Headline

Mencari DK OJK Independen, di Tengah “Pesugihan” Digital dan Isu Presiden Tiga Periode

 

Oleh Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank Media Group

MINGGU ini di bulan April 2022, Komisi XI DPR RI akan melakukan fit and proper test. Empat belas nama calon Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK-OJK) sudah disodorkan Presiden Joko Widodo ke DPR RI. Keempat belas nama yang “dibocorkan” ke publik, sudah bisa ditebak, karena sebelum ada Panitia Seleksi (Pansel), nama-nama “pilihan” sudah beredar menjadi bisik-bisik publik.

Sedikit kejutan. Ke-14 nama itu tak hanya mengubah nomor urut tapi juga pilihan. Ada kesan nama-nama diselamatkan dan diunggulkan oleh istana. Lihat saja Hoesen, incumbent yang ranking satu pengawasan pasar modal, digeser ke IKNB. Sedangkan, sejawatnya, Inarno Djajadi, yang ranking dua di pasar modal, menjadi nomor wahid. Kemudian, Pantro Pander Silitonga digeser menjadi nomor dua. Dan, akhirnya Iwan Pasila tersingkir secara terhormat.

Proses politik sedang terjadi. Apakah nama-nama di peringkat satu dari Presiden otomatis akan lolos? “Belum tentu, masih bertempur dulu,” kata seorang anggota DPR Komisi XI kepada Infobank. Jadi, proses politik masih berjalan. Tapi, kalau Presiden sudah minta, partai juga ndak bisa apa-apa. Nyerah.

Siapa pun yang akan menjadi komisioner OJK sekarang ini paling tidak langsung bisa bekerja dengan baik. Tidak perlu proses belajar yang lama, karena industri keuangan sangat dinamis. Bukan lagi tempat belajar. Langsung fine tune-in. Pasal 15, huruf g, berbunyi, ”mempunyai pengalaman atau keahlian di sektor jasa keuangan”. Itu artinya, pernah di lapangan “becek” industri keuangan.

Apalagi situasi ke depan juga sangat tidak menentu. Era suku bunga tinggi sudah terjadi. The Fed dan Bank of England sudah mendahului kenaikan suku bunga. Tidak terdengar lagi a head the curve dari BI – yang sebelumnya populer. Selama ini, suku bunga rendah saja, sektor riil masih “di-booster” dengan program restrukturisasi kredit. Normalisasi restrukturisasi di Maret 2023 akan menemukan tantangan yang berat. Lha, dengan suku bunga rendah saja sektor riil masih terasa berat, apalagi suku bunga tinggi.

Jika demikian, maka sektor perbankan juga akan berat. Suku bunga naik, harga obligasi tentunya juga terkoreksi. Apalagi, tahun ini BI tak lagi bisa burden sharing. Pendek kata, Surat Berharga Negara (SBN) sekitar Rp1.800 triliun, akan terkena marked to market (MTM) yang bisa menurunkan nilai aset dari bank-bank pemegang SBN.

Perang Ukraina versus Rusia juga membawa dampak yang tidak kecil bagi Indonesia. Kenaikan harga minyak akan menekan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan kembali defisit 3% tidaklah mudah. Di lain sisi – harga BBM dalam negeri akan mendorong inflasi. Juga harga gas bersubsidi akan naik.

Bahkan, harga komoditas pangan sudah terbukti mendorong inflasi. Harga-harga melambung tinggi. Di mana-mana akan sering kita jumpai antrian panjang. Para politisi sepertinya tak peduli, karena hari-hari ini lebih sering membicarakan kursi jabatan presiden tiga periode dibandingkan dengan masalah ekonomi yang menekan ekonomi rakyat.

Nah, komisioner OJK dihadapkan pada soal ketidakpastian dunia — karena akan berdampak pada bank yang memegang 78% pasar keuangan yang besarnya Rp13.127 triliun. Situasi perbankan seperti “api dalam sekam” karena menggunungnya loan at risk (LAR) dan moral hazard dari debitur yang punya beking para pembesar. Jujur saja laba besar perbankan akibat pertolongan Bank Indonesia dengan kebijakan suku bunga rendah, sementara suku bunga kredit terlambat diturunkan olehh perbankan.

 

Komisioner OJK, “Pesugihan” Online dan “Begal” Cyber

Tak kalah penting adalah dunia digital, maraknya “tuyul digital”, “begal cyber” dan “pesugihan” digital harus segera diselesaikan oleh OJK dan bekerjasama dengan pihak berwajib. Jangan sampai kalah, menyerah seperti pengakuan Menteri Perdagangan yang merasa “menyerah” menghadapi mafia minyak goreng. Apalagi diam tak mengambil keputusan yang tegas. Akibatnya berdampak lebih luas, karena kerugiannya bilangan ratusan triliun rupiah dalam 10 tahun terakhir.

Dan, yang terpenting, komisioner OJK, khususnya ketua, harus punya leadership yang kuat. Bukan sebagai pengamat yang tak berani ambil keputusan. Atau seremonial saja. Belajar dari komisioner OJK periode 2017-2022, menurut salah satu komisioner OJK, juga ditegaskan Luhut B. Pandjaitan, Menko Maritim dan Investasi, silo-silo masih terjadi. Selain karena UU OJK, juga karena kepemimpinan OJK kurang kuat.

Pelajaran penting juga, komisioner OJK bisa mendorong staf-stafnya untuk menjadi calon pengganti. Jangan ada karier yang mandek, atau dimandekkan. Jujur, orang dalam OJK, khususnya di sektor perbankan, tak kalah kualitasnya dari calon yang diajukan ke DPR oleh Presiden. Lebih tepatnya tahu medan perang, pengawas perbankan khususnya harus berani memutus. Bukan sekadar wacana saja. Harus berani menghadapi para pemilik bank yang kadang punya backing politik dan uang.

