Oleh Eko B. Supriyanto
DALAM rapat umum pemegang saham (RUPS) tahunan bank-bank badan usaha milik negara (BUMN) untuk tahun buku 2014 lalu publik dikejutkan dengan hadirnya para politisi yang duduk sebagai komisaris di bank-bank. Tidak hanya politisi, malah belakangan tim sukses pemenangan Pilpres Jokowi-JK juga masuk dalam jajaran komisaris.
Itu memang hal yang wajar terjadi. Di setiap rezim demikian. Rezim-rezim sebelumnya juga demikian. Hanya, bedanya dengan rezim sekarang, politisi yang masuk jajaran komisaris itu standar kompetensi dan profesionalismenya masih diragukan. Komisaris bank-bank BUMN harusnya tetap mengedepankan kompetensi daripada warna partai, atau sekadar pendukung yang berkeringat.
Pengisian direksi dan komisaris di bank-bank BUMN memang tak pernah punya pola yang bisa terbaca. Bahkan, sekarang polanya makin tak jelas. Pernah terjadi pada masa awal pemerintahan SBY (2004-2009). Zaman SBY para komisaris adalah orang-orang di sekitar istana. Paling tidak itu untuk menjamin ekonomi para pembantu presiden di istana. Bahkan, para pejabat kementerian, baik Kementerian BUMN maupun Kementerian Keuangan, dilarang untuk menjadi komisaris. Namun, belakangan seiring dengan perubahan pemerintahan, para pejabat Kementerian BUMN boleh lagi duduk sebagai komisaris.
Kementerian yang tugasnya mengawasi, membina, dan meluruskan visi BUMN kini tak bisa diharapkan karena para pajabat itu bak minta “jatah” dengan menjadi komisaris dan tetap menjadi pejabat di kementerian. Duduknya pejabat Kementerian BUMN di bank-bank tidak bisa diharapkan benar-benar menjadi pengawas yang baik—ada semacam conflict of interest.
Tidak hanya di perbankan, di banyak BUMN pun sudah tersebar para pejabat dan para relawan yang duduk sebagai komisaris. Para aktivis LSM, yang sebelumnya vokal, kini “tertidur malas” setelah duduk di kursi komisaris—karena kelebihan gizi.
Pola untuk pengisian posisi direksi bank-bank BUMN juga sebenarnya tanpa pola. Terjadi saling tukar tempat antarbank BUMN. Komisaris juga demikian. Habis masa jabatan di satu bank masih bisa dipakai di bank lain, sementara yang belum habis masa tugasnya justru terlempar. Tergantung pada siapa bohir dan sponsornya. Yang paling aneh ialah posisi komisaris BTN yang untuk kedua kalinya komisarisnya mengundurkan diri—Sukardi Rinakit (masuk lingkaran istana Presiden Jokowi) dan Chandra Hamzah (mantan komisioner KPK).
Soal siapa sponsor sebenarnya tidak seratus persen dari RI-1. Selama ini lebih terdengar dari RI-2. Jika ditelusuri, direksi dan komisaris di bank-bank BUMN yang menjabat sekarang tidak semua pendukung Jokowi-JK dalam pilpres lalu, tapi toh masih juga bisa duduk dengan peluang 10 tahun ke depan.
Namun, sebagian besar memang untuk menjadi direksi bank-bank BUMN atau direksi BUMN seseorang harus punya sponsor dan dukungan politik. Contoh itu terjadi ketika di salah satu bank BUMN, pada malam hari, beberapa nama sudah diputuskan menjadi direksi. Namun, pada pagi menjelang RUPS yang molor, nama-nama yang sudah diputuskan pada malam sebelumnya bisa berubah.
Tarik-menarik merupakan hal yang sering dimaklumi oleh bankir-bankir bank BUMN. Jadi, calon-calon yang kemudian dinyatakan gagal menjadi direksi pun menerima keputusan yang diambil pemilik saham dengan kepasrahan sendiri karena ini adalah hak pemegang saham. Untuk itu, pemegang saham pun harusnya bisa lebih objektif berdasarkan kompetensi dan profesionalisme. Justru, masalahnya sekarang ialah di pemegang saham. Gampang goyah. Digeruduk serikat pekerja pun bisa berubah keputusan. Di telepon “bandar partai” juga bisa berubah.
