Oleh Ryan Kiryanto, Ekonom dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia/LPPI
DANA Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) baru saja mengumumkan laporan World Economic Outlook (WEO) edisi April 2023 tentang outlook pertumbuhan ekonomi global 2023 dan 2024. Menurut IMF, ekonomi dunia masih belum pulih dari pergolakan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam tiga tahun terakhir, dan gejolak perbankan baru-baru ini telah meningkatkan ketidakpastian.
Untuk itu, IMF memperkirakan pertumbuhan output global turun dari 3,4% tahun lalu (2022) menjadi 2,8% pada 2023, sebelum naik menjadi 3% pada 2024. Sebagian besar perkiraan lainnya tidak berubah dari proyeksi Januari.
Negara-negara maju diperkirakan akan mengalami perlambatan pertumbuhan yang sangat nyata dari 2,7% pada 2022 menjadi 1,3% pada 2023. Inflasi utama global akan turun dari 8,7% pada 2022 menjadi 7% pada 2023 didukung oleh harga komoditas yang lebih rendah, meskipun inflasi inti tetap tinggi. Yang tak kalah penting, prospek terbaru ini mengasumsikan bahwa tekanan di sektor keuangan baru-baru ini (di Eropa dan Amerika Serikat/AS) tetap dapat dikendalikan.
Namun, gejolak sistem perbankan tersebut dapat mengakibatkan pengetatan kondisi keuangan global yang lebih tajam dan lebih persisten. Kenaikan suku bunga acuan secara simultan di seluruh negara dapat memiliki efek kontraksi lebih dari yang diperkirakan, terutama karena tingkat utang sejumlah negara berada pada level tertinggi dalam sejarah.
Alhasil, banyak ketidakpastian mengaburkan prospek jangka pendek dan menengah karena ekonomi global menyesuaikan diri dengan guncangan sepanjang 2020-2022 dan gejolak sektor keuangan baru-baru ini. Kekhawatiran terhadap ancaman resesi di beberapa negara maju beserta inflasinya yang masih tinggi tetap menghantui. Mungkin dibutuhkan kebijakan moneter yang lebih ketat jika inflasi tetap bertahan tinggi.
Dengan kabut gelap di sekitar kondisi ekonomi global saat ini, para pembuat kebijakan memiliki jalan sempit untuk berjalan menuju pemulihan stabilitas harga sambil menghindari resesi dan menjaga stabilitas keuangan. Mencapai pertumbuhan yang kuat, berkelanjutan, dan inklusif mengharuskan para pembuat kebijakan untuk tetap gesit dan siap siaga menyesuaikan diri ketika berbagai data indikator ekonomi berubah drastis dan cepat.
Pertama, selama tekanan di sektor keuangan bersifat tidak sistemis seperti sekarang, maka perang melawan inflasi harus tetap menjadi prioritas bagi bank sentral.
Kedua, untuk menjaga stabilitas keuangan, bank sentral harus menggunakan instrumen kebijakan terpisah dan mengomunikasikan tujuan kebijakan tersebut secara gamblang kepada publik untuk menghindari misperception atau misleading. Kebijakan di sektor keuangan harus tetap fokus pada upaya menjaga stabilitas keuangan dan mengawasi setiap penumpukan risiko di bank, nonbank, dan sektor real estat.
Ketiga, di banyak negara – khususnya di kawasan Amerika Latin sebagai referensi – kebijakan fiskal harus diperketat untuk mengurangi tekanan inflasi, mengendalikan keberlanjutan utang, dan membangun kembali penyangga fiskal.
Akhirnya, jika terjadi arus keluar modal (capital outflows) yang meningkatkan risiko stabilitas keuangan, para pengambil kebijakan di pasar negara berkembang dan negara berkembang harus menggunakan kerangka kebijakan terpadu, misalnya manajemen intervensi valuta asing dan aliran modal sesuai kebutuhannya.
