Expertise

Menakar Kebijakan dan Tantangan PPATK

Oleh Paul Sutaryono

SAAT ini, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sedang menjadi buah bibir. Dengan gagahnya, PPATK memastikan akan melanjutkan pemblokiran rekening tabungan yang berstatus dormant atau tidak aktif dalam jangka waktu tertentu.  

Sejatinya, siapa saja yang berwenang untuk memerintahkan pemblokiran rekening itu? Apa tantangan PPATK?  

Menurut Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, sejak 2020 hingga 2024, PPATK menemukan lebih dari 1 juta rekening yang terkait tindak pidana. Dari jumlah itu, lebih dari 150.000 rekening adalah nominee atau hasil jual beli rekening, peretasan, dan penyimpangan lain. Sekitar 50.000 di antaranya adalah rekening tidak aktif dalam waktu tertentu sebelum dialiri dana ilegal.  

Rekening tidak aktif itu berpotensi digunakan untuk tindak pidana seperti judi online (judol), penipuan, dan perdagangan narkotika. Sepanjang 2024, misalnya PPATK menemukan 28.000 rekening yang terindikasi hasil praktik jual beli rekening dan digunakan untuk deposit judol (Kompas, 30 Juli 2025).  

Aneka Langkah Strategis  

Pemblokiran rekening dormant itu telah membuat resah masyarakat. Keresahan itu mereda segera setelah Presiden Prabowo Subianto mengundang PPATK ke istana. Lantas, apa saja langkah strategis yang patut diambil PPATK ke depan?   Pertama, sesungguhnya, siapa saja yang berwenang untuk memerintahkan pemblokiran harta kekayaan termasuk rekening?  

Pasal 71 Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang efektif 22 Oktober 2010 menyebutkan bahwa penyidik, penuntut umum atau hakim berwenang memerintahkan pihak pelapor untuk melakukan pemblokiran harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dari setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik, tersangka atau terdakwa.  

Baca juga: Kebijakan PPATK Blokir Rekening Dormant Merusak Kepercayaan Publik ke Perbankan

Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung.  

Berita pemblokiran rekening dormant itu memberi kesan bahwa PPATK telah memerintahkan penyedia jasa keuangan (PJK) – antara lain bank – untuk melakukan pemblokiran rekening dormant. Padahal, PPATK tidak memiliki wewenang untuk memerintahkan hal itu. Artinya, PPATK bisa dianggap telah melampaui kewenangannya.  

Terkait dengan itu, PPATK hendaknya lebih bijak dalam melakukan tugas utamanya, yakni mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.  

Kedua, kalau begitu, apa saja fungsi PPATK? Pasal 40 UU Nomor 8 Tahun 2010 dengan terang benderang menegaskan bahwa PPATK mempunyai fungsi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK.  

Selain itu, PPATK mempunyai fungsi pengawasan terhadap kepatuhan pihak pelapor dan analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana lain.  

Oleh karena itu, PPATK sudah semestinya lebih berfokus untuk melaksanakan semua fungsi tersebut dengan saksama. Apalagi disebutkan bahwa tahun lalu, PPATK telah menghentikan sementara transaksi pada 15.407 rekening dari 28 bank dan satu perusahaan efek sebagai upaya tindak pidana pencucian uang judol. Jumlah saldo di rekening yang dibekukan itu mencapai Rp107 miliar (ibid).  

Sungguh, PPATK sebaiknya juga membantu pemerintah dalam memberantas korupsi yang kini makin merajalela. Lihat saja, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia naik dari 34 dari 100 pada 2023 menjadi 37 pada 2024.  

Lihat pula data Indonesia Corruption Watch (ICW). Terdapat 119 kasus korupsi di lingkungan badan usaha milik negara (BUMN) dengan 340 tersangka pada 2016-2021. Sebanyak 51 di antaranya adalah direktur BUMN dan 83 adalah pimpinan menengah di perusahaan BUMN. Saya yakin bahwa dana yang telah dikorupsi itu telah mencapai jauh di atas jumlah saldo di rekening yang dibekukan yang “hanya” mencapai Rp107 miliar itu.  

Data tersebut menegaskan bahwa korupsi makin meluas bagai tidak terkendali sama sekali. Padahal, kita telah memiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai garda depan dalam memberantas tindak pidana korupsi.  

Mengapa PPATK patut aktif dalam memberantas korupsi? Karena, gampang diduga bahwa koruptor akan menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak atau kepemilikannya yang sebenarnya atas harta kekayaannya. Penyamaran itu bisa merupakan pencucian uang. Pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana.   

Ketiga, menurut PPATK, rekening tidak aktif itu berpotensi digunakan untuk tindak pidana seperti judol, penipuan, dan perdagangan narkotika. Hal itu menunjukkan bahwa begitu rentan status rekening di bank.  

Sudah barang tentu, kerentanan seperti itu bisa menurunkan kepercayaan bank di mata  masyarakat, terutama nasabah. Padahal, bisnis perbankan erat kaitannya dengan unsur kepercayaan (trust). Apalah artinya bank tanpa kepercayaan dari masyarakat terutama nasabah mereka?  

