Oleh Setiawan Budi Utomo, Pengamat Keuangan dan Kebijakan Publik
“PANGAN adalah soal hidup matinya suatu bangsa,” tegas Bung Karno dalam satu pidato legendarisnya. Ucapan tersebut seharusnya menjadi navigator arah pembangunan nasional. Namun, sayangnya, puluhan tahun berlalu, sektor pertanian masih menjadi anak tiri pembangunan.
Kaum tani yang menjadi tulang punggung ketahanan pangan nasional justru berada dalam jeratan kemiskinan struktural yang menahun. Di sinilah keuangan syariah harus mengambil peran strategis sebagai motor pembebas, bukan sekadar pelengkap kosmetik dalam sistem keuangan nasional.
Ekonomi kaum tani perlu dijembatani kemerdekaannya melalui keuangan syariah sebagai salah satu agen pembangunan. Bung Karno (1957) pernah berujar: “Negara Indonesia bukan milik satu golongan, bukan milik satu agama, bukan milik satu suku, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke! Maka, kewajiban negara adalah memajukan kesejahteraan seluruh rakyat, termasuk kaum buruh dan petani.”
Indonesia adalah negeri agraris. Namun, fakta yang ada justru bikin mengiris nurani. Data BPS tahun 2024 menyebutkan bahwa 53 persen petani kita adalah buruh tani yang tak memiliki tanah. Lebih dari 60 persen rumah tangga petani tergolong miskin multidimensi, mengalami kekurangan tidak hanya dalam pendapatan tapi juga dalam kesehatan, pendidikan, dan akses terhadap layanan dasar.
Lebih menyedihkan lagi, menurut OJK 2024, total pembiayaan sektor pertanian hanya sekitar 6,1 persen dari seluruh kredit perbankan nasional. Pada bank syariah, angkanya bahkan lebih kecil: hanya 3,8 persen.
Artinya, sistem keuangan kita, termasuk yang berbasis syariah, belum berpihak pada petani. Ini adalah kegagalan kolektif yang harus dikoreksi dengan langkah struktural, bukan sekadar program karitatif temporer.
Baca juga: Paten Mekar Tani Perkuat Kolaborasi Dorong Ketahanan Pangan Nasional
Ada sejumlah alasan sistemis kenapa kaum tani sulit mengakses pembiayaan. Satu, tidak bankable. Mayoritas petani tak memiliki sertifikat tanah atau aset yang bisa dijaminkan. Dua, risiko tinggi. Usaha tani sangat bergantung pada cuaca, harga pasar, dan serangan hama.
Tiga, skala usaha kecil. Usaha tani umumnya bersifat mikro, sehingga dianggap tidak menguntungkan oleh bank. Empat, biaya transaksi tinggi. Jarak ke lembaga keuangan jauh, prosedurnya rumit, dan literasi keuangan rendah.
Keuangan syariah pada dasarnya menawarkan pendekatan yang lebih adil dan berbasis kemitraan. Skema seperti mudharabah (bagi hasil), musyarakah (kemitraan modal), dan qardhul hasan (pinjaman sosial tanpa bunga) seharusnya sangat relevan untuk sektor pertanian.
Sejumlah inisiatif inovatif memang mulai bermunculan. Sebut saja BMT dan LKMS di perdesaan yang melayani petani dengan pendekatan komunitas. Ada juga skema wakaf dan wakaf produktif untuk membiayai lahan pertanian desa binaan. Lalu, asuransi pertanian berbasis syariah untuk mitigasi risiko. Kemudian, terdapat pula fintech syariah, seperti ALAMI dan Ammana, yang mulai menyasar pembiayaan mikro produktif.
Namun, kontribusinya masih kecil. OJK mencatat, pembiayaan sektor pertanian dari keuangan syariah hanya Rp13,2 triliun hingga akhir 2024, sekitar 3,2 persen dari total pembiayaan syariah nasional. Ini ibarat setetes air di tengah dahaga struktural.
Bangladesh memberikan pelajaran penting melalui Islamic microfinance dan Grameen Bank. Skema pembiayaan berbasis kelompok, tanpa agunan, dan berlandaskan pada kepercayaan sosial terbukti mampu menjangkau jutaan petani dan perempuan di perdesaan. Bank syariah seperti Islami Bank Bangladesh turut mengembangkan pembiayaan mikro pertanian yang terintegrasi dengan pelatihan dan pengorganisasian komunitas.
