Analisis

Memahami Praktik Shadow Banking

Makin banyak lembaga keuangan nonbank yang bertindak sebagai bank.  Bisakah shadow banking memicu krisis? Eko B. Supriyanto

Jakarta – MATI satu, tumbuh seribu. Itulah ungkapan yang pas untuk menggambarkan suburnya lembaga keuangan nonbank yang bertindak sebagai bank. Bahkan, sejak krisis 20 tahun lalu, tak ada satu bank baru pun lahir, tapi banyak lahir lembaga shadow banking dengan pesona dan cerita dukanya.

Apa sih shadow banking? Lembaga keuangan nonbank yang bertindak seolah bank, yaitu menerima dana dari masyarakat dan menyalurkan ke masyarakat, tapi izinnya bukan bank. Itu perusahaan asuransi dengan produk reksa dana, multifinance yang melakukan refinancing. Juga, private equity dengan kontrak pengelolaan dana.

Dan, yang paling terdengar ialah koperasi atau perusahaan perdagangan yang menawarkan kerja sama investasi. Lembaga shadow banking baru menjadi cerita derita ketika banyak investor yang tak berhasil menarik dananya kembali.

Nama Koperasi Pandawa dan Koperasi Langit Biru merupakan yang tak rasional pada awalnya, tapi dilihat investor sebagai hal yang rasional. Bayangkan tukang bubur (Pandawa) setidaknya mampu meraih dana sekitar Rp3 triliun. Lebih dahsyat, pada 2013 tukang daging (Langit Biru) mampu meraih Rp6 triliun dalam enam bulan.

Bandingkan dengan bank yang nyata-nyata punya izin, punya kantor jelas dan modal yang diatur, kok sulit meraih dana sebesar itu. Jangankan Rp6 triliun, bahkan lebih dari 30% bank di Indonesia selama 30 tahun tak mampu meraih dana pihak ketiga (DPK) sebesar yang diraih Koperasi Langit Biru.

Besarnya dana yang diraih ini tentu punya potensi terhadap stabilitas sistem keuangan di Indonesia. Bahkan, Bank Indonesia (BI) memperingatkan ancaman penetrasi bank bayangan (shadow banking)  terhadap stabilitas sistem keuangan Indonesia.

Jumlah shadow banking yang tidak masuk pengawasan BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun makin banyak dengan berbagai modus. Bahkan, beberapa waktu lalu, Gubernur BI, Agus D.W. Martowardojo, mengkhawatirkan meningkatnya fenomena shadow banking—dengan syarat yang lebih mudah dibandingkan dengan perbankan, mulai jadi ancaman bagi Indonesia.

Hal itu bisa berbahaya jika tidak jelas siapa yang mengaturnya. Bahkan, tekanan dan penetrasi shadow banking dapat berakibat krisis. Karena itu, diperlukan aturan dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian. Juga soal landasan hukum. Jangan sampai izinnya dari lembaga lain, tapi kalau ada masalah minta OJK atau BI yang bertanggung jawab.

Page: 1 2 3

Apriyani

Recent Posts

ICC Resmi Keluarkan Surat Penangkapan Benjamin Netanyahu dan Yoav Gallant

Jakarta - Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) resmi mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin… Read More

5 hours ago

Mandiri Sekuritas Ramal Ekonomi RI Tumbuh 5,1 Persen di 2025

Jakarta - PT Mandiri Sekuritas memproyeksikan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang stabil pada kisaran… Read More

14 hours ago

Harita Nickel Raup Pendapatan Rp20,38 Triliun di Kuartal III 2024, Ini Penopangnya

Jakarta – PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel pada hari ini (22/11)… Read More

14 hours ago

NPI Kuartal III 2024 Surplus, Airlangga: Sinyal Stabilitas Ketahanan Eksternal Terjaga

Jakarta - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2024 mencatatkan surplus sebesar USD5,9 miliar, di… Read More

14 hours ago

Insiden Polisi Tembak Polisi, Ini Penjelasan Kapolda Sumbar

Jakarta - Kapolda Sumbar Irjen. Pol. Suharyono menjelaskan kronologis polisi tembak polisi yang melibatkan bawahannya,… Read More

15 hours ago

Wamen ESDM Dukung Adopsi Electrifying Lifestyle di Masyarakat

Jakarta – Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung mendukung langkah PLN… Read More

16 hours ago