Oleh karena itu, suka tak suka hal itu menjadi peringatan keras bagi bank untuk terus meningkatkan penerapan manajemen risiko. Untuk apa? Untuk mengerek tingkat kepercayaan nasabah dan sekaligus untuk mitigasi risiko penarikan dana besar-besaran (bank rush).  

Keempat, bukan hanya itu. Sebagai regulator yang mempunyai fungsi untuk mengatur, mengawasi, dan melindungi sektor jasa keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah seharusnya juga ikut bertanggung jawab atas kerentanan rekening nasabah yang “begitu mudah” disalahgunakan oleh pihak lain.  

Apalagi OJK telah meluncurkan Peraturan OJK Nomor 8 Tahun 2023 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang, Pencegahan Pendanaan Terorisme dan Pencegahan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal di Sektor Jasa Keuangan yang efektif 14 Juni 2023.  

Ditegaskan bahwa OJK berkomitmen untuk mendukung regulasi yang sesuai dengan perkembangan prinsip internasional yang mengatur mengenai penerapan program anti pencucian uang, pencegahan pendanaan terorisme, dan pencegahan pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal.  

Untuk itu, OJK mewajibkan penyedia jasa keuangan (PJK) antara lain bank untuk menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan, Transaksi Keuangan Tunai, dan laporan lain kepada PPATK.  

Ragam Tantangan  

Lebih dari itu, sesungguh apa tantangan PPATK ke depan?  

Kelima, perkembangan bisnis perbankan digital yang melahirkan transaksi keuangan digital membuat transaksi keuangan makin kompleks dan sarat potensi risiko. Makin warna-warni. Hal itu mendorong kenaikan tantangan bagi PPATK dalam melakukan analisis transaksi keuangan secara digital.  

Keenam, untuk mampu melaksanakan analisis transaksi keuangan secara digital, PPATK harus terus meningkatkan kompetensi pegawai mereka dengan pengetahuan dan keterampilan perbankan digital. Plus manajemen risiko yang meliputi risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, dan risiko likuiditas.  

Dengan demikian, pegawai PPATK tidak tertinggal oleh kemajuan perbankan digital pada umumnya dan transaksi keuangan digital pada khususnya. Ini syarat mutlak agar tidak ketinggalan kereta digital saat ini.  

Baca juga: Ketua BPKN: Aturan PPATK Blokir Rekening Dormant Rugikan Konsumen dan Langgar UU

Ketujuh, selain itu, PPATK perlu melakukan peningkatan kerja sama dengan lembaga sejenis pada tingkat regional terutama negara-negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina dan Vietnam dan internasional. Upaya itu bertujuan final agar PPATK memiliki wawasan dan visi yang jauh ke depan.  

Buah manisnya, PPATK bakal lebih perkasa untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang serta pendanaan terorisme dengan tepat dan efektif. Lebih titis alias tepat sasaran.  

Kedelapan, nah, ketika ingin ikut mencegah dan memberantas judol, PPATK sebaiknya bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Pastinya, kerja sama PPATK dengan Komdigi itu akan menciptakan sinergi tinggi untuk membasmi judol dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Jangan bertindak sendiri!

Kesembilan, di samping itu, PPATK dan OJK perlu bergandengan mesra dalam melakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat luas mengenai potensi risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme. Sungguh, ini mendesak dan penting untuk dilaksanakan segera!

Penulis adalah Pengamat Perbankan dan Assistant Vice President BNI (2005-2009), Staf Ahli Pusat Studi Bisnis (PSB), UPDM Jakarta dan Advisor Pusat Pariwisata Berkelanjutan Indonesia (PPBI), Unika Atma Jaya Jakarta.    

Galih Pratama

Recent Posts

Hashim Djojohadikusumo Raih Penghargaan ‘Inspirational Figure in Environmental and Social Sustainability’

Poin Penting Hashim Djojohadikusumo meraih penghargaan “Inspirational Figure in Environmental and Social Sustainability” berkat perannya… Read More

9 hours ago

Dua Saham Bank Ini Patut Dilirik Investor pada 2026

Poin Penting Mirae Asset merekomendasikan BBCA dan BMRI untuk 2026 karena kualitas aset, EPS yang… Read More

9 hours ago

Hashim Soroti Pentingnya Edukasi Publik Terkait Perubahan Iklim

Poin Penting Indonesia menegaskan komitmen memimpin upaya global melawan perubahan iklim, seiring semakin destruktifnya dampak… Read More

10 hours ago

OJK Sederhanakan Aturan Pergadaian, Ini Poin-poinnya

Poin Penting OJK menerbitkan POJK 29/2025 untuk menyederhanakan perizinan pergadaian kabupaten/kota, meningkatkan kemudahan berusaha, dan… Read More

11 hours ago

40 Perusahaan & 10 Tokoh Raih Penghargaan Investing on Climate Editors’ Choice Award 2025

Poin Penting Sebanyak 40 perusahaan dan 10 tokoh menerima penghargaan Investing on Climate 2025 atas… Read More

12 hours ago

Jelang Akhir Pekan, IHSG Berbalik Ditutup Melemah 0,09 Persen ke Level 8.632

Poin Penting IHSG ditutup melemah 0,09% ke level 8.632 pada 5 Desember 2025, meski beberapa… Read More

12 hours ago