Oleh Ryan Kiryanto, Ekonom Senior dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia
TERDAPAT dua pesan utama bagi pelaku perbankan global dan domestik terkait dengan perkembangan situasi dan kondisi akhir-akhir ini. Pertama, perlambatan ekonomi global dan lanskap ekonomi yang berbeda akan menjadi tantangan industri perbankan pada 2024. Maka, kemampuan bank untuk menghasilkan pendapatan dan mengelola biaya akan diuji dengan cara baru.
Kedua, berbagai kekuatan disruptif membentuk kembali arsitektur dasar industri perbankan. Suku bunga yang lebih tinggi, berkurangnya jumlah uang beredar, peraturan yang lebih tegas, perubahan iklim, dan ketegangan geopolitik adalah pendorong utama di balik transformasi ini.
Dengan dua pesan utama tersebut, maka pilihan strategis bank akan diuji karena mereka menghadapi berbagai tantangan mendasar terhadap model bisnis mereka sehingga mereka dituntut mampu menunjukkan keyakinan dan ketangkasan untuk terus berkembang.
Perlambatan ekonomi global dan lanskap ekonomi yang berbeda akan menantang industri perbankan dengan cara-cara baru pada 2024. Meskipun upaya baru-baru ini untuk memerangi inflasi menunjukkan tanda-tanda keberhasilan di banyak negara, namun risiko yang terungkap oleh gangguan rantai pasokan, disrupsi hubungan perdagangan, dan ketegangan geopolitik yang sedang berlangsung akan mempersulit pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia.
Peristiwa terkait cuaca ekstrem, seperti banjir, gelombang panas, dan angin topan, juga dapat menyebabkan gangguan ekonomi yang parah. Dengan latar belakang ini, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) memperkirakan ekonomi dunia akan tumbuh tidak lebih dari 3,0% pada 2024. Ekonomi maju – yaitu Amerika Serikat (AS), kawasan Euro, Jepang, Inggris, dan Kanada – diperkirakan mengalami pertumbuhan hangat sebesar 1,4% pada 2024.
Tetapi banyak negara berkembang harus melihat pertumbuhan yang lebih tinggi didukung oleh permintaan konsumen yang kuat, demografi yang lebih muda, dan neraca perdagangan yang membaik. Secara khusus, India diperkirakan memiliki salah satu tingkat pertumbuhan terkuat berkisar 6,3% pada 2024.
Di lain sisi, Tiongkok menghadapi potensi perlambatan ekonomi dengan permintaan konsumen yang lemah dan pasar properti yang tertekan. Pelemahan ekspor dan impor Tiongkok tidak hanya berdampak pada mitra dagangnya, termasuk Indonesia, tetapi juga dapat menantang dinamika rantai pasokan dan semakin melemahkan pemulihan global. Upaya baru-baru ini untuk menghidupkan kembali kepercayaan konsumen dan perusahaan di Tiongkok dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi di negara lain, khususnya di Asia.
Inflasi global diperkirakan turun menjadi 5,2% pada 2024, dari level tertinggi 8,7% pada 2022. Di negara-negara maju, contohnya AS, pasar tenaga kerja dan belanja konsumen menunjukkan tanda-tanda perlambatan tetapi masih tinggi, menantang target inflasi 2% yang ditetapkan oleh bank sentral. Logis jika IMF memprediksi inflasi di hampir semua negara maju akan tetap berada di atas level targetnya.
Konsekuensinya, bank-bank sentral akan menyempurnakan kebijakan moneter mereka hingga 2024. Suku bunga dana federal di AS, Fed Fund Rate/FFR, diperkirakan tetap tinggi pada level 5,50% memasuki 2024 ini, tetapi dapat turun menjadi ke kisaran 4,50%-5,00% pada paruh kedua 2024, menurut proyeksi Federal Open Market Committee (FOMC) terbaru.
Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) diperkirakan mulai menurunkan suku bunga pada Agustus 2024, dalam hal ini suku bunga kebijakan ECB mencapai 3,75%, menyamai puncaknya pada 2001. Sementara itu, Bank of England (BoE) diperkirakan menurunkan suku bunga kebijakan pada paruh pertama 2024 setelah mencapai puncaknya 5,75% pada akhir 2023.
Ceritanya mirip dengan Bank of Canada (BoC) yang akan menurunkan suku bunga pada paruh kedua 2024 setelah melampaui 5%, sesuai dengan Canadian Economic Quarterly Forecast oleh TD Economics.
Berbeda dengan sikap bank-bank sentral negara maju lainnya, Bank of Japan (BoJ) telah mempertahankan suku bunga kebijakan mendekati nol persen. Inflasi yang amat rendah –bahkan deflasi berkepanjangan – di negara ini memaksa bank sentral terus mempertahankan level suku bunga negatif untuk merangsang aktivitas ekonomi.
Resultan dari langkah-langkah pengetatan kuantitatif bank-bank sentral akan menekan jumlah uang beredar global. Bahkan, di AS, jumlah uang beredar, yang diukur dengan M2, telah jatuh pada tingkat tercepat sejak 1930-an. Tantangan ini akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berbeda dan sporadis. Beberapa negara akan menghadapi masa depan lebih cerah, sementara yang lain masih akan berjuang melawan inflasi yang lebih lengket dan pertumbuhan yang rendah (baca: stagflasi).
Baca juga: OJK Optimistis Kinerja Perbankan RI Tumbuh di Tengah Melambatnya Ekonomi Global
Bank secara global akan menghadapi campuran tantangan yang unik pada 2024. Masing-masing rintangan ini akan berdampak pada kemampuan bank dalam menghasilkan pendapatan dan mengelola biaya (baik biaya bunga maupun biaya operasional). Suku bunga yang lebih tinggi “telah menjadi anugerah” bagi industri perbankan.
Pada 2022 lalu, pendapatan bunga bersih (net interest margin/NIM) meningkat secara signifikan di banyak yurisdiksi, dengan bank-bank AS dan Kanada membukukan kenaikan 18% dari tahun ke tahun (year on year/yoy), diikuti oleh rekan-rekan Eropa mereka sebesar 11%. Namun, kenaikan suku bunga akan terus mendorong biaya pendanaan lebih tinggi dan menekan margin.
Kecepatan dan kecuraman siklus suku bunga saat ini telah secara dramatis meningkatkan biaya deposito berbunga (cost of fund) untuk bank-bank AS. Tetapi, biaya ini telah meningkat lebih tajam untuk bank-bank regional dan menengah.
Misalnya, biaya simpanan untuk bank-bank terbesar mencapai 2,2% pada Q2/2023, dibandingkan dengan 2,5% untuk bank-bank kecil. Ini adalah pola serupa di negara-negara lain – terutama di kelompok negara berkembang Asia dan lebih spesifik Indonesia – yang pernah mengalami kenaikan suku bunga cukup ekstrem.
Ke depan, industri perbankan global mungkin masih kesulitan menurunkan biaya deposito yang tinggi (dan beta deposito yang lebih rendah), bahkan ketika suku bunga acuan sudah bergerak turun. Ekspektasi nasabah terhadap suku bunga yang lebih tinggi, ditambah dengan meningkatnya persaingan pasar, akan memaksa beberapa bank menawarkan suku bunga deposito yang lebih tinggi (dikenal dengan istilah special rate) untuk mempertahankan nasabah dan menopang likuiditas.
Namun, situasinya akan bervariasi menurut wilayah. Di bank-bank Eropa, misalnya, mungkin dapat mengurangi biaya deposito lebih cepat. Industri perbankan Eropa belum menghadapi banyak persaingan dari dana pasar uang, tidak seperti di AS. Selama gejolak perbankan pada Maret 2023 lalu, arus masuk ke dana pasar uang Eropa mencapai US$19,3 miliar, lebih kecil dibandingkan dengan US$367 miliar ke dana pasar uang AS.
