Expertise

Memahami Pelonggaran Kebijakan Moneter The Fed

Oleh Ryan Kiryanto, Ekonom Senior dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia

MOMEN presentasi tiga makalah inti pada konferensi musim gugur Brookings Papers on Economic Activity (BPEA) di Amerika Serikat (AS), belum lama ini (25/9/2024), memunculkan dua pertanyaan besar. Satu, apakah kerangka kebijakan moneter bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), telah berkontribusi nyata pada respons yang tertunda terhadap lonjakan inflasi yang drastis pada 2021 dan 2022 lalu? Dua, apakah akan ada perubahan signifikan pada arah kebijakan moneter The Fed untuk 2025 nanti?

Kerangka kerja The Fed saat ini, yang diperkenalkan pada Agustus 2020 silam ketika pandemi COVID-19 melanda seluruh dunia, tumbuh dari pengalaman The Fed selama dan setelah krisis keuangan dan resesi global periode 2007-2009. Pada periode tersebut, angka pengangguran tinggi di tengah penurunan inflasi berkelanjutan hingga di bawah target 2%.

Sikap The Fed saat itu adalah melonggarkan kebijakan moneter melalui penurunan suku bunga jangka pendek menjadi tepat di atas 0% untuk merangsang ekonomi. Namun, upaya The Fed tersebut terhambat oleh ketidakmampuannya mendorong suku bunga jangka pendek jauh lebih rendah sebagaimana diekspektasikan kalangan pebisnis.

Oleh undang-undang, The Fed diwajibkan mempromosikan lapangan kerja maksimum dan stabilitas harga sebagai mandat gandanya. Stabilitas harga dicerminkan dengan level inflasi sesuai dengan target 2% pada 2012 sehingga membuka peluang ekspansi bisnis untuk menyerap tenaga kerja.

Kerangka kerja The Fed pada 2020, dikenal sebagai penargetan inflasi tahunan rata-rata sebesar 2%, terus diupayakan seraya menjaga denyut perekonomian. Mandat ganda The Fed tersebut – melandaikan inflasi ke target 2% dan mendorong perekonomian tumbuh optimal untuk membuka lapangan kerja sebesar-besarnya – menjadi parameter keberhasilan The Fed.

Pada kenyataannya, tidak mudah bagi The Fed mampu mencapai mandat gandanya tersebut karena lingkungan ekonomi global berubah sedemikian dinamis. Lingkungan ekonomi global yang dimaksud antara lain pengaruh pandemi COVID-19, perang di Ukraina dan Timur Tengah, fragmentasi ekonomi antarnegara, dan kegentingan geopolitik di kawasan lainnya.

Secara historis, kerangka kerja 2020 oleh The Fed juga memperkuat interpretasi kerangka kerja 2012 terkait mandat dari sisi ketenagakerjaan. Stance kebijakan moneter The Fed harus responsif dan antisipatif untuk menggairahkan optimisme di kalangan pelaku bisnis sehingga membuka lapangan kerja lebih luas.

Baca juga: UOB Prediksi The Fed Pangkas Suku Bunga jadi 3,25 Persen hingga 2026

Kerangka Kerja Baru

Pada September 2020 lalu, panduan ke depan yang menerapkan kerangka kerja baru dirilis oleh The Fed untuk melangkah lebih jauh. The Fed memperkirakan akan tepat untuk menjaga target suku bunga jangka pendek (suku bunga dana federal) mendekati 0% sampai tujuan ketenagakerjaan (serapan tenaga kerja) dan stabilitas harga (target inflasi) terpenuhi.

Di awal pandemi COVID-19, mandat ganda The Fed bekerja selaras. Laju inflasi 12 bulan, diukur dengan indeks harga Pengeluaran Konsumsi Pribadi, turun menjadi hanya 0,4% pada musim semi 2020. Di lain sisi, tingkat pengangguran melonjak menjadi 14,8%.

Namun, pada pertengahan musim gugur 2021, inflasi telah naik cepat di atas 5%, meskipun The Fed berdalih kenaikan tersebut sebagian besar mencerminkan “faktor sementara” dari dampak pandemi COVID-19. Sementara itu, pengangguran telah turun di bawah 5%, mendekati perkiraan sebagian besar ekonom tentang pekerjaan maksimum.

Inflasi terus bergerak naik, sebaliknya angka pengangguran terus bergerak turun pada 2022. Namun, sesuai dengan panduan September 2020, The Fed tidak menaikkan kisaran target suku bunga 0% sampai dengan 0,25% hingga Maret 2022, dengan inflasi tinggi sebesar 6,9% dan angka pengangguran 3,7%.