Pengaturan makroprudensial (BI) dengan mikroprudensial (OJK) juga harus harmoni. Misalnya, untuk pengaturan kredit UMKM yang 30% itu punya BI atau OJK? Juga, soal loan to value (LTV), apakah ini makroprudensial atau mikroprudensial. Duduk soal ini menjadi penting karena di industri perbankan sering kali bingung menghadapi dua pengawasan model begini. Di awasi OJK dan juga BI. Rumit.

Sementara, Menteri Keuangan dan Gubernur BI mendominasi dalam seleksi anggota Dewan Komisioner OJK. Apakah memang BI dan Kemenkeu mencari orang yang secara psikologis bisa diatur oleh kedua lembaga itu? Tidak bisa dipastikan. Tapi, bisik-bisik di industri, ini bentuk kekalahan OJK. Lha, OJK yang harusnya independen dipilih pejabat –pejabat BI dan Kemenkeu – yang menjadi dominan di Pansel.

Tidak hanya itu. Jangan sampai, OJK ke depan akan di bawah “pengaruh” Lapangan Banteng (Kemenkeu) dan Thamrin (BI). Ke depan, pola pemilihan ini harus diubah. Tak bisa membayangkan kalau OJK isinya orang-orang politik seperti di BPK. Pola pemilihan model BI yang paling tepat.

Proses politik sedang berlangsung, dan semoga tidak salah pilih. Dan, sekali lagi, posisi OJK harus independen. Kita kawal independensi ini agar industri keuangan bisa tumbuh sehat. Jangan sampai komisioner OJK menjadi bawahan (baca: diintervensi) BI dan Kemenkeu, meski para anggota diseleksi oleh Pansel yang didominasi oleh dua lembaga itu.

Kita berharap, tak ada dusta di antara OJK, BI, Kemenkeu, dan LPS. Harapan industri yang selama ini membayar iuran, OJK tetap independen. Bukan boneka pemerintah untuk kepentingan rezim semata, melainkan mampu mendorong industri keuangan yang sehat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang adil. Tidak menjadi alat politik untuk memenangkan kepentingan sesaat atas nama rakyat.

Tidak mudah menjadi komisioner OJK di tengah ekonomi oligarki. Apalagi di tengah isu jabatan presiden tiga periode. Jangan sampai OJK menjadi kepanjangan tangan pemerintah. Tugas Pemerintah mendorong ekonomi, OJK harusnya bisa memberi keseimbangan. Ibaratnya ada yang “ngegas” dan ada yang “ngerem”. Politik bisa melakukan apa saja, termasuk ketika pemerintah hendak  menggembalikan pengawasan bank ke BI di tahun awal krisis Pandemi COVID-19 di tahun 2020 lalu.

Jangan sia-siakan industri yang membiayai seluruh operasional OJK termasuk membuat gedung OJK di daerah-daerah yang megah. Industri membayar agar kualitas pengawasan bisa mempuni, dan inklusi keuangan juga meningkat. Semoga komisioner OJK yang terpilih bisa langsung bekerja tanpa kembali ke “silo-silo”, karena itu perlu komisioner OJK yang punya leadership yang kuat.

Benarkah fit and proper test di DPR hanya sekedar formalitas semata, karena calonnya sudah di kantong pemerintah? Entahlah! Bisik-bisik di luar juga ramai membicarakan itu. Independen diperlukan ketika pemerintah sangat kuat seperti sekarang ini. Sejarah membuktikan Orde Lama (Soekarno) dan Orde Baru (Soeharto) roboh karena waktu itu BI nya di bawah pemerintah yang kuat. Waktu itu BI dianggap “Celengan Semar” pemerintah.

Pemerintah yang kuat selalu “tergoda” dengan banyak hal termasuk dapat “menguasai” otoritas, termasuk OJK sehingga tak ada rem lagi — yang bisa membahayakan industri keuangan dan perbankan. Wahai yang mulia anggota DPR, pilihlah yang cerdas punya integritas, profesionalitas, kapabilitas, kredibilitas dan bukan isi “tas”. (*)

Rezkiana Nisaputra

Recent Posts

Konsumsi Meningkat, Rata-Rata Orang Indonesia Habiskan Rp12,3 Juta di 2024

Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pengeluaran riil rata-rata per kapita masyarakat Indonesia sebesar Rp12,34 juta… Read More

9 mins ago

Laba Bank DBS Indonesia Turun 11,49 Persen jadi Rp1,29 Triliun di Triwulan III 2024

Jakarta - Bank DBS Indonesia mencatatkan penurunan laba di September 2024 (triwulan III 2024). Laba… Read More

43 mins ago

Resmi Diberhentikan dari Dirut Garuda, Irfan Setiaputra: Saya Terima dengan Profesional

Jakarta - Melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada Jumat, 15 November 2024,… Read More

2 hours ago

IHSG Ditutup Bertahan di Zona Merah 0,74 Persen ke Level 7.161

Jakarta – Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada hari ini, 15 November 2024, masih ditutup… Read More

2 hours ago

Naik 4 Persen, Prudential Indonesia Bayar Klaim Rp13,6 Triliun per Kuartal III-2024

Jakarta - PT Prudential Life Assurance atau Prudential Indonesia mencatat kinerja positif sepanjang kuartal III-2024.… Read More

3 hours ago

Kebebasan Finansial di Usia Muda: Tantangan dan Strategi bagi Gen-Z

Jakarta - Di era digital, keinginan untuk mencapai kebebasan finansial pada usia muda semakin kuat,… Read More

3 hours ago