Demikian pula bank-bank Asia. India, misalnya, dapat mempertahankan suku bunga lebih tinggi setelah pertumbuhan ekonomi lebih kuat. Bahkan, bank-bank di kawasan Asia-Pasifik (APAC) diperkirakan mampu melampaui rekan-rekan global dalam menghasilkan pendapatan bunga bersih yang lebih kuat.
Dalam hal pertumbuhan pinjaman, permintaannya diperkirakan moderat mengingat kondisi makro-ekonomi dan biaya pinjaman yang masih tinggi. Bank juga kemungkinan akan melanjutkan kebijakan pinjaman kredit ketat mereka.
Menurut survei pinjaman bank baru-baru ini yang dilakukan oleh Federal Reserve dan ECB, banyak bank telah memperketat standar kredit di semua kategori produk. Mereka mengantisipasi pengetatan lebih lanjut karena prospek ekonomi yang kurang menguntungkan dan kemungkinan penurunan nilai agunan dan kualitas kredit.
Hanya saja, dampak lingkungan makro-ekonomi akan berbeda di seluruh kategori pinjaman. Belanja konsumen tetap kuat di negara-negara besar, tetapi karena tabungan konsumen menipis, permintaan untuk kartu kredit dan kredit kendaraan bermotor harus tetap kuat. Pada saat yang sama, di seluruh AS dan Eropa, permintaan kredit bank dari perusahaan telah menurun secara signifikan. Pinjaman bank kepada korporasi mungkin melemah dalam jangka pendek, tetapi bisa meningkat nanti pada 2024.
Konsekuensinya, bank harus memprioritaskan pendapatan nonbunga – dikenal dengan istilah fee based income – pada 2024 untuk menebus kekurangan pendapatan bunga bersih. Pendapatan nonbunga atau fee based income diperkirakan tumbuh secara berarti dalam beberapa tahun ke depan. Sebagian besar bank berusaha untuk meningkatkan fee based income melalui berbagai saluran, tetapi mereka mungkin menghadapi beberapa kendala dalam melakukannya.
Bank-bank di seluruh dunia juga masih harus berjuang menyikapi era suku bunga acuan yang tinggi dan berkepanjangan (higher for longer). Salah satu contohnya, keputusan ECB mempertahankan suku bunga alias tidak berubah akan membebani kredit bank dan menahan kenaikan margin.
Pada 7 Maret 2024 lalu, ECB mempertahankan suku bunga operasi refinancing utamanya di 4,50%, fasilitas pinjaman marginal di 4,75% dan fasilitas deposito di 4,00%. Bank sentral menurunkan perkiraan inflasi menjadi 2,3% pada 2024 dari perkiraan 2,7% pada Desember 2023, dan menjadi 2,0% pada 2025 dari 2,1%. Juga menegaskan pandangannya bahwa suku bunga kebijakan berada pada posisi memadai untuk membawa inflasi kembali ke target jangka menengahnya mendekati 2%.
ECB menahan diri untuk tidak menurunkan suku bunga menjelang data Juni, yang bisa menjadi titik balik dari sikap pengetatannya. Keputusan kebijakan mendatang kemungkinan akan didorong oleh data baru tentang pertumbuhan upah, yang saat ini moderat, dan inflasi di sektor jasa.
Faktanya, sebagian besar pendapatan bank-bank kawasan Euro sangat diuntungkan dari kenaikan suku bunga – misalnya, bank-bank Belanda melaporkan rekor pendapatan pada 2023 lalu – tetapi karena kendala domestik, bank-bank Prancis belum mendapat manfaat dari lingkungan suku bunga baru.
Data terbaru otoritas perbankan Eropa menunjukkan bahwa stabilisasi margin bunga telah dimulai. Efek dari suku bunga yang lebih tinggi selama dua tahun terakhir (2022-2023) masih ditransmisikan melalui saluran perbankan dan tecermin dalam aktivitas pinjaman yang lemah. Meskipun suku bunga pinjaman kawasan Euro telah stabil, namun permintaan pinjaman diperkirakan masih lemah karena lingkungan ekonomi tetap tidak menguntungkan bagi rumah tangga dan perusahaan nonfinansial.
