Oleh Siti Yayuningsih
PENGHITUNGAN Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) instrumen keuangan bank per 1 Januari 2020 telah menggunakan kriteria dalam PSAK 71– yang mengadopsi International Financial Reporting Standards (IFRS) menggantikan PSAK 55 yang diadopsi dari International Accounting Standard (IAS) 39. Namun, dengan adanya pandemi COVID-19 di Indonesia pada Maret 2020, otoritas perbankan memberikan relaksasi kredit kepada debitur terdampak pandemi melalui POJK No.11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional dan melalui Siaran Pers tanggal 15 April 2020 tentang Panduan Penerapan PSAK 71 dan PSAK 68 yang memungkinkan debitur terdampak pandemi tetap berada dalam kategori lancar dan berada dalam stage 1 serta tidak diperlukan tambahan CKPN. Selain itu, dengan plafon kredit kurang dari Rp10 miliar maka penilaian kualitas kreditnya dapat hanya menggunakan satu pilar, yaitu ketepatan membayar.
Sebagaimana diketahui, dahulu risiko kerugian penurunan nilai aset seperti kredit dan surat berharga yang disebabkan debitur tidak bisa membayar pinjaman, berdasarkan PSAK 55 dihitung dengan metode incurred loss bersifat backward-looking (menggunakan data historis), yaitu dibentuk pada saat debitur mengalami impairment seperti terjadinya keterlambatan pembayaran angsuran. Pada PSAK 71, CKPN tidak lagi dihitung dengan metode incurred loss tetapi menggunakan metode expected loss bersifat forward-looking, sehingga bank harus dapat memperkirakan estimasi risiko instrumen keuangan sejak pengakuan awal dengan menggunakan informasi forward-looking, antara lain proyeksi pertumbuhan ekonomi, indeks harga komoditas, inflasi, atau BI-7 day (Reverse) Repo Rate.
Penghitungan CKPN dalam PSAK 71 tersebut memiliki tiga stage berdasarkan tingkat risiko, dari rendah hingga tinggi. Stage 1 (performing): untuk risiko rendah atau tidak pernah terjadi keterlambatan pembayaran maka expected credit loss (ECL) dalam waktu 12 bulan. Stage 2 (under performing): jika terjadi peningkatan risiko, seperti terjadi keterlambatan pembayaran <30 hari maka ECL diperkirakan hingga waktu jatuh tempo (lifetime). Stage 3 (non-performing): jika debitur mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban dan menyebabkan kredit macet (non performing loan/NPL) termasuk kredit yang sedang direstrukturisasi maka ECL diperkirakan hingga jatuh tempo (lifetime).
Relaksasi kredit dapat dimanfaatkan oleh bank sehingga memungkinkan debitur terdampak pandemi direstrukturisasi menjadi lancar dan berada pada stage 1 tanpa penambahan CKPN. Bank perlu memperhatikan beberapa persyaratan, diantaranya benar-benar merupakan debitur terdampak pandemi COVID-19 dan kualitas kredit sebelum pandemi berada pada kategori lancar dan dalam perhatian khusus. Untuk kolektibilitas debitur dalam perhatian khusus, maka debitur dimaksud harus dalam kondisi khusus dan harus disertai dengan penjelasan yang valid. Dengan relaksasi dimaksud, ECL debitur menjadi lebih pendek sehingga penghitungan CKPN menjadi lebih rendah. Namun, bank perlu mengetahui secara objektif kondisi debitur. Bank harus dapat memaksimalkan “three lines of defence” yang dimiliki, baik dari unit bisnis, unit manajemen risiko, maupun unit pengawasan atau audit agar dapat menetapkan kondisi riil debitur.
Hal penting yang harus diwaspadai oleh bank adalah kondisi dan penentuan nilai ECL debitur restrukturisasi saat ini bukan merupakan kondisi sebenarnya. Di masa lalu, pencadangan kredit dianggap terlambat (too late) dan terlalu kecil (too little) sehingga tidak ada sinyal dari pasar bahwa tagihan tersebut tidak tertagih dari awal. Pada perbankan di luar negeri, hal ini menyebabkan gagal bayar kredit secara mendadak dalam jumlah besar oleh korporasi pada 2008. Untuk menyiasati hal tersebut, manajemen risiko bank perlu mengidentifikasi apakah kondisi debitur restrukturisasi tersebut memang berada pada stage 1 ketika krisis pulih atau sebenarnya debitur tersebut termasuk dalam stage 2 dan stage 3 – menggunakan ECL lifetime – saat krisis berakhir, sehingga persentase probability of default (PD) dan loss given default (LGD) menjadi lebih tinggi dan pembentukan CKPN menjadi lebih besar. Penghitungan tersebut memerlukan basis data debitur yang akurat yang bisa jadi sulit dipenuhi karena terbatasnya interaksi fisik petugas bank dan debitur.
