Oleh: Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Institute
HARI-HARI ini, kalangan perbankan sudah mulai gundah gulana. Padahal, April, Mei dan awal Juni 2021 lalu sudah ada aura optimis. Kredit sudah mulai mengucur meski tipis-tipis. Para debitur juga sudah mulai beranjak untuk menyelesaikan pinjamannya. Eh, siapa yang menduga badai COVID-19 di pertengahan Juni, dan sepanjang Juli 2021 optimisme berubah menjadi penuh ketidak pastian.
Nasib kredit yang sudah diberikan, baik yang baru, maupun yang direstrukturisasi kembali meberikan signal negatif. Dunia usaha terkapar, jika tidak mau dibilang setengah mati. Sektor-sektor pariwisata, perhotelan, restoran dan perdagangan paling terkena dampak. Sektor UMKM, dan kaki lima yang selama ini menjadi penopang hidup masyarakat tercekik cash flow akibat penerapan PPKM Darurat dan berlanjut ke PPKM Level 4.
Krisis akibat COVID-19 ini berbeda dengan krisis-krisis sebelumnya, seperti krisis moneter tahun 198/1999 maupun krisis global tahun 2008/2009 lalu. Biaya krisis akibat Pandemi COVID-19 sudah dua kali biaya krisis tahun 1998/1999. Belum ada tanda-tanda kapan akan berakhir.
Bedanya, krisis akibat pandemi COVID-19 belum ada bank yang harus diselamatkan. Belum ada biaya rekapitalisasi, seperti tahun 1998/1999 dan bail-out seperti tahun 2008/2009. Jadi, kondisi perbankan sekarang ini justru banjir likuiditas. Posisi permodalannya juga melebihi ketentuan dan cenderung menjadi lazy bank (CAR yang terlalu tinggi berkisar 23-24%). Padahal, cukup dengan kisaran 12-15%.
Bank-bank menderita “disfungsi” intermediasi selama setahun ini. Menurut data Infobank Institute yang diolah dari dari Bank Indonesia, pertumbuhan kredit sejak Juni 2020 sudah minus 1,21%, Desember 2021 minus 2,41%, dan Maret 2021 minus 4,13%. Nah, baru Juni 2021 lalu, bank baru “kencing kredit” setetes 0,59%.
Tapi, yang melegakan bank-bank, likuiditas tidak cekak. Likuiditas cenderung banjir. Dan, lebih melegakan melegakan adalah pencapain laba yang masih bertumbuh. Sejumlah bank BUKU III, IV dan sebagian besar BPD justru ada kenaikan laba, meski ada beberapa bank yang labanya menurun.
Salah satu faktor penting adalah turunnya biaya dana atau cost of funds yang lebih cepat dibandingkan penurunan kredit. Banjirnya dana ke bank, akibat dunia usaha tidak melakukan ekspansi, membuat suku bunga turun dan rendah. Penurunan suku bunga kredit lebih lambat dari suku bunga dana.
Selisih bunga kredit dengan bunga dana masih relatif tebal, dan ada kecenderungan naik. Apalagi, yield Surat Berharga Negara (SBN) juga masih cukup lebar dibandingkan dengan suku bunga dana. Bahkan, sejumlah bank menikmati yield SBN ini. Nikmat apalagi yang kau dustakan. Dana-dana dibeli murah, tak memberikan kredit juga tidak soal, namun masih bisa hidup dari menanam SBN.
Restrukturisasi Kredit Jilid 3, Kapan Sebaiknya Diumumkan?
Kinerja perbankan Semester I Tahun 2021, meski tampak masih cantik dengan net interest margin (NIM) justru meningkat. Setahun pendemi COVID-19 angka NIM bank tidak turun, tapi naik. Lihat saja, data Infobank Institute posisi NIM pada Maret 2020 sebesar 4,20% menjadi 4,56% di Mei 2021 lalu.
Posisi loan at risk (LAR) bank-bank juga sudah mulai menurun. Jika pada akhir bulan Desember 2020 – Februari 2021 mencapai kisaran 20-24% dari total kredit perbankan kini menjadi kisaran 16-20%. Penurunan ini bisa jadi karena ada kredit yang naik menjadi lancar, ada pelunasan, tapi penyebab pasti masih menjadi pertanyaan besar. Namun LAR terbesar pernah mencapai angka 1.200 triliun, baik karena COVID-19 maupun sebelum COVID-19.
Wajah “cantik” kinerja perbankan sekarang ini tak lain karena program restrukturisasi. Poles sana poles sini, terutama mengenai kualitas kredit yang mencerminkan keadaan sesungguhnya. Program restrukturisasi kredit bagi bank-bank dan perusahaan pembiayaan “menolong” kualitas kredit – agar tidak terjadi hujan kredit macet. Akibatnya, kinerjanya tampak “kinclong” akibat make-up.
Dan, PPKM Darurat dan PPKM Level 4 dampaknya lebih dahsyat dibandingkan zaman PSBB dan banyak istilah pembatasan lainnya. Waktu itu, tahun 2020 lalu, OJK mengeluarkan POJK No.11/POJK.03/2020 tentang Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Virus Disease 2019. Intinya, pemberian relaksasi kredit berupa restrukturisasi kredit hingga Maret 2021 dan diubah menjadi POJK No.48/POJK.03/2020. Intinya, program restrukturisasi kredit diperpanjang menjadi Maret 2022.