Di perbankan AS, pada Maret 2023 sempat diterpa gejolak hebat. Diawali dari Silicon Valley Bank (SVB), bank terbesar ke-16 di negara itu, yang runtuh dalam hitungan hari, diikuti oleh Signature Bank (SBNY) dan First Republic Bank (FRB). Semua ini menandai kegagalan bank terbesar setelah Washington Mutual Bank pada 2008.
Dipicu oleh arus keluar deposito yang cukup besar, peristiwa ini menimbulkan kekhawatiran tentang kesehatan sektor perbankan AS lainnya, khususnya, bank-bank lain dengan ukuran yang sama atau lebih kecil dengan sejumlah besar deposito yang tidak diasuransikan, kerugian yang belum direalisasi, dan eksposur real estat komersial.
Gejolak Maret 2023 itu adalah pengingat yang kuat tentang tantangan yang ditimbulkan oleh interaksi antara kondisi moneter dan keuangan yang lebih ketat dan penumpukan kerentanan – tantangan yang diperkuat oleh praktik manajemen risiko bunga, likuiditas, dan kredit yang tidak efektif di beberapa bank.
Runtuhnya beberapa bank AS, yang diklasifikasikan sebagai institusi besar, menyoroti kurangnya kesiapan beberapa lembaga keuangan untuk menyikapi lingkungan suku bunga yang lebih tinggi setelah periode suku bunga rendah yang panjang. Antara Maret 2022 dan September 2023, di tengah inflasi yang sangat tinggi, Federal Reserve menaikkan suku bunga dana federal efektif sebesar 525 basis points (bps) – siklus pengetatan moneter tercepat sejak 1980-an, membawa suku bunga kebijakan ke tingkat yang tidak terlihat sejak sebelum krisis keuangan global 2008.
Program penyelamatan terhadap sektor perbankan AS dengan anggaran besar di tengah pandemi COVID-19 waktu itu akhirnya mampu menyehatkan kembali sistem perbankan AS. Setelah periode krisis itu pun perbankan AS langsung dihadapkan pada era suku bunga tinggi yang dipasang oleh The Fed untuk menjinakkan inflasi kembali ke target 2%.
Di Tiongkok, perbankan dihadapkan pada kekhawatiran baru karena mereka agresif menjual kredit macetnya. Selama periode Januari hingga September 2023, kredit macet senilai 60 miliar yuan ditukar di pasar resmi dengan aset kredit, meningkat 61% dibandingkan dengan periode yang sama pada 2022.
Bank-bank Tiongkok menjual kredit macet pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya karena regulator menginginkan penyelesaian kredit macet yang lebih cepat dalam menghadapi pemulihan ekonomi pasca COVID-19 yang tidak stabil dan peningkatan gagal bayar nasabah. Menurut statistik dari lembaga pemeringkat, penerbitan sekuritas yang didukung oleh kredit bermasalah (non performing loan/NPL) tahun ini diperkirakan akan mencapai rekor, naik 40% dari 2022, karena pemberi pinjaman berebut untuk membongkar aset bermasalah yang terkait dengan pinjaman konsumen, kartu kredit, dan hipotek.
Berdasarkan catatan pengadilan, terdapat 8,57 juta orang yang gagal membayar utang mulai dari pinjaman bisnis hingga hipotek rumah telah dimasukkan dalam daftar hitam oleh otoritas Tiongkok. Jumlah total mangkir adalah 50% lebih tinggi daripada pada awal 2020, menggarisbawahi dampak pandemi dan akibatnya yang bertahan lama.