Prospek Asia dan Pasifik
Terlepas dari latar belakang suram tahun yang menantang bagi ekonomi dunia, kawasan Asia dan Pasifik tetap menjadi kawasan yang dinamis. Ekonomi Tiongkok yang dibuka kembali rebound dengan kuat dan akan menghasilkan spillover positif untuk para mitra dagangnya memberikan momentum baru bagi pertumbuhan Asia.
Ekonomi Tiongkok diperkirakan tumbuh 5,2% pada 2023, karena pembukaan kembali ekonominya menghasilkan pemulihan yang kuat di konsumsi swasta. Di masa lalu, spillover terkuat untuk pertumbuhan regional berasal dari permintaan Tiongkok untuk barang-barang investasi. Tapi, kali ini, IMF memperkirakan efek spillover terbesar akan berasal dari meningkatnya permintaan Tiongkok untuk barang-barang konsumsi.
Pertumbuhan ekonomi di Asia-Pasifik diproyeksikan meningkat tahun ini menjadi 4,6% atau 0,3% lebih tinggi dari perkiraan Oktober 2022 lalu. Revisi ke atas ini sebagian besar merefleksikan pembukaan kembali Tiongkok. Perkiraan ini menyiratkan bahwa kawasan ini akan berkontribusi lebih dari 70% dari pertumbuhan global tahun ini.
Di negara maju Asia, pertumbuhan ekonomi akan melambat tahun ini menjadi 1,6% atau lebih lambat dari perkiraan Oktober lalu. Di emerging markets and developing economies (EMDE) Asia, terlihat banyak dinamisme yang kuat pada 2023, didorong terutama oleh pemulihan di Tiongkok dan pertumbuhan yang tangguh di India.
Kedua negara ekonomi besar di Asia itu akan menyumbang sekitar setengah dari pertumbuhan global. Pertumbuhan di sebagian besar negara lain diperkirakan akan mencapai titik terendah pada 2023 ini, sejalan dengan wilayah lain.
Di Jepang, pertumbuhan diperkirakan sedikit naik menjadi 1,3% pada 2023, didukung oleh sikap moneter dan fiskal ekspansif. Di India, momentum pertumbuhan mulai melambat karena melemahnya permintaan domestik kurang mampu mengimbangi permintaan jasa eksternal yang kuat. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan sedikit moderat dari 6,8% pada 2022 menjadi 5,9% tahun ini.
Pertumbuhan ekonomi Korea Selatan untuk 2023 direvisi turun menjadi 1,5%, yang mencerminkan momentum pertumbuhan yang melambat sebagian karena penurunan dalam siklus teknologi, dan produksi yang lemah pada kuartal keempat 2022.
Ekonomi subkawasan ASEAN diperkirakan mengalami penurunan pertumbuhan dari 5,7% pada 2022 menjadi 4,6% pada 2023, karena sedikit moderasi dalam permintaan domestik, pengetatan kebijakan moneter, harga komoditas yang lebih rendah, dan permintaan eksternal yang lebih lemah dari AS dan Eropa.
Meskipun outlook perekonomian Asia dan Pasifik terlihat cukup solid, namun dengan posisi inflasi yang masih di atas target masing-masing bank sentralnya, juga dengan kondisi suku bunga riil yang rendah dan negatif di beberapa negara, maka bank-bank sentral mungkin perlu mempertahankan stance suku bunga acuan di level tinggi untuk jangka waktu setidaknya sampai dengan akhir semester pertama tahun ini. Apalagi ketidakpastian yang signifikan juga baru saja terjadi di sektor keuangan Eropa dan AS yang menghadirkan tantangan lain.
Sistem keuangan di dua kawasan ini juga harus mampu menahan tekanan ini karena bank-bank bermasalah di Eropa dan AS dikapitalisasi dengan baik dan memiliki penyangga likuiditas yang kuat, diperkuat dengan sikap waspada dari para pengawas sektor keuangan.