Kini Pandemi COVID-19 belum reda, malah makin menggila. Jumlah yang terpapar COVID-19 sudah menembus angka 3.440.396 orang. PPKM jujur saja menjadi korban untuk mengatasi krisis kesehatan. Langkah ini sebenarnya berisiko karena tingkat kepatuhan masyarakat rendah sehingga efektifitasnya tidak maksimal. PPKM Darurat memang menekan angka yang terpapar virus.
Sebaliknya yang sudah pasti berdampak robohnya dunia usaha. Sektor dunia usaha ambruk sempoyongan. Pembatasan mobilisasi masyarakat berdampak negatif bagi dunia usaha, dan pada akhirnya perbankan. Bank follow the trade. Dunia usaha klenger banknya juga “berkunang-kunang”. Sebaliknya, di situ ada bisnis, di situ pula bank datang.
Nah, untuk itu pula, agar bank lebih bisa bernafas lebih panjang – sambil ancang-ancang memperbaiki diri dan sektor riil pulih, paling tidak kebijakan restrukturisasi kredit sektor perbankan ditunda kembali menjadi Maret 2023. Sebelumnya, batas akhir restrukturisasi Maret 2022 dari sebelumnya Maret 2021.
Ada banyak alasan untuk melakukan penundaan. Pertama, mobilitas masyarakat yang terganggu akibat kebijakan PPKM berdampak pada kolektibilitas dan terganggunya sektor riil. Kondisi PPKM sekarang dampaknya jauh lebih besar dibandingkan PSBB dulu. Penjual takut keluar, dan pembeli juga benar-benar takut. Rumah sakit yang penuh dan banyaknya yang meninggal, membuat dunia usaha kempes.
Kedua, angka LAR yang masih dikisaran 20% dinilai relatif masih besar, dan diperkirakan akan kembali mendaki. Kondisi LAR ini berpotensi menjadi NPL, meski NPL perbankan masih rendah di angka 3,24% (gross). Padahal, sebenarnya pada April, Mei dan Juni 2021 sudah banyak debitur yang sudah mulai kembali normal. Ada nafas untuk mengangsur, dengan account conduct yang relatif bagus. Data BI menunjukan kemampuan membayar korporasi meningkat.
Ketiga, jika melihat dunia usaha yang terganggu, bisa jadi para debitur juga sudah mulai kasih signal jika tidak kuat lagi menahan beban akibat PPKM Darurat dan PPKM Level 4. Sebelumnya, masih ada debitur yang terkena dampak masih mampu membayar bunga, tapi menurut sejumlah bankir papan atas sudah mulai tidak tahan.
Sementara Wimboh Santoso, Ketua OJK, pekan lalu dalam pernyataannya juga sudah memberi signal akan adanya potensi perpanjangan masa restrukturisasi. Alasannya, adanya pembatasan mobilitas masyarakat bisa menyebabkan upaya pemulihan ekonomi yang dijalankan Pemerintah terhambat. Itulah OJK melihat adanya potensi untuk melakukan perpanjangan lanjutan restrukturisasi kredit di sektor perbankan.
Langkah perpanjangan restrukturisasi ini mendesak dilakukan. Jika OJK sendiri akan memutuskan pada bulan Agustus 2021, maka itu juga waktu yang tepat. Jika terlambat sampai menunggu akhir tahun 2021, maka bank-bank akan kesulitan menyesuaikan, karena setiap Oktober 2021, bank-bank harus menyerahkan Rencana Bisnis Bank (RBB). Jadi, jika akan memperpanjang waktunya sebelum Oktober 2021. Jadi, mendesak dilakukan perpanjangan restrukturisasi kredit Jilid 3.
Dan, perpanjangan restrukturisasi kredit ini harus benar-benar memberi “oksigen” bagi bank dan dunia usaha. Namun bagi debitur yang benar-benar sudah rusak sebelum COVID-19 tentu segera diselesaikan dengan membentuk “celengan semar” pencadangan yang memadai. Jangan ada moral hazard dalam restrukturisasi kredit dalam kurun 3 tahun ini.
Restrukturisasi kredit memang berfungsi dapat mempercantik kinerja bank, tapi semoga bedak dan lipstick yang digunakan tidak mudah luntur karena restrukturisasi kredit yang dilakukan benar-benar sesuai dengan kondisi debitur untuk membantu hidup kembali, bukan untuk menutup borok yang ditutupi “bedak” restrukturisasi.
Idealnya memang restrukturisasi kredit dibuat dalam jangka waktu 3 tahun. Gunanya agar bank-bank tidak membuat cadangan sekaligus, tapi bisa bertahap. Tidak memberatkan, Tapi, nasi sudah menjadi bubur, perpanjangan restrukturisasi kredit menjadi Maret 2023 sudah merupakan kebijakan terbaik — asal diumumkan lebih cepat agar bank-bank mempunyai waktu untuk menyesuaikan. Jangan menunggu diumumkan di akhir tahun 2021. (*)
Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal III 2024 tumbuh… Read More
Jakarta - Bank Pembangunan Daerah Nusa Tenggara Timur (Bank NTT) menyatakan ingin tetap menjadi bank… Read More
Jakarta – Pengangkatan Simon Aloysius Mantiri dan Mochamad Iriawan, yang lebih dikenal sebagai Iwan Bule,… Read More
Jakarta - Ada kabar gembira bagi para pemegang saham PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO).… Read More
Jakarta - Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal atau Satgas PASTI pada periode Agustus hingga… Read More
Jakarta - Bank Mandiri konsisten mendukung pertumbuhan ekonomi kerakyatan dengan mengandalkan transformasi digital. Melalui wholesale… Read More