Categories: Analisis

Membaca Arah Kebijakan Ekonomi dan Moneter 2016

Oleh Ryan Kiryanto

DANA MONETER INTERNASIONAL (IMF) mengapresiasi kebijakan ekonomi yang ditempuh otoritas di Indonesia. Menurut IMF, prospek ekonomi Indonesia tetap solid. Otoritas di Indonesia dinilai telah menempuh langkah-langkah signifikan dalam beberapa tahun terakhir ini untuk memperkuat kerangka kebijakan, antara lain mencakup kebijakan moneter serta fiskal yang berhati-hati, seperti terlihat dalam reformasi subsidi bahan bakar minyak (BBM) pada 2015, telah mampu berkontribusi kepada stabilitas makroekonomi sekaligus mendukung pertumbuhan.

Hal tersebut juga telah membawa Indonesia melewati berbagai tantangan sepanjang 2015. Demikian penilaian Luis E. Breuer, yang memimpin kunjungan Tim IMF ke Jakarta dari tanggal 3 hingga 17 Desember 2015 lalu. Kunjungan Tim IMF ke Jakarta dilakukan dalam rangka berdiskusi mengenai perkembangan ekonomi terkini Indonesia serta prospek jangka pendek-menengah.

Diskusi dilakukan dengan perwakilan dari Pemerintah, Bank Indonesia (BI), lembaga publik lainnya serta sektor swasta. IMF menyebutkan bahwa prospek ekonomi Indonesia jangka menengah masih akan positif, didukung oleh agenda kebijakan yang mendukung pertumbuhan yang melibatkan rakyat banyak (inklusif), namun tetap menekankan stabilitas.

Kebijakan moneter yang ditempuh BI juga dianggap telah tepat dan telah mendukung penyesuaian ekonomi terhadap tekanan eksternal. Pengambil kebijakan juga telah memberi respons yang tepat saat terjadi gejolak di pasar keuangan, dengan fleksibilitas nilai tukar dan imbal hasil obligasi Pemerintah, serta usaha pendalaman pasar keuangan.

Di sisi fiskal, IMF memandang Pemerintah Indonesia telah menerapkan strategi yang tepat sasaran, dengan peningkatan belanja infrastruktur dan program sosial yang menyasar pada target yang tepat. Otoritas terkait telah berhasil melakukan pengurangan subsidi BBM dan bantuan tunai bersyarat dan investasi publik.

Selain itu, berbagai usaha penguatan kerangka fiskal yang tengah dilakukan, seperti rencana penyesuaian anggaran 2016 berdasarkan penerimaan 2015, juga mendapat apresiasi. IMF juga menyatakan bahwa kebijakan fiskal perlu disusun dalam rencana jangka menengah, sebagai rujukan bagi program-program Pemerintah.

Selanjutnya, indikator-indikator sektor keuangan menunjukan bahwa sektor perbankan Indonesia masih solid. Hal ini antara lain terlihat dari tingkat permodalan dan profitabilitas yang baik, meski tingkat Non Performing Loan (NPL) sedikit meningkat. Beberapa langkah telah dilakukan untuk memperkuat stabilitas sistem keuangan, antara lain melalui peningkatan teknik pengamatan (surveillance) sektor keuangan, serta pengenalan kebijakan lindung nilai (hedging) untuk mengatur risiko nilai tukar utang korporasi.

Dalam hal ini, pengesahan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) menjadi sangat penting untuk memperkuat kerangka kelembagaan dalam mendukung stabilitas sistem keuangan.

Paket-paket kebijakan Pemerintah yang dikeluarkan sejak Agustus 2015 juga dianggap mampu memberi sinyal mengenai strategi baru untuk memperbaiki iklim bisnis dan mengurangi biaya dalam berusaha (cost of doing business). Hal ini dilakukan untuk meningkatkan daya saing guna mendukung pertumbuhan ekonomi.

