News Update

Menggugat dan Lahirnya Pancasila

Catatan Bayu Krisnamurthi, Guru Besar Madya Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, pada Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2020

Tahun 1930 Sukarno menyampaikan sebuah pidato pembelaan yang mengagumkan, penuh dengan argumentasi kuat, kutipan dalil-dalil hukum, serta pemahaman ekonomi politik yang luas. Pidato di pengadilan Bandung itu kemudian dicatat dalam sejarah dan dibukukan dengan judul “Indonesia Menggugat”.

Sukarno yang sama kemudian juga berpidato tanpa teks di depan sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai pada Juni 1945. Momen pidato yang sangat penting dan disampaikan dengan berapi-api, yang membakar semangat bukan hanya diantara para peserta sidang tetapi juga seluruh rakyat Indonesia, kemudian dinyatakan sebagai “Hari Lahirnya Pancasila”.

Ada jarak waktu 15 tahun antara dua peristiwa itu, dan ada perkembangan kematangan pribadi pada seorang Sukarno, dari pemuda 29 tahun menjadi tokoh bangsa berumur 44 tahun, yang siap menjadi Pemimpin Negara. Namun demikian, diantara jarak dan perkembangan itu ada garis yang nyata menghubungkan gugatan dan apa yang dilahirkan. Hal itu adalah kemerdekaan bangsa.

Sukarno dan kawan-kawan dari Partai Nasional Indonesia (PNI) ditangkap pemerintah-penjajah Belanda pada akhir Desember 1929 dengan tuduhan pemberontakan karena kegiatan yang dilakukan Sukarno dan kawan-kawan PNI nya mengajak rakyat menolak penjajahan. Pidato yang dimaksud sebagai pembelaan atas tuduhan hukum itu kemudian menjadi sebuah pidato politik yang berisi gugatan terhadap penjajahan dan imperialisme yang telah dengan kejam menyengsarakan rakyat Indonesia.

Penjajahan Belanda termasuk via OIC dan VOC dilakukan karena didorong oleh persaingan dengan Inggris, Portugis, dan Spanyol. Bukan persaingan untuk berdagang secara terbuka, tetapi persaingan untuk mendapatkan monopoli atas tanah jajahannya.

Sukarno menggambarkan betapa keras dan kejamnya cara mendapatkan dan memperteguh monopoli itu. Bagaimana di kepulauan Maluku ribuan jiwa manusia dibinasakan, kerajaan-kerajaan dihancurkan, jutaan tanaman-tanaman cengkeh dan pala dibasmi. Demi monopoli, penjajahan menghancurkan kerajaan Makasar, perdagangan dipadamkan, sehingga ribuan penduduk kehilangan mata pencahariannya. Demikian pula dengan tanam paksa. Betapa kejam dan jahatnya sehingga lelaki, perempuan, anak-anak digiring untuk mengolah ladang-ladang itu. Kerap kali terjadi bahwa perempuan-peremuan yang hamil melahirkan anak waktu bekerja keras.

Sukarno memberikan contoh-contoh penderitaan rakyat akibat penjajahan Belanda. Namun yang digugat oleh Sukarno sifatnya lebih luas, yaitu menggugat imperialisme yang didorong oleh nafsu keserakahan disertai dengan perampasan-perampasan hak-hak di negeri yang asing. Dalam hal ini, imperialisme yang digugat adalah suatu paham, suatu pengertian. Imperialisme bukan badan atau pemerintah, tetapi suatu ‘nafsu’, suatu sistem menguasai atau mempengaruhi bangsa lain atau negeri lain yang juga menjadikan negeri-negeri lain itu sebagai tempat mengambil bekal industri, dan kemudian menjadikannya sebagai daerah-daerah pasaran bagi hasil-hasil industri itu. Imperialisme yang menciptakan tanah jajahan, sehingga menjadi suatu yang berbahaya bagi negeri-negeri merdeka.

Sukarno mengutip Prof. Dietrich Schafer untuk menguatkan gugatannya. Schafer menyatakan penjajahan adalah usaha mengolah tanah, harta-harta di dalam tanah, mengolah tanam-tanaman, mengolah hewan-hewan, dan terutama mengolah penduduk untuk keperluan ekonomi dari bangsa yang menjajah. Lebih lanjut, mengutip Prof Anton Menger, Sukarno menggugat tujuan penjajahan yang sesungguhnya yaitu memeras keuntungan dari suatu bangsa yang lebih rendah tingkat kemajuannya.

Atau dengan mengutip Pieter Jelles Troelstra, Sukarno menggugat imperialisme yang lahir dari persaingan antar negara, sedemikian sehingga masing-masing negara menerapkan politik proteksi, melindungi dirinya sendiri.