Setelah Maret 2022, The Fed menaikkan suku bunga acuan secara agresif, dengan kisaran target memuncak pada level tertinggi dua dekade di 5,25%-5,50% pada Juli 2023. Inflasi yang tadinya melonjak hingga ke 7,1% pada Juni 2022, untuk selanjutnya turun ke 2,2% pada Agustus 2024 setelah The Fed secara agresif menaikkan suku bunga acuan. Ini dikenal sebagai kebijakan longgar (dovish policy).

Pandangan The Fed mulai bergeser ke arah pelonggaran ketika terpantau angka pengangguran merangkak naik dari level terendah dalam 54 tahun terakhir ke level 3,4% pada Januari 2023 dan terus mendaki hingga mencapai 4,2% pada Agustus 2024. Itulah yang mendorong The Fed pada pertemuan pengambil kebijakan moneter September lalu mulai bergerak cepat memangkas suku bunga acuan secara agresif sebesar 0,50% menjadi 4,75%-5,00%.

Tak hanya sampai di situ. Kini berkembang analisis kuat bahwa The Fed masih akan melanjutkan pemangkasan suku bunga acuan – meskipun tidak seagresif pada September lalu – masing-masing sebesar 0,25% pada pertemuan November dan Desember nanti.

Tantangan Kerangka Kebijakan The Fed

Makalah pertama dari tiga makalah yang disajikan pada 26 September lalu, yaitu “Tantangan Seputar Kerangka Kebijakan Moneter The Fed dan Implementasinya”, menyimpulkan bahwa perubahan 2020 dinilai “terlalu fokus pada pengalaman setelah krisis keuangan dan karenanya tidak kuat dalam menghadapi perubahan tak terduga dalam perekonomian”.

Muncul rekomendasi baru bahwa The Fed seharusnya menyiapkan kerangka kebijakan yang lebih luas sesuai dengan dinamika perkembangan ekonomi dan non-ekonomi yang melingkupinya. Dengan pendekatan baru ini, The Fed dinilai lebih akomodatif dan adaptif dalam menyikapi perubahan global dengan segera.

Isu sentralnya adalah bagaimana The Fed mampu menetapkan suku bunga acuan yang tepat takaran dan tepat waktu sehingga efektif dalam mengelola inflasi target dengan tetap menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.

Tak kalah pentingnya komunikasi yang efektif harus dikerjakan oleh para pengambil kebijakan The Fed agar bisa dipahami dan diterima oleh seluruh pemangku kepentingannya. Narasi yang cenderung multitafsir melalui penggunaan diksi-diksi yang simbolis harus dihindari mengingat daya tangkap pemangku kepentingan yang beragam sehingga tidak menciptakan distorsi di pasar keuangan.

Pada pengambilan keputusan The Fed terakhir, September lalu, secara cukup jelas Jerome Powell, Ketua The Fed, memberikan petunjuk bahwa sudah saatnya The Fed melakukan tindakan benar dan tepat dengan pertimbangan utama angka pengangguran terus melonjak mencapai 4,3% (Juli 2024) dan 4,2% (Agustus 2024).

Sinyalemen Powell tersebut juga di-amplify oleh sesama koleganya di The Fed negara-negara bagian serta pengambil kebijakan di pemerintahan AS, termasuk Janet Yellen selaku Menteri Keuangan AS, bahwa sudah dekat waktunya untuk The Fed mulai memangkas suku bunga acuan. Maka, ketika The Fed merealisasikan sinyalemen penurunan suku bunga acuannya, tidak terjadi guncangan di pasar keuangan global karena semua pertanda sudah di-price in oleh pelaku pasar.

Sikap hati-hati The Fed dalam memangkas suku bunga acuan perdananya pada September lalu memberikan penerangan kepada publik bahwa pergerakan angka inflasi dan pengangguran menjadi dasar pertimbangan prioritas The Fed yang mengerucut pada tujuan strategis lainnya, yakni memacu kembali roda perekonomian AS yang terindikasi berbalik arah menuju ke pelemahan yang ditandai oleh lonjakan angka pengangguran secara ekstrem.

Langkah The Fed dinilai tepat waktu dan tepat takaran, mengingat laju pengangguran AS diperkirakan meningkat menjadi 4,4% pada akhir 2024, sementara perubahan bulanan bersih dalam pekerjaan nonfarm payroll diperkirakan rata-rata menjadi 129.000 pada sisa 2024 ini.

Baca juga: Penurunan Suku Bunga Diprediksi Berdampak Positif bagi KPR

Catatan Penutup

Langkah penurunan suku bunga acuan The Fed bisa menjadi pertanda baik untuk soft landing ekonomi AS lantaran mampu memberikan ruang pertumbuhan pendapatan bagi dunia korporasi. Perbaikan fundamental korporasi akan menggairahkan pasar modal dan pasar keuangan AS sehingga memberikan optimisme bagi perekonomian di kawasan lain, utamanya Uni Eropa dan Amerika Latin.

