Headline

Mencermati Investasi BPKH di Tengah “Politisasi” Kenaikan Biaya Haji

Oleh Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Institute

DANA haji yang terkumpul bukan warisan Nabi Sulaiman. Itu tabungan haji bagi mereka semua calon jemaah haji. Tidak hanya yang berangkat tahun ini. Tapi, juga seluruh calon jemaah haji yang masuk dalam daftar tunggu. Jadi, manfaat dana haji harus dibagikan secara adil. 

“Politisasi” dana haji di tengah kenaikan biaya haji akibat inflasi dan banyak faktor di Arab Saudi adalah provokasi yang tidak mendorong sustainability dana haji. Berbahaya bagi kelangsungan keberangkatan calon jemaah haji yang sudah masuk daftar tunggu tahun-tahun berikutnya. 

Para politisi atau akademisi jangan sampai mendorong tabungan haji dipakai secara “serakah”, hanya untuk jemaah haji yang berangkat tahun ini. Jangan menjadi pahlawan kesiangan – yang jujur – hanya untuk kepentingan sesaat. Demi popularitas menjelang tahun politik.

Seperti ritual tahunan. Ribut-ribut biaya haji selalu datang setiap tahun. Apalagi jika ada kenaikan biaya haji. Tahun haji 2023 disebut-sebut Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) mencapai Rp98.893.909. Kenaikan biaya haji dipengaruhi oleh kenaikan biaya penerbangan, akomodasi, living cost, visa, dan paket layanan masyair.

Sedang biaya naik haji per jemaah haji sebesar Rp69.193.733,60. Itu artinya per jemaah calon “Tamu Allah” ini mendapatkan subsidi Rp29.700.175,40. Nah, jika memperhitungkan virtual account milik jemaah haji yang dibagi kepada calon jemaah haji oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), semisalnya nilai manfaat yang dibagi sebesar Rp3 juta. 

Jadi, yang harus dibayar Rp26.700.175,40. Jumlah itu akan berkurang manakala nilai manfaat lebih besar semisal Rp5 juta (karena waktu dan besarnya nilai manfaat). Sementara, calon haji yang berangkat tahun ini adalah jemaah haji yang daftar antara tahun 2011-2012. Itu artinya dana hajinya baru mengendap selama 12 tahun dan 11 tahun. 

Nah, jika ketika daftar haji baru 11-12 tahun tentu nilai manfaatnya belum besar. Sementara, nilai manfaat dana haji bukan untuk jemaah haji yang berangkat tahun ini saja, melainkan untuk seluruh calon jemaah haji yang berangkat maupun yang masih masuk dalam daftar tunggu.

Ribut-ribut biaya haji. Sasaran paling empuk adalah BPKH. Semua ini karena beban lebih berat bagi calon jemaah haji yang berangkat tahun 2023. Jemaah haji yang berangkat tahun 2023 ini disebutkan adalah jemaah haji yang mendaftar antara tahun 2011-2012. 

Adalah Iskan Qolba Lubis, anggota DPR RI, yang dalam sebuah wawancara TV menyebut, BPKH tidak mampu mengembangkan investasi atas dana yang dikelola. Bahkan, terjadi polemik dengan staf Menteri Keuangan RI, Yustinus Prastowo. 

Iskan Qolba Lubis menyebut yield dari Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebesar 5,9%. Sementara, Yustinus Prastowo menyebut yield SBSN sebesar 7,8%. Ini seperti Joko Sembung naik ojek. Tidak nyambung Jack. Iskan Qolba Lubis ngotot karena menyebut data dari BPKH. 

Apalagi, Iskan Qolba Lubis, anggota DPR RI Komisi VIII dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menggunakan kata “diambil” oleh Kementerian Keuangan lewat SBSN. Jelas Iskan Qolba Lubis di sini tidak memahami masalah investasi BPKH. 

”Kami luruskan PKS agar tidak mengelabuhi publik. Keputusan investasi di SBSN ini mutlak BPKH. Dana aman dan imbal hasil lancar. Pula, rerata imbal hasilnya 7,8% bukan 5%. Jelas di atas inflasi dan bunga deposito. Semoga jelas,” cuitnya dalam akun @prastowo, yang dikutip 26 Januari 2023.

Padahal, jika dilihat lebih cermat dan cerdas, Iskan Qolba Lubis menyebut angka blended (gabungan) antara yield penempatan deposito dan penempatan di SBSN. Jelaslah, Iskan Qolba Lubis terlalu bernafsu, seolah-olah yield SBSN sebesar 5,9%. Sementara, yang 7,8% itu murni dari SBSN. Jelas dalam hal ini Iskan Qolba Lubis mendramatisasi seolah-olah di SBSN rendah. Padahal, Iskan Qolba Lubis salah menyebut. Harusnya Iskan Qolba Lubis menyebut 5,9% itu seluruh hasil investasi BPKH dan bukan investasi BPKH di SBSN.

