Analisis

Mengapa OJK “Sibuk” Bicara Pertumbuhan Ekonomi

oleh Eko B Supriyanto

PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) berbicara soal reformasi asuransi. Entah karena maraknya kasus window dressing di asuransi, khususnya Jiwasraya dan Asabri. Bukan tak mungkin diikuti dengan perusahaan asuransi swasta yang mengikuti pola yang sama dengan Jiwasraya. Namun, pernyataan Jokowi perlu digarisbawahi karena mengajak industri asuransi untuk tumbuh dengan tata kelola yang baik.

Sehari setelah Jokowi menggulirkan kata reformasi di tubuh asuransi, Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun bicara reformasi sektor asuransi, termasuk di pengawasan. Entah karena pernyataan Presiden, entah karena sudah jadi program. Namun, pernyataan Presiden “diikuti” oleh OJK—yang merupakan lembaga independen, yang sama posisi dan kedudukannya dengan Bank Indonesia (BI). Selama ini jarang OJK bicara reformasi, bahkan di langkah strategis 2020 tidak ada satu kata reformasi pun dari OJK.

Hat trick. Tiga tahun berturut-turut, tema Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan (PTIJK) selalu menyebut kata pertumbuhan. Tahun 2018 “OJK Membantu Pemerintah Mewujudkan Pemerataan Pembangunan”. Setahun kemudian (2019), menjelang pilpres, temanya “Memacu Pertumbuhan”.

Tahun ini (2020) temanya tetap sama. Ada kata pertumbuhan juga. Simak! “Ekosistem Keuangan Berdaya Saing untuk Pertumbuhan Berkualitas”. Pertanyaannya, memang tugas OJK memacu pertumbuhan? Mengapa OJK selalu bicara pertumbuhan? Bukankah pertumbuhan itu tugas pemerintah?

OJK bicara pertumbuhan, Jokowi bicara reformasi sektor keuangan (asuransi). Kita semua ingin melihat OJK independen sesuai dengan muruah pendiriannya. OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel. Juga mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Tema-tema OJK tentang pertumbuhan sudah seharusnya dikurangi karena pertumbuhan bukan tugas pokok OJK.

Jalan-jalan bertemu kiai untuk meresmikan bank wakaf harus dikurangi karena dampak ekonominya rendah dibandingkan dengan kalau OJK membuat kebijakan tentang pemberdayaan ekonomi mikro. Bank wakaf itu oleh publik diasumsikan berbau politik. Cerita menjadi lain bila dana bank wakaf itu sumbernya dari para pemilik bank dan asuransi yang diawasi oleh OJK. OJK harus independen, baik dari intervensi pemerintah maupun “godaan” swasta.

Lebih patut jika bicara memperkuat pengawasan dan muruah didirikannya OJK delapan tahun lalu—agar tidak terjadi regulasi arbitrase. Memilih pengaturan yang ringan. Pengawasan terintegrasi yang efektif dengan tenaga pengawas yang juga memadai dari sisi jumlah, kapasitas dan anggaran. Itu yang lebih strategis sekarang ini.

Jumlah pengawas di IKNB pun jauh dari memadai, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Bayangkan, untuk perusahaan asuransi yang sekitar 146 dan multifinance yang lebih dari 184, jumlah pengawasnya hanya di kisaran 130-150, termasuk pejabatnya. Hal yang sama untuk jumlah pengawas dana pensiun.

Industri keuangan sudah berkembang pesat. Produk bank dan produk asuransi juga sudah berkembang. Pasar modal penuh dengan siasat. Jangan sampai perkembangan industri keuangan tidak diimbangi dengan kualitas pengawasnya. Lemahnya pengawasan karena integritas pengawas dan kualitas leadership yang belum memadai. Pengawasan bermasalah bisa jadi karena pimpinan tidak tahu, atau tidak mau tahu, sehingga tidak ada prompt corrective action.

Saat ini ada ide “pembubaran” OJK dari DPR, majalah ini tidak setuju. Lebih baik OJK fokus pada pengawasan IKNB saja, dan perlu dikaji kembali pengawasan bank dikembalikan ke BI. Jujur saja, model pengawasan bank oleh OJK dan juga masih oleh BI—yang selama ini berlangsung—sungguh membingungkan, kurang efisien dan efektif, serta boros.

Majalah ini setuju jika melakukan reformasi asuransi dari pengaturan, pengawasan, dan pengembangan. POJK No.43/2019 tentang Tata Kelola Perusahaan Pearasuransian – mewajibkan pelaku usaha memiliki direktur kepatuhan adalah baik. Kendati demikian, sebelum mereformasi asuransi, sejatinya yang perlu direformasi dulu di tubuh OJK. Tentu tidak hanya asuransi, sektor pasar modal dan dana pensiun juga harus dibersihkan dari mafia. Itu tugas OJK untuk bersih-bersih.

Pengawasan konglomerasi tidak efektif karena silo-silo OJK masih ada. Setidaknya perlu amandemen undang-undang (UU) OJK dengan memasukkan lembaga pengawas OJK seperti Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI). Amandemen UU OJK setidaknya menghilangkan silo-silo. Jadi, untuk apa pengawasan bank di OJK jika masih ada silo-silo? Ampuuun! (*)

Penulis adalah Pemimpin Redaksi Infobank

Paulus Yoga

Recent Posts

Askrindo Dukung Gerakan Anak Sehat Indonesia di Labuan Bajo

Labuan Bajo – PT Askrindo sebagai anggota holding BUMN Asuransi, Penjaminan dan Investasi Indonesia Financial… Read More

5 mins ago

Konsumsi Meningkat, Rata-Rata Orang Indonesia Habiskan Rp12,3 Juta di 2024

Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pengeluaran riil rata-rata per kapita masyarakat Indonesia sebesar Rp12,34 juta… Read More

3 hours ago

Laba Bank DBS Indonesia Turun 11,49 Persen jadi Rp1,29 Triliun di Triwulan III 2024

Jakarta - Bank DBS Indonesia mencatatkan penurunan laba di September 2024 (triwulan III 2024). Laba… Read More

4 hours ago

Resmi Diberhentikan dari Dirut Garuda, Irfan Setiaputra: Saya Terima dengan Profesional

Jakarta - Melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada Jumat, 15 November 2024,… Read More

5 hours ago

IHSG Ditutup Bertahan di Zona Merah 0,74 Persen ke Level 7.161

Jakarta – Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada hari ini, 15 November 2024, masih ditutup… Read More

5 hours ago

Naik 4 Persen, Prudential Indonesia Bayar Klaim Rp13,6 Triliun per Kuartal III-2024

Jakarta - PT Prudential Life Assurance atau Prudential Indonesia mencatat kinerja positif sepanjang kuartal III-2024.… Read More

6 hours ago