap rupiah. (*)
—-
Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan bahwa sejumlah barang dan jasa, seperti… Read More
Jakarta - Pemimpin tertinggi Gereja Katolik Sedunia Paus Fransiskus kembali mengecam serangan militer Israel di jalur… Read More
Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berbalik dibukan naik 0,98 persen ke level 7.052,02… Read More
Jakarta – Pengamat Pasar Uang, Ariston Tjendra, mengungkapkan bahwa kebijakan pemerintah terkait kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)… Read More
Jakarta - Harga emas Antam atau bersertifikat PT Aneka Tambang hari ini, Senin, 23 Desember… Read More
Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) buka suara terkait dengan transaksi Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS)… Read More