Komitmen yang kuat juga ditunjukkan oleh seluruh lembaga/otoritas untuk melanjutkan reformasi struktural, termasuk meninjau kembali investasi yang dilakukan di dalam dan luar negeri serta keuntungan yang diperoleh dari perdagangan regional. Praktik ketenagakerjaan yang kini lebih fleksibel telah mampu menciptakan lapangan kerja dan menarik investasi swasta baru.

Arah kebijakan 2016: cenderung akomodatif

Jika menilik dasar pertimbangan pengambilan keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 17 Desember 2015 lalu yang memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7,50%, dengan suku bunga Deposit Facility 5,50% dan Lending Facility pada level 8,00%, tampaknya mulai terlihat signal arah kebijakan BI yang lebih akomodatif di waktu-waktu mendatang.

Diyakini, cepat atau lambat, kebijakan moneter BI akan lebih longgar, karena beberapa “persyaratan” hampir terpenuhi. Sebagai catatan, pada RDG BI terakhir di 2015 itu (17/122015), BI memandang ruang bagi pelonggaran kebijakan moneter semakin terbuka dengan terjaganya stabilitas makroekonomi, khususnya inflasi akhir 2015 yang akan berada di bawah 3% dan defisit transaksi berjalan (DTB) akan berada di kisaran 2% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Bank sentral juga mencermati perkembangan pasarkeuangan global pascakenaikan suku bunga Bank Sentral AS (Fed Fund Rate/FFR) dan kondisi ekonomi domestik dalam jangka pendek ke depan. Di sini BI harus terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dalam pengendalian inflasi, penguatan stimulus pertumbuhan, dan reformasi struktural, sehingga mampu menopang pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dengan stabilitas ekonomi makro dan sistem keuangan yang tetap terjaga.

Maklum, tantangan yang dihadapi ekonomi Indonesia selama 2015 tidak terlepas dari dinamika perkembangan ekonomi dan keuangan global, yaitu pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat, harga komoditas yang menurun, dan pasar keuangan yang masih bergejolak.

Pertumbuhan ekonomi dunia melambat dipengaruhi oleh pemulihan ekonomi negara maju yang belum solid dan pertumbuhan ekonomi negara berkembang yang cenderung menurun. Ekonomi AS tumbuh moderat ditopang oleh konsumsi dan membaiknya sektor perumahan, sementara ekspansi manufaktur dan ekspor masihtertahan.

Pemulihan ekonomi Eropa terutama didorong oleh perbaikan permintaan domestik, meskipun belum mampu meningkatkan inflasi yang masih rendah. Sementara itu, perekonomian Tiongkok terus melemah  sejalan dengan rebalancing ekonominya dari  investment driven menjadi consumption driven.

BI harus jeli melihat ke depan, karena di tengah prospek pemulihan ekonomi global yang membaik, sejumlah risiko eksternal masih perlu diwaspadai, khususnya perlambatan ekonomi Tiongkok dan kondisi pasar keuangan global pascakenaikan FFR secara berkelanjutan atau bertahap hingga 2017/2018 nanti.

Sejauh ini perkembangan makroekonomi Indonesia sudah berjalan pada jalurnya. Sejalan dengan perlambatan ekonomi global,  pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat di 2015. Pertumbuhan ekonomi  diperkirakan mencapai 4,8% (yoy), lebih rendah dari 5,0% (yoy) pada tahun 2014.  Penurunan ini dipengaruhi oleh  ekspor yang menurun seiring lemahnya permintaan global dan penurunan harga komoditas. Hal ini terkonfirmasi dari sisi regional yang menunjukkan perlambatan ekonomi terutama dialami daerah yang berbasis sumber daya alam.

Maka, seiring dengan ekspor yang masih lemah, pertumbuhan investasi relatif terbatas.  Investasi bangunan tumbuh meningkat ditopang realisasi proyek-proyek infrastruktur pemerintah, sementara investasi nonbangunan masih terbatas. Namun, pertumbuhan ekonomi masih dapat ditopang oleh konsumsi yang masih cukup kuat, baik rumah tangga maupun pemerintah.