Dalam skenario forward-looking, CKPN perbankan dihitung menggunakan metode ECL 12-bulan atau ECL lifetime dengan menggunakan proyeksi kondisi makro-ekonomi seperti yang telah disebutkan di atas. Untuk skenario makro-ekonomi bank harus memproyeksikan probability weighted. PSAK 71 mengharuskan bank setidaknya menyediakan dua skenario makro-ekonomi, yaitu ekonomi meningkat (upside) dan ekonomi memburuk (downside), khususnya untuk menentukan PD dan LGD. Meskipun saat ini sebagian besar bank menggunakan tiga skenario makro-ekonomi, yaitu upside, baseline, dan downside. Adapun variabel ekonomi yang sebagaimana telah disebutkan pada paragraf pertama tulisan ini dapat digunakan satu atau lebih tergantung pada relevansinya dengan produk bank.
Penghitungan risiko kredit sampai dengan saat ini masih dapat menggunakan ketentuan Basel II yang memperkenankan bank untuk menggunakan model internal (Internal Rating Based Approach) selain Standardised Approach. Adapun bank yang memiliki keterbatasan dalam menghitung EAD dapat menggunakan konversi kredit berdasarkan ATMR risiko kredit pendekatan standar seperti berdasarkan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 42/SEOJK.03/2016. Namun demikian, bank perlu mengembangkan internal based model, baik model Internal Rating Based-Foundation (IBRF) maupun model Internal Rating Based-Advance (IRBA), dengan memanfaatkan data yang dimiliki.
Model internal memerlukan data historis yang lengkap dan berkualitas untuk mendapatkan akurasi yang baik. Oleh karena itu, kualitas database perkreditan, baik untuk core banking system maupun non-core banking system, perlu diperhatikan. Lebih lanjut, model internal sendiri dapat menggunakan analisis Credit Risk + dengan beberapa tahapan kegiatan: pengumpulan data, penyusunan band, menghitung EAD, menentukan recovery rate, menentukan default rate, menghitung PD dan cummulative of default, mengukur expected loss dan unexpected loss, mengukur economic capital, menguji backesting, dan validasi model. Adapun angka PD dapat diperoleh dengan menggunakan model Poisson.
Pada kondisi tidak normal, baik pada awal indikasi krisis maupun dalam masa krisis, otoritas baik makroprudensial maupun mikroprudensial perlu menyusun stress test untuk tingkat industri, baik menggunakan pendekatan balance sheet yaitu menggunakan fixed effect (model efek tetap) untuk melihat pengaruh variabel makro-ekonomi pada risiko kredit di mana tiap individu dalam model memiliki intersep yang tidak berubah sepanjang waktu meskipun intersep antarindividu berbeda. Estimasi model ini dapat dilakukan dengan Ordinary Least Square.
Selain menggunakan pendekatan balance sheet, otoritas dapat menggunakan model yang dapat menangkap dinamika individual bank dalam bertahan terhadap shock yang diberikan dalam skenario stress test. Dapat berbasis ekspektasi bank dalam menghadapi default yang juga diterjemahkan ke dalam tiga aspek sebagaimana bank melakukan stress test dalam perusahaan, yaitu PD, LGD, dan EAD untuk melihat ketahanan industri.
Otoritas dapat membuat beberapa skenario dengan menentukan persentil statistik yang diinginkan oleh otoritas dalam membuat skenario upside ataupun downside. Bank yang mengalami kesulitan dalam tekanan makro-ekonomi akan mendapatkan LGD yang lebih tinggi. EAD yang digambarkan oleh seluruh komponen pembentuk indikator Bank Berpotensi Sistemik (BBS) karena indikator tersebut memiliki nilai yang menunjukkan seluruh eksposur yang dimiliki oleh bank saat bank tersebut default.
Indikator BBS harus telah mempertimbangkan potensi kegagalan suatu bank dapat memberikan dampak kepada sistem keuangan. Indikator BBS dapat berubah mengikuti dinamika perekonomian, dan dengan berubahnya indikator BBS maka EAD juga perlu disesuaikan, termasuk mempertimbangkan Internal-Based Rating masing-masing bank. Stress test dapat menggunakan penghitungan expected loss untuk menangkap dinamika pengaruh dari risiko makro. Terakhir, untuk mewujudkan kestabilan sistem keuangan agar dapat selamat dari krisis pandemi COVID-19 ini diperlukan usaha keras, baik dari sisi perbankan maupun otoritas keuangan.
*) Penulis adalah mahasiswa Program Doktoral Ilmu Manajemen Universitas Padjadjaran dan Peneliti Eksekutif – Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Disclaimer: analisis dan pendapat penulis bukan merupakan analisis dan pendapat resmi OJK.
Jakarta – Evelyn Halim, Direktur Utama Sarana Global Finance Indonesia (SG Finance), dinobatkan sebagai salah… Read More
Jakarta - Industri asuransi menghadapi tekanan berat sepanjang tahun 2024, termasuk penurunan penjualan kendaraan dan… Read More
Jakarta - Industri perbankan syariah diproyeksikan akan mencatat kinerja positif pada tahun 2025. Hal ini… Read More
Jakarta - Presiden Direktur Sompo Insurance, Eric Nemitz, menyoroti pentingnya penerapan asuransi wajib pihak ketiga… Read More
Senior Vice President Corporate Banking Group BCA Yayi Mustika P tengah memberikan sambutan disela acara… Read More
Jakarta - PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat sejumlah pencapaian strategis sepanjang 2024 melalui berbagai… Read More