oleh Paul Sutaryono
PADA September 2019 hingga Januari 2020 telah tercapai kesepakatan restrukturisasi kredit antara sejumlah bank sebagai kreditur dan PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) sebagai debitur. Tujuannya, agar KRAS tetap dapat beroperasi. Namun, ada bom waktu ketika kredit berisiko (loan at risk) turun kelas menjadi kredit bermasalah (non performing loan/NPL). Bagaimana mengatasinya?
Ada sejumlah bank yang telah menyalurkan kredit US$2.005.636 ribu (setara dengan Rp28,08 triliun dengan kurs Rp14.000) kepada KRAS dan melakukan restrukturisasi kredit. Bank tersebut meliputi Bank Mandiri, BNI, BRI, Bank CIMB Niaga, Bank OCBC NISP, Bank ICBC Indonesia, Indonesia Eximbank, Bank DBS Indonesia, Standard Chartered Indonesia, dan BCA (Koran Kontan, 29 Januari 2020).
Restrukturisasi kredit merupakan upaya perbaikan yang dilakukan bank kepada debitur yang sedang mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajibannya. Upaya restrukturisasi kredit itu dilakukan dengan penurunan suku bunga, perpanjangan tenor, pengurangan tunggakan bunga kredit, pengurangan tunggakan pokok kredit, penambahan fasilitas kredit, dan konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara.
Namun, restrukturisasi kredit itu juga berpotensi menimbulkan risiko kredit bermasalah bagi bank. Dalam perbankan dikenal kualitas kredit, yang disusun berdasarkan penilaian prospek usaha, kinerja debitur, dan kemampuan membayar. Ada lima kualitas kredit: kredit lancar atau kolektibilitas 1 (dengan cadangan minimal 1% dari aktiva), kredit dalam perhatian khusus atau kolektibilitas 2 (minimal 5% dari aktiva setelah dikurangi nilai agunan), kredit kurang lancar atau kolektibilitas 3 (minimal 15% dari aktiva setelah dikurangi nilai agunan), kredit diragukan atau kolektibilitas 4 (minimal 50% dari aktiva setelah dikurangi nilai agunan), dan kredit macet atau kolektibilitas 5 (minimal 100% dari aktiva setelah dikurangi nilai agunan). Nah, yang dapat disebut NPL adalah kredit kolektibilitas 3, 4, dan 5.
Lantas, apa saja langkah strategis untuk mengendalikan NPL? Sesungguhnya, apa dampak NPL tinggi? Pertama, bank harus membentuk cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang lebih tinggi. Hal itu dapat menggerus modal sehingga rasio pemenuhan kecukupan modal minimum (capital adequacy ratio/CAR) menciut.
Statistik Perbankan Indonesia yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, CAR menebal dari 22,97% per Desember 2018 menjadi 23,40% per Desember 2019. Itu kondisi yang menggembirakan di tengah perlambatan ekonomi dewasa ini.
Bagaimana CAR berdasarkan bank umum kegiatan usaha (BUKU)? CAR BUKU 1, 3, dan 4 menebal, sedangkan CAR BUKU 2 menipis. CAR BUKU 1 menebal dari 22,21% menjadi 25,13%, BUKU 3 dari 25,07% menjadi 25,34%, dan BUKU 4 dari 21,05% menjadi 22,00%. Sebaliknya, CAR BUKU 2 turun dari 26,28% menjadi 25,44%.
Tentu NPL tinggi akan menekan permintaan kredit baru atau tambahan. Ujungnya, pendapatan dari bunga (interest income) turun karena angsuran bulanan terlambat sebagai akibat langsung dari restrukturisasi kredit. Sebaliknya, biaya perbaikan NPL cenderung akan naik.
Kedua, kredit yang direstrukturisasi itu akan masuk kolektibilitas 2 (kredit dalam perhatian khusus). Bagaimana kiat bank supaya kredit itu tak turun kelas menjadi kolektibilitas 3 (kredit kurang lancar)? Bank wajib melakukan review agunan kemudian memblokirnya. Agunan bisa berupa surat berharga, Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Utang Negara (SUN), properti (tanah dan bangunan), giro, tabungan, dan deposito.
Ketiga, bank dapat pula menempatkan pegawai bank sebagai “penasihat keuangan” di perusahaan yang kreditnya direstrukturisasi. Apa fungsinya? “Penasihat keuangan” itu membantu perusahaan agar prospek usaha debitur makin cerah dengan menggali potensi pertumbuhan usaha, memperbaiki kondisi pasar dan posisi debitor dalam persaingan usaha. Ia juga membantu mendongkrak modal.
Apa fungsi modal bagi bank? Modal merupakan bantalan yang memberikan perlindungan terhadap aneka potensi risiko yang melekat pada bisnis suatu institusi. Risiko tersebut akan memengaruhi keamanan dana deposito, kredit yang dikucurkan, dan institusi bersangkutan. Modal itu bertujuan untuk memberikan kepercayaan kepada deposan, pemberi pinjaman, dan pemangku kepentingan (Michel Crouhy, Dan Galai & Robert Mark, 2000).
Untuk itu, modal bank akan terus ditingkatkan (direformasi). Menurut Basel Committee on Banking Supervision (BCBS, 2010c), program reformasi ini memiliki enam bagian: (1) koreksi persyaratan modal untuk trading book, (2) langkah-langkah untuk meningkatkan kualitas modal inti, (3) peningkatan level modal minimum yang disyaratkan, (4) penciptaan penyangga di atas minimum, (5) pengenalan rasio leverage sebagai backstop ke rezim modal minimum, dan (6) persyaratan bahwa modal non-ekuitas menyerap kerugian pada titik tidak viabilitas. Perubahan-perubahan ini akan dilakukan secara bertahap dalam kurun waktu delapan tahun sehingga rezim modal baru akan beroperasi penuh mulai 1 Januari 2019 (Thomas F. Huertas, Crisis: Cause, Containment and Cure, 2011).