Pada 2016 nanti, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan akan meningkat  pada kisaran 5,2%-5,6%. Pertumbuhan ini didorong oleh stimulus fiskal terutama untuk pembangunan proyek infrastruktur dan konsumsi yang diperkirakan masih tetap kuat.  Sementara itu, investasi diharapkan meningkat seiring  dengan  implementasi paket kebijakan pemerintah yang  mendorong investasi dan stabilitas makroekonomi yang semakin baik.

Di tengah dinamika ekonomi global, upaya  pemerintah meningkatkan daya beli masyarakat dan efektivitas stimulus fiskal memiliki peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di 2016. Kinerja transaksi berjalan 2015 diperkirakan membaik dibandingkan tahun sebelumnya dan berada pada kisaran 2% dari PDB.

Penurunan DTB terutama ditopang oleh perbaikan neraca perdagangan nonmigas  dan migas akibat penurunan impor yang signifikan. Hal ini sejalan dengan permintaan domestik yang masih lemah dan ekspor yang terkontraksi akibat harga komoditas yang menurun serta permintaan global yang masih lemah.

Di sisi lain, kinerja transaksi modal dan finansial masih mencatat surplus di tengah meningkatnya ketidakpastian di pasar keuangan global dan melambatnya perekonomian domestik. Namun, surplus tersebut diperkirakan lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya sehingga tidak sepenuhnya dapat menutup defisit transaksi berjalan.

Dengan perkembangan tersebut, cadangan devisa pada akhir November 2015 lalu tercatat sebesar 100,2 miliar dolar AS atau setara dengan 7,1 bulan impor atau 6,9 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah. Angka tersebut berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

Sepanjang 2015 ini tekanan nilai tukar meningkat dipicu oleh ketidakpastian kenaikan FFR dan depresiasi Yuan. Hingga November 2015, rupiah secara rata-rata melemah 11,05% ke level Rp13.351/USD. Pelemahan ini dipengaruhi sejumlah faktor eksternal, antara lain,  ketidakpastian timing dan besaran kenaikan FFR, kekhawatiran negosiasi fiskal Yunani, serta Yuan yang terus terdepresiasi di tengah perekonomian Tiongkok yang lemah.

Sementara itu, dari sisi domestik, tekanan terhadap rupiah terkait dengan meningkatnya permintaan valas untuk pembayaran utang luar negeri (ULN) dan deviden secara musiman, serta kekhawatiran terhadap melambatnya ekonomi domestik.

Namun, pada Oktober dan November 2015 lalu pergerakan rupiah cenderung menguat dan lebih stabil, seiring dengan sentimen positif terhadap emerging markets (EM) akibat hasil Federal Open Market Committee (FOMC) yang sempat dovish (melonggar) dan membaiknya optimisme terhadap prospek ekonomi Indonesia sejalan dengan rangkaian paket kebijakan pemerintah dan paket stabilisasi nilai tukar yang dikeluarkan oleh BI.

Untuk itu ke depannya BI harus terus menjaga stabilitas nilai tukar sesuai dengan fundamentalnya, sehingga dapat mendukung stabilitas makoekonomi dan penyesuaian ekonomi kea rah yang lebih sehat dan berkesinambungan. Apalagi laku inflasi 2015 diperkirakan cukup rendah berada di bawah 3%.

Inflasi yang rendah didukung oleh inflasi volatile food yang rendah, administered prices yang mengalami deflasi, dan inflasi inti yang terkendali. Inflasi kelompok volatile food tercatat cukup rendah, didukung oleh kecukupan pasokan bahan pangan. Sementara administered prices diperkirakan mengalami deflasi, seiring dengan menurunnya harga energi dunia di tengah reformasi subsidi.

Di sisi lain, inflasi inti tetap terkendali, didukung oleh ekspektasi yang terjaga, dampakpassthrough pelemahaan nilai tukar yang terbatas dan  tekanan permintaan yang relatif lemah. Hal ini tidak terlepas dari peran kebijakan BI dalam mengelola permintaan domestik, menjaga stabilitas nilai tukar, dan mengarahkan ekspektasi inflasi, serta semakin baiknya koordinasi kebijakan pengendalian inflasi antara BI dan Pemerintah.