Prospek Ekonomi Indonesia
IMF memproyeksikan outlook ekonomi Indonesia akan tumbuh lebih baik menjadi 5,0% tahun ini dan 5,1% di 2024 nanti. Perkiraan ini lebih baik 0,2% dari perkiraan Januari 2023 lalu yang masing-masing sebesar 4,8% (2023) dan 4,9% (2024). Perkiraan terbaru IMF ini relatif identik atau sama dengan perkiraan lembaga-lembaga lain, seperti Bank Dunia (World Bank) dan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB), yang berkisar di 4,8%-5,1% untuk 2023.
Revisi ke atas outlook ekonomi Indonesia ini mencerminkan keberhasilan penyusunan kebijakan di semua area (moneter, fiskal, keuangan, dan sektor riil) yang tepat dan diimplementasikan dengan tepat pula. Tentu semuanya dengan dosis kebijakan yang serbatepat, yaitu tepat ukuran, tepat ramuan, tepat waktu, dan tepat sasaran.
Konsistensi kebijakan ekonomi, moneter, fiskal, dan keuangan yang sinergis dan antisipatif sejak masa pandemi yang lalu hingga saat ini yang terus dijalankan menjadi kunci keberhasilan Indonesia mampu tumbuh cukup mengesankan sebesar 5,31% (2022) dan diproyeksi berkisar 5% tahun ini dan sedikit di atas 5% di 2024 nanti.
Konsumsi rumah tangga yang terjaga kuat didukung oleh kinerja ekspor yang baik serta meningkatnya investasi langsung (domestik dan asing) menjadi penopang pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang konsisten dengan resiliensi yang kuat.
Hal lain, perekonomian dan sektor keuangan Indonesia relatif terisolasi dari krisis keuangan di Eropa (Jerman dan Swiss) dan AS. Jatuhnya Credit Suisse di Swiss dan Silicon Valley Bank (SVB) di AS tidak akan menjalar ke perbankan Indonesia karena konektivitasnya yang amat rendah, bahkan mungkin tidak ada, dengan perbankan Indonesia.
Indikator ekonomi utama lainnya sejauh ini juga terkelola dengan baik, salah satunya pengendalian laju inflasi melalui instrumen kebijakan moneter. Inilah yang menjadi salah satu dasar pertimbangan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada 17-18 April 2023 lalu memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day (Reverse) Repo Rate (BI7DRR) sebesar 5,75%, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,50%.
Keputusan ini juga konsisten dengan stance kebijakan moneter yang pre-emptive dan forward looking untuk memastikan terus berlanjutnya penurunan ekspektasi inflasi dan inflasi ke depan. Dengan ditahannya BI7DRR di level 5,75% diyakini bahwa arah inflasi inti akan tetap terkendali pada kisaran 3,0±1% di sisa 2023 dan inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) dapat kembali ke sasaran 3,0±1% lebih awal dari prakiraan sebelumnya.
Tekanan inflasi terus menurun dan mendukung stabilitas perekonomian. Inflasi IHK secara bulanan tercatat 0,18% (month to month/mtm) lebih rendah dari pola historisnya di periode awal Ramadan, sehingga secara tahunan turun dari level bulan sebelumnya sebesar 5,47% (year on year/yoy) menjadi 4,97% (yoy).
Pelandaian inflasi terjadi di semua kelompok, yaitu inti, volatile food, dan administered prices. Inflasi inti Maret 2023 terus melambat dari 3,09% (yoy) menjadi 2,94% (yoy) dipengaruhi ekspektasi inflasi dan tekanan imported inflation yang menurun serta pasokan agregat yang memadai dalam merespons kenaikan permintaan barang dan jasa. Sementara itu, inflasi volatile food turun dari 7,62% (yoy) pada Februari 2023 menjadi 5,83% (yoy).