Trading book adalah seluruh posisi instrumen keuangan dalam neraca dan rekening administratif termasuk transaksi derivatif yang dimiliki bank dengan tujuan untuk diperdagangkan, dipindahtangankan, dan dilakukan lindung nilai (hedging) secara keseluruhan, baik dari transaksi untuk kepentingan sendiri (proprietary positions) atas permintaan nasabah maupun kegiatan perantaraan (brokering) dan untuk pembentukan pasar (market making).
Karena itu, tidak mengherankan ketika OJK segera menerbitkan aturan batas minimum modal bank dari Rp1 triliun menjadi Rp3 triliun. Minimum modal bank Rp3 triliun itu dapat dipenuhi secara bertahap selama tiga tahun. Minimum modal direncanakan menjadi Rp1 triliun, Rp2 triliun, dan Rp3 triliun masing-masing pada 2020, 2021, dan 2022.
Keempat, potensi risiko makin tinggi ketika perusahaan domestik terpapar dampak virus Corona baru (COVID-19) karena rantai pasokan (supply chain) dari Tiongkok tidak lancar atau bahkan macet. Hal itu terjadi tatkala Tiongkok menjadi tujuan utama ekspor dan impor Indonesia. Ancaman serius tiba manakala kinerja perusahaan anjlok sehingga kewajiban kepada bank menjadi seret. Akibatnya, restrukturisasi kredit bisa membengkak.
Kelima, bank wajib terus menaikkan tingkat efisiensi yang tersurat pada rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BO/PO). Kini BO/PO bank umum tampak naik (memburuk) dari 77,86% per Desember 2018 menjadi 79,39% per Desember 2019 yang merupakan rata-rata industri.
Bagaimana BO/PO menurut BUKU? Tingkat efisiensi BUKU 1, 2, dan 3 memburuk. BO/PO BUKU 1 naik dari 87,90% menjadi 89,55%, BUKU 2 dari 86,21% menjadi 88,32%, dan BUKU 3 dari 85,88% menjadi 87,40%. Semuanya melewati rata-rata industri 79,39% dan rasio ideal 70%-80%. Dengan bahasa lebih bening, ketiga BUKU itu tidak efisien.
Hanya BUKU 4 yang masih efisien, meskipun BO/PO memburuk dari 69,18% menjadi 72,31%. BUKU 4 terdiri atas BRI, Bank Mandiri, BCA, BNI, CIMB Niaga, dan PaninBank. Segera menyusul Bank Danamon yang merger dengan Bank Nusantara Parahyangan untuk menjadi anggota BUKU 4 dalam waktu dekat.
BO/PO bank umum 79,39% itu masih jauh lebih tinggi daripada BO/PO bank-bank di negara lain di ASEAN yang “hanya” mencapai 40%-60%. Hal itu menjadi tantangan serius bagi OJK untuk terus memperbaiki tingkat efisiensi bank. Sebab, efisiensi tinggi menjadi senjata ampuh dalam memenangi persaingan perbankan.
Tak hanya itu. Bank umum harus terus menggenjot tingkat efisiensi dengan pelbagai upaya, seperti merelokasi atau bahkan menutup kantor cabang yang hanya impas apalagi merugi. Sejalan dengan peningkatan pemanfaatan teknologi informasi, sudah sepatutnya bank membatasi kantor cabang dalam bentuk fisik.
Ringkas tutur, akan lebih prospektif tatkala bank mengembangkan bank nirkantor (branchless banking). Gempuran perusahaan financial technology (fintech) atau teknologi finansial (tekfin) dengan menawarkan produk pinjam meminjam (peer to peer/P2P lending) menjadi tantangan sejati bagi bank. Tekfin telah menggerus pangsa pasar bank. Sarinya, bank terpapar disrupsi teknologi.
Keenam, bank pun dapat membentuk Aset Manajemen Unit (AMU) yang secara hukum harus terpisah dari bank. Lembaga itu mirip Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang dibentuk pemerintah dengan Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998. BPPN dibubarkan melalui Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2014.
Fungsi AMU adalah melakukan pembelian dan penyelesaian aset bermasalah. Intinya, bank dapat menjual NPL ke AMU sehingga neraca perbankan bakal bersih. Sekitar Januari 2016 OJK pernah mewacanakan pembentukan AMU, tapi kemudian hilang tanpa bekas.
Dengan bahasa lebih lugas, AMU sangat diperlukan dalam ekonomi yang kurang tonikum seperti saat ini. Repotnya, AMU dapat melahirkan aji mumpung (moral hazard) sehingga bank justru kurang berhati-hati dalam mengelola kredit.
Berbekal aneka langkah strategis demikian, bank kreditur KRAS amat diharapkan bakal tetap sehat. Sungguh! (*)
Penulis adalah Staf Ahli Pusat Studi BUMN, pengamat perbankan, & mantan Assistant Vice President BNI
Jakarta – PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel pada hari ini (22/11)… Read More
Jakarta - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2024 mencatatkan surplus sebesar USD5,9 miliar, di… Read More
Head of Institutional Banking Group PT Bank DBS Indonesia Kunardy Lie memberikan sambutan saat acara… Read More
Pengunjung melintas didepan layar yang ada dalam ajang gelaran Garuda Indonesia Travel Festival (GATF) 2024… Read More
Jakarta - PT Eastspring Investments Indonesia atau Eastspring Indonesia sebagai manajer investasi penerbit reksa dana… Read More
Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat perubahan tren transaksi pembayaran pada Oktober 2024. Penggunaan kartu ATM/Debit menyusut sebesar 11,4… Read More