Proteksi itu membuat kemampuan produksi yang besar tetapi kemungkinan untuk menjual di negeri sendiri terbatas. Akibatnya mengalirlah kapital itu keluar, ke negeri-negeri yang belum maju ekonominya dan miskin akan modal, termasuk mengirimkan mesin-mesin mendirikan pabrik-pabrik, membikin jalan kereta api dan pelabuhan. Imperialisme yang digugat adalah juga bentuk penanaman modal di negeri-negeri yang terbelakang ekonominya, bertenaga buruh murah, serta tidak dibatasi oleh undang-undang perburuhan dan sebagainya.

Pidato Sukarno yang hebat itu tidak membuat dirinya bebas dari penjara Sukamiskin. Tetapi pidato membawa keberhasilan yang lebih besar: membangun kesadaran kolektif rakyat banyak, bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, termasuk hak nya bangsa Indonesia. Kesadaran itu memperkuat semangat rakyat yang membara untuk merdeka, dan berpadu dengan momen sejarah perang besar di Pasifik, sehingga sampailah pada saat Indonesia yang akan segera merdeka, diawal 1945. Tetapi timbul pertanyaan, apa dasar (negara) Indonesia yang merdeka itu?

Sukarno menggugat penjajahan agar bangsanya mendapatkan hak untuk menjadi negara yang merdeka, Sukarno pula yang kemudian berpidato menjawab pertanyaan tentang dasar negara (merdeka) Indonesia, dengan mengajukan pokok-pokok, sila-sila dasar negara merdeka.

Dalam pidatonya Sukarno mengusulkan agar negara Indonesia merdeka didasarkan pada kebangsaan, kemanusiaan, permufakatan atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan. Usul itu diterima. Jadilah 1 Juni 1945 dinyatakan sebagai Hari Lahir Pancasila. Dan setelah diolah dan dibahas ulang sekitar dua bulan, pada 18 Agustus 1945 rumusan resmi dasar negara Indonesia merdeka dinyatakan dalam Mukadimah Undang-undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

Kemerdekaan memang adalah hak segala bangsa. Dan kita telah membangun kesadaran bangsa untuk merdeka, telah merebut dan memproklamasikan kemerdekaan, serta telah membela kemerdekaan itu dengan darah dan nyawa. Tetapi hak kemerdekaan itu harus terus diperjuangkan, dijaga, dan jika perlu direbut (kembali).

Tantangan kita saat ini adalah untuk tetap mempertahankan dan meningkatkan kualitas kemerdekaan, serta menghadapi berbagai hal yang dapat menggerogoti hak tanah air dan bangsa atas peri kehidupan yang merdeka, kemiskinan, ketimpangan, bentuk-bentuk imperialisme baru, kerusakan lingkungan, dan berbagai masalah lain yang berasal dari dalam atau dari luar negara kita sendiri. Dan seperti pengalaman Sukarno, ternyata tidak cukup hanya menggugat agar masalah-masalah itu diselesaikan. Kita juga harus siap melahirkan jawaban atas pertanyaan lanjutannya saat gugatan yang diajukan dipenuhi.

Selamat Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2020.

Dwitya Putra

Recent Posts

Siap-Siap! Transaksi E-Money dan E-Wallet Terkena PPN 12 Persen, Begini Hitungannya

Jakarta - Masyarakat perlu bersiap menghadapi kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Salah… Read More

20 mins ago

Kemenkraf Proyeksi Tiga Tren Ekonomi Kreatif 2025, Apa Saja?

Jakarta - Kementerian Ekonomi Kreatif/Badan Ekonomi Kreatif (Kemenkraf/Bekraf) memproyeksikan tiga tren ekonomi kreatif pada 2025. … Read More

30 mins ago

Netflix, Pulsa hingga Tiket Pesawat Bakal Kena PPN 12 Persen, Kecuali Tiket Konser

Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan bahwa sejumlah barang dan jasa, seperti… Read More

1 hour ago

Paus Fransiskus Kembali Kecam Serangan Israel di Gaza

Jakarta -  Pemimpin tertinggi Gereja Katolik Sedunia Paus Fransiskus kembali mengecam serangan militer Israel di jalur… Read More

1 hour ago

IHSG Dibuka Menguat Hampir 1 Persen, Balik Lagi ke Level 7.000

Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berbalik dibukan naik 0,98 persen ke level 7.052,02… Read More

3 hours ago

Memasuki Pekan Natal, Rupiah Berpotensi Menguat Meski Tertekan Kebijakan Kenaikan PPN

Jakarta – Pengamat Pasar Uang, Ariston Tjendra, mengungkapkan bahwa kebijakan pemerintah terkait kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)… Read More

3 hours ago