Data 17 Desember 2023, bank-bank Tiongkok telah menjual 42,5 miliar yuan (US$5,96 miliar) instrumen seperti obligasi berdasarkan pinjaman yang buruk, naik 37% dari total 2022 dan terbesar sejak pencatatannya dimulai pada 2016. Pasar kredit macet meningkat, yang menyoroti kesulitan yang dihadapi industri perbankan karena pemulihan pasca COVID-19 memudar dan berurusan dengan meningkatnya kenakalan individu, utang pemerintah daerah, dan krisis real estat. Jumlah kredit macet yang beredar mencapai 3,2 triliun yuan pada akhir September 2023, naik 33% dari 2,4 triliun yuan pada akhir 2019.
Baca juga: OJK Nilai Sektor Perbankan Siap Hadapi Tantangan Global, Ini Buktinya!
Dihadapkan pada kondisi makro-ekonomi global yang rentan, perbankan juga harus memanfaatkan peluang untuk menggunakan teknologi yang muncul untuk mengurangi risiko, merampingkan operasi, dan membangun kepercayaan dengan nasabah dengan menawarkan perlindungan komprehensif.
Misalnya, inisiatif open banking yang memberi pelanggan lebih banyak kendali atas keuangan mereka semakin meningkat di banyak bagian dunia. Regulator dan bank sentral terus menurunkan hambatan untuk berbagi data di Inggris, Eropa, Australia, Arab Saudi, Brasil, dan Meksiko.
Bank juga dapat mengembangkan metode baru untuk menerbitkan dan mengautentikasi identitas digital, terutama karena lebih banyak deepfake (yaitu teknologi yang menggunakan kecerdasan buatan untuk membuat video palsu yang sangat meyakinkan, di mana wajah seseorang diganti dengan wajah orang lain) muncul yang menyerupai manusia asli atau buatan.
Adopsi dompet digital yang lebih besar juga meningkatkan kebutuhan akan perlindungan. Selain itu, dalam waktu dekat, artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan generatif akan memiliki banyak manfaat untuk fungsi risiko, kepatuhan, dan operasi. Misalnya, bank mengevaluasi bagaimana teknologi dapat meningkatkan aplikasi hipotek dengan melakukan proses underwriting yang lebih cepat dan akurat serta memungkinkan alat AI percakapan untuk mengingatkan peminjam tentang dokumen yang hilang atau tidak lengkap. Hanya saja, lembaga keuangan masih enggan menanamkan AI ke dalam aplikasi pelanggan karena dapat membawa eksposur baru terhadap risiko etika dan keamanan.
Akhirnya, seberapa baik dan piawai para bankir mengelola bakat dan sumber daya mereka akan menjadi salah satu faktor kunci keberhasilan paling penting pada 2024 dan seterusnya. Persaingan terkait bakat dalam teknologi tetap menjadi titik tekanan bagi banyak bank. Bank mungkin harus membayar mahal untuk mempekerjakan bakat teknologi khusus dari bisnis luar atau melatih karyawan mereka sendiri untuk menjadi lebih paham teknologi, terutama karena inovasi dari dan di dalam AI berkembang.
Bankir harus diberdayakan dengan pengetahuan dan sumber daya yang mereka perlukan untuk memberi saran yang memadai kepada klien di tengah ketidakpastian pasar. Seperti halnya industri lain, bank juga harus menanamkan budaya yang menghubungkan kembali karyawan dengan identitas perusahaan mereka dan menciptakan rasa memiliki yang dapat disampaikan dalam lingkungan kerja hybrid. Bank juga harus menjadikan kelincahan atau agilitas sebagai atribut fundamental. Para eksekutif harus berani, tegas, dan kreatif, namun tetap patuh pada regulasi dan setia pada identitas mereka sebagai perantara keuangan yang kredibel. (*)
Jakarta - PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) resmi membuka penjualan tiket kereta cepat Whoosh… Read More
Jakarta - PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) terus berkomitmen mendukung pengembangan sektor pariwisata berkelanjutan… Read More
Tangerang - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) meluncurkan program… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat bahwa data perdagangan saham selama periode 16-20… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat di minggu ketiga Desember 2024, aliran modal asing keluar… Read More
Jakarta - PT Asuransi BRI Life meyakini bisnis asuransi jiwa akan tetap tumbuh positif pada… Read More