Malaysia lebih jauh lagi. Lembaga seperti Agrobank memberikan pembiayaan khusus sektor pertanian berbasis prinsip syariah, dengan dukungan ekosistem agribisnis dari hulu ke hilir. Malaysia juga mengembangkan halal value chain yang menghubungkan produksi pangan halal dari petani ke pasar global, dengan dukungan insentif dan infrastruktur dari pemerintah.
Dari dua contoh ini, kita bisa belajar bahwa keuangan syariah yang berpihak pada petani hanya akan efektif bila (1) terintegrasi dengan ekosistem produksi dan pasar, (2) didukung oleh kebijakan fiskal dan moneter, serta (3) berbasis pada pengorganisasian komunitas dan trust sosial.
Indonesia membutuhkan terobosan, bukan tambal sulam. Untuk itu, beberapa langkah berikut patut dipertimbangkan.
Satu, reformasi skema pembiayaan. Perlu ada green allocation khusus sektor pangan dalam portofolio pembiayaan syariah. OJK bisa menetapkan target minimal pembiayaan syariah untuk pertanian.
Dua, revitalisasi BMT dan LKMS. Jadikan BMT bukan sekadar koperasi jasa keuangan, tapi sebagai pusat pemberdayaan ekonomi tani dengan pendampingan, pelatihan, dan digitalisasi.
Tiga, digitalisasi dan integrasi platform. Fintech syariah harus didorong untuk mengembangkan produk khusus petani pembiayaan alat produksi, bibit, pupuk, bahkan pre-harvest financing.
Empat, insentif fiskal dan subsidi risiko. Pemerintah harus memberikan subsidi risiko (risk sharing) kepada lembaga keuangan syariah yang menyalurkan dana ke sektor pertanian.
Lima, ekosistem halal value chain. Bangun mata rantai halal dari produksi, distribusi, hingga konsumsi pangan. Petani harus menjadi pelaku utama, bukan korban dari rantai nilai.
Baca juga: Dirut Agrinas Mundur, Danantara Pastikan Operasional Tetap Normal
Kemerdekaan sejati bukan sekadar bebas dari penjajahan politik, tapi juga dari dominasi ekonomi yang menindas. Kaum tani tidak boleh terus menjadi korban dari sistem yang tidak adil.
Seperti kata Bung Hatta, “Petani bukan sapi perah industrialisasi semu.” Dan, ujarnya, “Kemerdekaan itu bukanlah tujuan, tetapi alat untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat terutama bagi mereka yang bekerja keras, seperti buruh dan petani.”
Keuangan syariah memiliki potensi menjadi alat perjuangan, bukan hanya alternatif. Namun, hal itu membutuhkan keberanian politik, inovasi kelembagaan, dan partisipasi masyarakat sipil.
Sudah saatnya kita beralih dari paradigma eksklusi menuju paradigma inklusi. Dari model profit-seeking menuju model justice-seeking. Jika kita ingin pangan kita merdeka dan berdaulat, maka petaninya harus lebih dulu dimerdekakan secara ekonomi, sosial, dan finansial. (*)
Poin Penting Hashim Djojohadikusumo meraih penghargaan “Inspirational Figure in Environmental and Social Sustainability” berkat perannya… Read More
Poin Penting Mirae Asset merekomendasikan BBCA dan BMRI untuk 2026 karena kualitas aset, EPS yang… Read More
Poin Penting Indonesia menegaskan komitmen memimpin upaya global melawan perubahan iklim, seiring semakin destruktifnya dampak… Read More
Poin Penting OJK menerbitkan POJK 29/2025 untuk menyederhanakan perizinan pergadaian kabupaten/kota, meningkatkan kemudahan berusaha, dan… Read More
Poin Penting Sebanyak 40 perusahaan dan 10 tokoh menerima penghargaan Investing on Climate 2025 atas… Read More
Poin Penting IHSG ditutup melemah 0,09% ke level 8.632 pada 5 Desember 2025, meski beberapa… Read More