Sementara itu, pengamat Indef, Izzudin Al Farras, dalam wawancara dengan CNBC Indonesia (27/1/2023) menyebutkan, pengelolaan dana haji di negara tetangga, Brunei dan Malaysia, bisa menaruh investasi tidak hanya pada instrumen investasi dengan risiko rendah. Juga, menurut Izzudin, BPKH seharusnya bisa bekerja sama dengan manajer investasi dan entitas lain yang kredibel.

Sejatinya, investasi BPKH sudah diatur dalam PP Nomor 8 Tahun 2017, pasal 17, ayat (2). Disebutkan bahwa “… dana abadi umat ditempatkan dan/atau diinvestasikan berdasarkan tingkat profil risiko yang rendah”. Lebih menakutkan lagi, dalam UU Nomor 34 Tahun 2014, pasal 53, yang menyebutkan tanggung renteng Badan Pelaksana dan Badan Pengawas BPKH atas kerugian dalam penempatan dan/atau investasi keuangan haji.

Jelas ini menakutkan. Jadi, wajar saja dana haji harus dikelola secara hati-hati. Tidak ugal-ugalan mencari bagi hasil (yield) yang maksimal dengan menabrak rambu-rambu yang ada. Selama ini menurut data Biro Riset Infobank (birI), yield blended BPKH dalam batas atas dibandingkan dengan lembaga-lembaga serupa. Tahun ini angkanya 6,2%. Ini semua ditempatkan dalam instrumen syariah. Hal yang berbeda dengan lembaga-lembaga penyelenggara jaminan sosial.

Hal lain yang perlu dicermati adalah jangan sampai dana umat ini berkurang. Namun, jika politisasi atau tekanan DPR RI untuk membagikan dana umat ini serampangan dengan dalih tidak naik biaya haji, maka kepentingan jangka pendek ini akan mengurangi dana umat. Bahkan, bisa menjadi skema Ponzi. Itu yang harus dicegah.

Alih-alih mau mencegah, malah ada pendapat yang kurang masuk akal. Pendapat itu datang dari Dian Masyita, Dekan Universitas Islam Internasional Indonesia. Ia menawarkan 8 skenario. Skenario 1, misalnya, setoran keberangkatan konstan Rp15 juta. Artinya, setiap tahun jemaah hanya membayar keberangkatan Rp15 juta. Catatan, seluruh dana deposit awal jemaah untuk menutup kekurangan biaya dan akan habis tahun 2032. Skenario ini bak cerita skema Ponzi. Bisa jadi membahayakan kelangsungan BPKH ke depan.

Sementara, yang ditulis oleh CNBC Indonesia adalah skenario ke-8 dari Dian Masyita. Dian mengusulkan biaya kenaikan tidak langsung Rp44 juta. Namun, naik perlahan Rp3 juta setiap tahunnya. Jika dimulai tahun 2023, maka tahun 2034 terkumpul angka Rp44 juta. Dalam skenario ini Dian tidak memperhitungkan manfaat yang harus diterima oleh jemaah tunggu yang juga berhak mendapatkan nilai manfaat.

Menurut data dari BPKH, perolehan nilai manfaat dan data distribusi nilai manfaat tidak berimbang. Lebih banyak kepada jemaah yang berangkat lebih awal. Lihat saja tahun 2018, nilai manfaat Rp5,7 triliun, sebesar Rp6,54 triliun dinikmati jemaah yang berangkat tahun itu. Sedangkan jemaah daftar tunggu hanya menikmati Rp777,3 miliar yang didistribusikan lewat virtual account.

Tahun 2019 nilai manfaat sebesar Rp7,36 triliun, sebesar Rp6,81 triliun untuk jemaah haji berangkat dan Rp1,08 triliun untuk jemaah tunggu. Tahun 2020 dan 2021 tidak memberangkatkan haji. Dua tahun dana yang terakumulasi masih ke pokok dana haji yang nilainya Rp15,8 triliun. Langkah ini lebih baik karena memikirkan hal jangka panjang.

Jangan sampai dana manfaat haji dinikmati oleh jemaah haji yang berangkat, tapi lebih kepada unsur keadilan. Jangan sampai dana BPKH habis hanya karena ingin menunda kenaikan biaya haji yang sebenarnya biayanya sudah naik karena harga-harga yang juga naik akibat inflasi.

Menurut data Biro Riset Infobank yang dihimpun dari BPKH, pada tahun 2022 BPKH mempunyai kekayaan Rp167,81  triliun. Naik dibandingkan dengan posisi tahun 2021 yang mencapai Rp160,59 triliun. Lebih kokoh lagi, karena ukuran-ukuran kesehatan keuangan, seperti likuiditas, solvabilitas, dan cost to income ratio (CIR) yang masih efisien.

