Expertise

Menguatkan Ekonomi Rakyat: Sinergi Koperasi dan Microfinance dalam Perspektif Sumitro Djojohadikusumo

Oleh Dr. Nimmi Zulbainarni, S.Pi., M.Si, Dosen Sekolah Bisnis IPB, Ketua Focus Group Kelautan dan Perikanan–ISEI, dan Sekjen Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN)

KETIMPANGAN ekonomi masih menjadi persoalan klasik di Indonesia. Data BPS 2024 menunjukkan rasio ini berada di angka 0,379, menandakan jurang kaya-miskin masih nyata. Di sisi lain, UMKM yang berjumlah 64,2 juta unit telah menyumbang 61,07 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional (Rp8.573,89 triliun) dan menjadi penopang ekonomi lokal. Namun, 77,6 persen di antaranya masih kesulitan mengakses pembiayaan formal (OJK, 2025).

Kondisi ini menegaskan bahwa pertumbuhan tanpa pemerataan hanyalah ilusi. Sejak lama, Sumitro Djojohadikusumo menekankan pentingnya pembangunan berakar pada masyarakat, bukan sekadar modal besar.

Bagi Sumitro, koperasi dan microfinance adalah instrumen strategis untuk mewujudkan ekonomi yang inklusif, demokratis, dan berkeadilan (Djojohadikusumo, 1981 dalam Jalan Keadilan Sumitro Djojohadikusumo, 2025), sebuah perspektif yang tetap relevan hingga hari ini. Koperasi lahir dari semangat gotong royong dengan prinsip kesetaraan dalam pengambilan keputusan, berbeda dengan logika kapitalisme yang menekankan modal sebagai penentu kuasa. Bagi Sumitro, koperasi adalah sarana memperkuat solidaritas sosial dan kemandirian ekonomi rakyat. 

Baca juga: Pak Prabowo, Sesungguhnya Tak Hanya Kasus Ira Puspadewi, Kriminalisasi Kredit Macet di Kalangan Bankir Masih Berlangsung

Di sektor pertanian dan perikanan, koperasi terbukti mampu menekan biaya produksi sekaligus meningkatkan posisi tawar petani dan nelayan. Namun, kelemahan tata kelola dan partisipasi anggota membuat banyak koperasi stagnan. Sejak 1980-an, Sumitro sudah mengingatkan perlunya pembenahan manajerial. Karena itu, revitalisasi koperasi menuntut profesionalisasi, digitalisasi, dan kebijakan yang lebih berpihak. Dalam konteks khusus perikanan, Koperasi Merah Putih menjadi contoh menarik bagaimana ide besar Sumitro bisa diwujudkan di lapangan.

Koperasi ini bukan hanya wadah bagi nelayan untuk menjual hasil tangkapan dengan harga lebih layak, tetapi juga sarana memperkuat posisi tawar mereka terhadap pasar. Dengan mekanisme kolektif, nelayan tidak lagi sepenuhnya bergantung pada tengkulak yang kerap menekan harga. Lebih dari itu, koperasi bisa berupaya membuka akses pasar yang lebih luas, termasuk ke sektor industri pengolahan dan ekspor. 

Kehadiran Koperasi Merah Putih memperlihatkan bahwa koperasi perikanan bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga tentang martabat nelayan. Jika koperasi adalah wadah kolektif, maka microfinance menjadi pintu masuk akses modal bagi mereka yang tak tersentuh perbankan formal. Pinjaman kecil dengan bunga terjangkau terbukti membantu usaha mikro memperluas produksi hingga membiayai pendidikan

World Bank (2023) mencatat, akses microfinance mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga miskin 20–30 persen dalam lima tahun pertama. Di Indonesia, koperasi simpan pinjam dan lembaga mikro desa dapat mendorong lahirnya usaha kecil yang lebih mandiri.  

Di sektor kelautan dan perikanan, sinergi microfinance dengan Koperasi Merah Putih memungkinkan nelayan memperoleh pembiayaan untuk bahan bakar, kapal, maupun teknologi tangkap yang lebih modern. Dengan demikian, microfinance bukan sekadar modal, tetapi juga pendorong produktivitas dan keberlanjutan bisnis kelautan dan perikanan.

Meski begitu, rendahnya literasi keuangan membuat sebagian penerima terjebak utang konsumtif. Karena itu, microfinance perlu dilengkapi pelatihan kewirausahaan dan edukasi keuangan, sesuai gagasan Sumitro bahwa pembangunan harus menumbuhkan kemandirian rakyat, bukan sekadar penyediaan modal saja.