Ketika The Fed memangkas suku bunga acuan sebesar 50 basis points (bps) pada pertemuan September lalu, hal itu dinilai sebagai permulaan siklus pemotongan suku bunga acuan The Fed yang diperkirakan akan menjadi tambahan referensi bagi bank-bank sentral negara lain untuk mengikutinya.

Namun demikian, keputusan Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) dan Bank Sentral Inggris (Bank of England/BoE) untuk mendahului langkah The Fed dalam menurunkan suku bunga acuan mereka, hal itu memberikan kesimpulan baru bahwa tidak selalu dan selamanya langkah bank-bank sentral berbagai negara di dunia mengikuti langkah The Fed.

Contohnya Bank Sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) yang resmi mengakhiri kebijakan suku bunga negatif dan berbagai kebijakan tidak biasanya pada Maret lalu (18/3). Kebijakan suku bunga acuan negatif sudah terlaksana selama delapan tahun terakhir. Perubahan itu dinilai bersejarah karena BoJ selama satu dekade terakhir fokus meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui stimulus moneter besar-besaran.

Keputusan tersebut membuat BoJ menjadi bank sentral terakhir di dunia yang menerapkan kebijakan suku bunga negatif. Hal ini menandai berakhirnya era metode mendorong pertumbuhan ekonomi lewat uang murah dan alat moneter nonkonvensional. BoJ mengambil langkah pertama dan tentatif menuju normalisasi kebijakan. Penghapusan suku bunga acuan negatif menandakan keyakinan BoJ bahwa Jepang telah keluar dari cengkeraman deflasi bertahun-tahun.

Dalam keputusan yang sudah diperkirakan pelaku pasar, BoJ membatalkan kebijakan penerapan biaya 0,1% kepada sejumlah lembaga keuangan yang memiliki kelebihan cadangan uang yang ditempatkan di BoJ. Kebijakan itu sudah diterapkan sejak 2016. Sebagai gantinya, BoJ menerapkan suku bunga overnight call sebagai kebijakan suku bunga terbaru. BoJ juga meninggalkan kebijakan pengendalian kurva imbal hasil atau yield curve control (YCC) yang sudah diterapkan sejak 2016. YCC membatasi suku bunga panjang berkisar di angka nol persen.

Namun, BoJ akan terus membeli obligasi pemerintah seperti yang sudah dilakukan sebelumnya dan akan meningkatkan jumlah pembelian jika imbal hasil meningkat dengan cepat. Di lain sisi, BoJ juga memutuskan untuk menghentikan pembelian aset berisiko seperti dana yang diperdagangkan di bursa (ETF) dan dana investasi real estat Jepang. BoJ mengambil langkah kontras dengan The Fed, yakni menaikkan suku bunga acuan dari sebelumnya minus 0,1% sejak delapan tahun terakhir menjadi 0,1% (Maret 2024) dan menjadi 0,25% (Juli 2024). Langkah ini ditempuh BoJ untuk menahan laju perekonomian yang pesat mengingat biaya pinjaman riil Jepang yang sangat rendah.

Galih Pratama

Recent Posts

Dukung Ekosistem Syariah, CIMB Niaga Kembali Gelar Haya Festival 2024

Jakarta - Unit Usaha Syariah (UUS) PT Bank CIMB Niaga Tbk (CIMB Niaga Syariah) kembali menyelenggarakan… Read More

2 hours ago

BCA Digital Belum Ingin Keluarkan Produk Paylater: Kami Fokus Bantu Kelola Keuangan

Jakarta - Produk buy now pay later (BNPL) atau paylater mulai digandrungi oleh pelaku industri… Read More

2 hours ago

Bos BRI Kasih Bocoran Laba Bersih Kuartal III 2024

Jakarta - PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) memproyeksikan laba bersih di kuartal III… Read More

2 hours ago

LPEI Dorong UMKM ‘Naik Kelas’ di TEI 2024, Berikut Daftarnya

Jakarta – Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) terus berupaya mendorong pelaku usaha untuk ‘naik kelas’ dan… Read More

2 hours ago

Lanjut Melemah, IHSG Ditutup Terkoreksi Sebanyak 0,74 Persen

Jakarta – Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada hari ini, Rabu, 9 Oktober 2024, ditutup… Read More

3 hours ago

HUT Pasar Modal, BEI dan IFA Gelar Workshop Keuangan Berkelanjutan

Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) pada hari ini, Rabu, 9 Oktober 2024, menyelenggarakan… Read More

3 hours ago