Lihat saja likuiditas wajib BPKH yang 2,22 kali biaya pemberangkatan ibadah haji (PIH). Tahun sebelumnya 2,44 kali. Likuiditas wajib ini sangat sehat karena dijaga pada angka di atas 2 kali PIH. Solvabilitas (rasio kecukupan dana) atau kemampuan melunasi kewajibannya sangat aman dengan rasio di atas 100%, tepatnya 102,74%. Efisiensi juga terjadi di BPKH yang masih pada angka 2,54%.

Hal yang paling menggembirakan adalah yield-nya masih di atas 6% atau tepatnya 6,28%. Turun sedikit dibandingkan dengan tahun sebelumnya karena penurunan yield dari penempatan, meski tidak signifikan karena nilai manfaat masih terus meningkat menjadi Rp10,52 triliun, dari tahun 2021 yang Rp9,07 triliun.

Tidak hanya itu. Menurut data BPKH, Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) yang dibahas dengan DPR memenuhi target, baik likuiditas, solvabilitas, CIR, yield maupun rentabilitas. Semua terpenuhi di atas 100%. Hal ini patut diapresiasi, dan bukan mengungkap hal yang tidak sesuai dengan angka-angka seperti yang digambarkan oleh Iskan Qolba Lubis – yang jujur menimbulkan kegaduhan yang tidak sesuai dengan fakta yang ada di lapangan.

Untuk itu – ada baiknya BPKH jangan dijadikan “mainan” politik, karena BPKH itu untuk kepentingan umat yang lebih banyak. Bukan untuk bahan kampanye sesaat. Jika terjadi politisasi itu akan membelokkan BPKH dari cita-cita awal. Ada harapan komposisi tidak lagi 70:30, tapi akan lebih baik menjadi 75:25. Lalu menjadi 80:20 dan terus mengecil. Jangan sampai menjadi 60:40 yang jujur akan menyulitkan BPKH ke depan.

Dan, lebih penting dari itu, yang harus dipahami, nilai manfaat bukan hanya milik jemaah yang berangkat tahun ini. Tapi, juga hak jemaah haji yang masuk dalam daftar tunggu. Sekali lagi, para pengamat juga harus memperhatikan aspek ini – apalagi sekarang ini lebih banyak dinikmati oleh jemaah haji berangkat. Ke depan ada baiknya lebih besar untuk jemaah yang tunggu karena jumlahnya lebih banyak.

Hal yang juga tak kalah pentingnya adalah dana pokok haji tidak boleh digunakan untuk melakukan subsidi. Dan, yang boleh adalah nilai manfaatnya sehingga perlu dijaga sustainability-nya. Nah, apabila terlalu besar subsidi seperti tahun lalu, sebesar 60%, maka akan menyandera BPKH dan mendorong ke jurang ketidakpastian. Ini berbahaya bagi kelangsungan BPKH ke depan.

Pada dasarnya, seperti kata guru mengaji waktu kecil di kampung – haji harus istithoah – yakni mampu secara kesehatan badan dan keuangan untuk membiayai yang timbul akibat naik haji. Sementara, para politisi juga harus memahami ini. 

Dana haji harus dikelola dengan optimal, mempertimbangkan semua aspek kelangsungan ibadah haji hari ini dan ke depan. Sungguh bahwa dana haji itu bukan warisan Nabi Sulaiman yang diumbar-umbar untuk kepentingan sesaat. Ia milik semua jemaah haji yang berangkat dan yang tunggu. (*)

Rezkiana Nisaputra

Recent Posts

Harita Nickel Raup Pendapatan Rp20,38 Triliun di Kuartal III 2024, Ini Penopangnya

Jakarta – PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel pada hari ini (22/11)… Read More

7 hours ago

NPI Kuartal III 2024 Surplus, Airlangga: Sinyal Stabilitas Ketahanan Eksternal Terjaga

Jakarta - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2024 mencatatkan surplus sebesar USD5,9 miliar, di… Read More

7 hours ago

Peluncuran Reksa Dana Indeks ESGQ45 IDX KEHATI

Head of Institutional Banking Group PT Bank DBS Indonesia Kunardy Lie memberikan sambutan saat acara… Read More

9 hours ago

Pacu Bisnis, Bank Mandiri Bidik Transaksi di Ajang GATF 2024

Pengunjung melintas didepan layar yang ada dalam ajang gelaran Garuda Indonesia Travel Festival (GATF) 2024… Read More

9 hours ago

Eastspring Investments Gandeng DBS Indonesia Terbitkan Reksa Dana Berbasis ESG

Jakarta - PT Eastspring Investments Indonesia atau Eastspring Indonesia sebagai manajer investasi penerbit reksa dana… Read More

10 hours ago

Transaksi Kartu ATM Makin Menyusut, Masyarakat Lebih Pilih QRIS

Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat perubahan tren transaksi pembayaran pada Oktober 2024. Penggunaan kartu ATM/Debit menyusut sebesar 11,4… Read More

11 hours ago