Nah, karena tantangan perbankan pada masa mendatang sangat berat, adanya persaingan yang makin mematikan, maka pengisian direksi bank-bank BUMN juga harus berdasarkan profesionalisme. Sebab, zaman sudah berubah. Bankir-bankir BUMN sudah tidak boleh dan bisa lagi mengairi kepentingan golongan tertentu yang tidak layak proyeknya.
Habisnya tugas seorang direksi di satu bank memang tidak berarti si direksi tersebut harus menyingkir. Sepanjang di bank lama mereka mempunyai prestasi, yang bersangkutan bisa tukar atau pindah posisi. Nah, untuk Bank Mandiri pola pergantian direktur utama (dirut) sudah terjadi. Selalu dari dalam. Di BNI dalam 10 tahun terakhir selalu dari luar BNI dan untuk BRI baru periode ini yang dari dalam. Sebelumnya selalu dari luar. Sementara itu, untuk BTN polanya campuran.
Siapa-siapa yang menjadi Dirut Bank Mandiri sudah ramai dibicarakan di kalangan perbankan. Ada lima calon pengganti Budi G. Sadikin (BGS). Semua punya peluang besar dan BGS juga punya peluang untuk pindah posisi. BGS merupakan bankir yang cocok untuk mengisi masa depan Indonesia karena visi dan pengalamannya.
Nama-nama pengganti BGS sudah ramai, yaitu Maryono (BTN-1), mantan bankir Bank Mandiri dan Dirut Bank Mutiara; Asmawi Sjam (BRI-1); Sofyan Basir (PLN-1), yang mantan Dirut BRI; Hendi Priyo Santoso (PGAS-1); dan Haryanto Budiman, bankir dari JP Morgan yang sebelumnya pernah di Bank Mandiri. Kabar terakhir Haryanto menolak ditawari untuk menjadi Mandiri-1.
Selain cerita siapa pengganti BGS, cerita yang juga menarik ialah mengapa BGS dipercepat lima bulan. Kabar menyebutkan, karena BGS seperti menghindar untuk pencairan Rp13 triliun untuk proyek-proyek dari Tiongkok yang didorong oleh Kementerian BUMN. Bisa jadi, kantor Kementerian BUMN mempercepat ini agar terhindar dari reshuffle jilid II sehingga siapa yang memperlancar proyek Tiongkok ini akan tetap duduk.
Terlepas dari itu, pergantian direksi bank-bank BUMN selalu berkaitan dengan kepentingan politik. Jika untuk kepentingan rakyat banyak tentu tak menjadi masalah. Namun, jika untuk kepentingan usaha milik bohir–bohir dan pejabat tentu harus dihindarkan. Apalagi, kepentingan konglomerat tertentu yang menyodor-nyodorkan nama ke Presiden RI lewat Kementerian BUMN. Politisasi yang terlalu dalam harus dihindarkan.
Siapa pun pengganti BGS paling tidak dia harus bankir hebat. Karakternya kuat karena tantangannya juga tak hanya di Indonesia, tapi juga menghadapi bankir global yang sudah menekan pasar Indonesia. Dan, bagi BGS yang merupakan bankir hebat tentu sayang jika tidak dicarikan tempat yang baik di BUMN lainnya. (*)
Penulis adalah Pimpinan Redaksi Infobank
Jakarta - Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Rosan Roeslani, mengungkapkan optimisme… Read More
Jakarta - PT Duta Pertiwi Tbk (DUTI), emiten konstruksi dan pengembangan properti di bawah naungan… Read More
Jakarta - Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol akhirnya mencabut status darurat militer, pada Rabu… Read More
Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan sesi I hari ini (4/12) melanjutkan… Read More
Jakarta - Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 diperkirakan akan memberikan… Read More
Oleh: Hendra Febri, S.H, M.H – Praktisi Hukum & Bankir PERATURAN Pemerintah (PP) Nomor 47… Read More
View Comments
Setuju banget !!!!