Pada November 2015,  Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat mengalami inflasi sebesar 0,21% (mtm). Inflasi ini disumbang oleh seluruh komponennya. Dengan demikian, inflasi IHK sejak Januari sampai November 2015 tercatat sebesar 2,37% (ytd) atau mencapai 4,89% (yoy).

Ke depan, inflasi diperkirakan akan berada pada sasaran inflasi 2016, yaitu 4 ± 1%. Namun, risiko inflasi perlu terus diwaspadai, terutama terkait penyesuaian administered prices, sehingga lagi-lagi diperlukan penguatan koordinasi kebijakan BI dan Pemerintah yang lebih solid dalam pengendalian inflasi.

Stabilitas sistem keuangan (SSK) tetap solid, ditopang oleh ketahanan sistem perbankan dan relatif terjaganya kinerja pasar keuangan. Ketahanan industri perbankan tetap kuat dengan risiko-risiko kredit, likuiditas dan pasar yang cukup terjaga. Per Oktober 2015 lalu, rasio kecukupan modal (CAR) masih kuat, jauh di atas ketentuan minimum 8%, yaitu sebesar 20,8%. Sementara itu, rasio kredit bermasalah (NPL) tetap rendah dan berada di kisaran 2,7% (gross) atau 1,4% (net).

Dari sisi fungsi intermediasi, pertumbuhan kredit tercatat sebesar 10,4% (yoy), lebih rendah dari pertumbuhan pada periode yang sama tahun sebelumnya, sejalan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi (prosiklikalitas). Sementara itu, pertumbuhan DPK pada Oktober 2015 tercatat 9,0% (yoy).

Maka dari itu, sejalan dengan meningkatnya aktivitas ekonomi dan dampak pelonggaran kebijakan makroprudensial, serta penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) Primer oleh BI, pertumbuhan  kredit  diperkirakan  akan terus meningkat menjadi   12-14% pada 2016. Bahkan bias jadi melampaui perkiraan tersebut jika pelaksanaan pembangunan proyek-proyek strategis oleh pemerintah berjalan optimal.

Itulah sejumlah pertanda bahwa otoritas moneter ke depan cenderung makin akomodatif dalam menelurkan kebijakan moneter melalui jalur suku bunga (BI Rate) dan jalur makroprudensialnya yang ditujukan untuk memperkuat stabilitas ekonomi seraya mendukung pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. (*)

Penulis adalah Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk

Paulus Yoga

Recent Posts

OJK Sebut Rencana BTN Akuisisi Bank Syariah Masih Evaluasi Internal

Jakarta – Rencana aksi korporasi BTN untuk mengakuisisi bank syariah lain masih belum menemukan titik terang. Otoritas… Read More

56 mins ago

DPLK AXA Mandiri Jalin Kerja Sama Strategis

Suasana saat penandatanganan strategis antara Dana Pensiun Lembaga Keuangan PT AXA Mandiri Financial Services (DPLK… Read More

2 hours ago

Ini Dia Perusahaan Jumbo yang Bakal IPO di Akhir 2024

Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) bakal kedatangan satu perusahaan dengan kategori lighthouse yang… Read More

2 hours ago

BRI Sebut KUR Tak Masuk Kriteria PP Hapus Tagih Utang UMKM, Begini Penjelasannya

Jakarta – PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI menyatakan bahwa Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang… Read More

2 hours ago

Dua Produk Ini Topang Kinerja Zurich Topas Life di September 2024

Jakarta - Zurich Topas Life berhasil mencatat kinerja yang solid hingga September 2024, dengan kontribusi… Read More

2 hours ago

Jangan Terkecoh! Ini 5 Perbedaan Utama Judi Online vs Investasi Menurut BNI Sekuritas

Jakarta - Fenomena judi online (judol) di Indonesia kian marak, ditandai dengan lonjakan transaksi hingga… Read More

3 hours ago