Dalam perspektif Sumitro, koperasi dan microfinance bukanlah entitas yang berdiri sendiri, melainkan dua sisi mata uang. Koperasi memberikan struktur organisasi berbasis gotong royong, sedangkan microfinance menghadirkan akses modal yang inklusif. Sinergi keduanya memungkinkan terciptanya ekosistem ekonomi rakyat yang lebih kuat.

Bayangkan koperasi nelayan yang bekerja sama dengan lembaga microfinance: koperasi mengorganisir penjualan hasil tangkapan agar harga stabil, sementara microfinance menyediakan modal kerja untuk  membeli peralatan  dan lain-lain.

Hasilnya, nelayan tidak hanya lebih sejahtera, tetapi juga lebih mandiri dan dapat terhindar dari tengkulak. Studi terbaru juga membuktikan bahwa kemitraan koperasi dan microfinance mampu meningkatkan daya saing UMKM di sektor pertanian hingga 35 persen (Syabrinildi, 2024; Perkasa & Siregar, 2023).

Pola sinergi koperasi dan microfinance tidak hanya mendorong pertumbuhan, tetapi juga pemerataan, sekaligus memperkuat pondasi ekonomi lokal. Sejalan dengan sila kelima Pancasila, gagasan Sumitro tentang ekonomi berkeadilan kembali menemukan relevansinya.

Agar optimal, setidaknya ada lima agenda strategis: profesionalisasi koperasi lewat manajemen dan digitalisasi; kebijakan insentif bagi kolaborasi koperasi–microfinance; edukasi keuangan agar pinjaman produktif; diversifikasi layanan microfinance seperti tabungan, asuransi, dan pelatihan usaha; serta kolaborasi lintas sektor untuk memperluas akses dan menjamin keberlanjutan.

Baca juga: Purbayanomics: Arah Baru Kebijakan Fiskal?

Tantangan pembangunan Indonesia bukan hanya mengejar pertumbuhan, tetapi memastikan hasilnya dirasakan merata. Pandangan Sumitro tetap relevan: koperasi dan microfinance adalah fondasi ekonomi rakyat berkeadilan. Jika dikelola serius dan sinergis, keduanya mampu memperkuat ekonomi sekaligus menutup jurang ketimpangan.

Koperasi Merah Putih sektor kelautan dan perikanan seyogyanya dapat  membuktikan bahwa demokrasi ekonomi dapat diwujudkan secara nyata. Kini saatnya pemerintah, lembaga keuangan, dan masyarakat menjadikan sinergi koperasi–microfinance sebagai strategi konkret menuju Indonesia yang lebih adil dan sejahtera. Dengan memperkuat koperasi dan microfinance, Indonesia menanam fondasi kokoh agar generasi mendatang mewarisi perekonomian nasional berkeadilan, inklusif, dan berkelanjutan. (*)

Galih Pratama

Recent Posts

BRI Bukukan Laba Rp45,44 Triliun per November 2025

Poin Penting BRI membukukan laba bank only Rp45,44 triliun per November 2025, turun dari Rp50… Read More

9 hours ago

Jadwal Operasional BCA, BRI, Bank Mandiri, BNI, dan BTN Selama Libur Nataru 2025-2026

Poin Penting Seluruh bank besar seperti BCA, BRI, Mandiri, BNI, dan BTN memastikan layanan perbankan… Read More

10 hours ago

Bank Jateng Setor Dividen Rp1,12 Triliun ke Pemprov dan 35 Kabupaten/Kota

Poin Penting Bank Jateng membagikan dividen Rp1,12 triliun kepada Pemprov dan 35 kabupaten/kota di Jateng,… Read More

11 hours ago

Pendapatan Tak Menentu? Ini Tips Mengatur Keuangan untuk Freelancer

Poin Penting Perencanaan keuangan krusial bagi freelancer untuk mengelola arus kas, menyiapkan dana darurat, proteksi,… Read More

12 hours ago

Libur Nataru Aman di Jalan, Simak Tips Berkendara Jauh dengan Kendaraan Pribadi

Poin Penting Pastikan kendaraan dan dokumen dalam kondisi lengkap dan prima, termasuk servis mesin, rem,… Read More

21 hours ago

Muamalat DIN Dukung Momen Liburan Akhir Tahun 2025

Bank Muamalat memberikan layanan “Pusat Bantuan” Muamalat DIN. Selain untuk pembayaran, pembelian, atau transfer, nasabah… Read More

22 hours ago