Tekanan inflasi yang terus menurun tersebut dipengaruhi oleh dampak positif kebijakan moneter BI yang pre-emptive dan forward looking serta sinergi yang kuat dalam pengendalian inflasi antara BI dan pemerintah (pusat dan daerah) dalam Tim Pengendali Inflasi Pusat (TPIP) dan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) melalui penguatan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di berbagai daerah.
Di samping itu, ditahannya BI7DRR pada level 5,75% juga tidak akan memberikan efek negatif bagi perekonomian nasional karena bank sentral tetap memberikan ruang gerak yang longgar kepada pelaku industri jasa keuangan terkait fungsi intermediasinya.
Untuk menopang sektor riil, BI memberlakukan peningkatan insentif kebijakan makroprudensial untuk mendorong pertumbuhan kredit/pembiayaan perbankan kepada sektor-sektor prioritas yang belum pulih, Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan kredit/ pembiayaan hijau sejak 1 April 2023.
BI meyakini pertumbuhan ekonomi tetap kuat ditopang naiknya permintaan domestik dan positifnya kinerja ekspor. Konsumsi swasta diprakirakan makin kuat seiring dengan terus naiknya mobilitas, membaiknya keyakinan konsumen, dan meningkatnya daya beli seiring dengan penurunan inflasi. Kegiatan investasi tetap berlanjut, terutama investasi nonbangunan.
Kinerja ekspor tetap positif ditandai surplus yang berkelanjutan. Hingga Maret 2023, ekspor nonmigas Indonesia tumbuh tinggi, didukung oleh ekspor batu bara, mesin listrik, dan kendaraan bermotor. Berdasarkan negara tujuan, ekspor nonmigas ke Tiongkok, AS, dan Jepang menjadi kontributor utama. Berdasarkan lapangan usaha, kinerja sektor industri pengolahan, perdagangan, serta informasi dan komunikasi diprakirakan tumbuh kuat.
Untuk menggerakkan aktivitas sektor riil, investasi dan ekspor-impor, diperlukan dukungan sektor pembiayaan, yakni perbankan. Sejauh ini intermediasi perbankan terus berperan positif menopang pemulihan ekonomi.
Pertumbuhan kredit perbankan pada Maret 2023 tetap tinggi, yaitu sebesar 9,93% (yoy). Pembiayaan syariah juga menunjukkan kinerja positif, tumbuh lebih tinggi mencapai 19,43% (yoy). Di segmen UMKM, pertumbuhan kredit terus berlanjut, mencapai 8,63% (yoy), didukung realisasi penyaluran KUR sebesar Rp30,31 triliun hingga 31 Maret 2023.
Kredit/pembiayaan yang tinggi didorong kondisi likuiditas perbankan yang memadai untuk mengimbangi peningkatan permintaan korporasi dan rumah tangga seiring dengan kinerja usaha korporasi dan UMKM, serta konsumsi rumah tangga yang terus terjaga. Alhasil, pertumbuhan kredit pada 2023 diprakirakan tetap dalam kisaran 10%-12%.
Dengan berbagai perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia 2023 diprakirakan bisa dalam kisaran proyeksi 4,5%-5,3% (dengan titik tengah 5,0%) atau selaras dengan perkiraan IMF terbaru. (*)
Jakarta - Masyarakat perlu bersiap menghadapi kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Salah… Read More
Jakarta - Kementerian Ekonomi Kreatif/Badan Ekonomi Kreatif (Kemenkraf/Bekraf) memproyeksikan tiga tren ekonomi kreatif pada 2025. … Read More
Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan bahwa sejumlah barang dan jasa, seperti… Read More
Jakarta - Pemimpin tertinggi Gereja Katolik Sedunia Paus Fransiskus kembali mengecam serangan militer Israel di jalur… Read More
Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berbalik dibukan naik 0,98 persen ke level 7.052,02… Read More
Jakarta – Pengamat Pasar Uang, Ariston Tjendra, mengungkapkan bahwa kebijakan pemerintah terkait kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)… Read More