Categories: Market Update

Memahami Gejolak Pasar Saham China

oleh Hendrikus Passagi

PASCAKRISIS utang Yunani, pasar saham Indonesia kembali mengalami tekanan yang justru lebih berat pada akhir bulan Agustus 2015, menyusul rontoknya indeks pasar saham di China lebih dari 30%. Kejatuhan indeks dipicu oleh kebijakan devaluasi mata uang China, yang dalam sehari diperkirakan menimbulkan kerugian sekitar Rp30 triliun di bursa. Pada awal tahun 2016 ini, indeks pasar saham China lagi-lagi mengalami tekanan, menyusul pemberlakuan kebijakan penghentian perdagangan secara otomatis yang pertama kali diterapkan di bursa saham China. Penting untuk dipahami, mengapa otoritas China melakukan devaluasi mata uang dan memperlakukan sistem penghentian perdagangan secara otomatis yang justru menimbulkan gejolak di pasar keuangan global?

Gejolak pasar saham di China memang perlu diwaspadai namun tidak perlu disikapi secara berlebihan mengingat struktur mikro pasar saham, dan dasar kebijakan moneter Indonesia sangat berbeda dengan China. Selain itu, kesulitan masyarakat dalam membedakan potensi kerugian dengan kerugian yang benar-benar terjadi juga dapat semakin menimbulkan kepanikan. Gejolak atau denyut harga saham di bursa  menandakan bahwa pasar saham sedang berfungsi dan hidup, identik dengan denyut nadi seorang pasien di ruang unit gawat darurat yang memberi sinyal bahwa masih ada kehidupan.

Struktur mikro pasar saham Indonesia didominasi sekitar 60% oleh investor asing dan total jumlah rekening, termasuk investor domestik, masih kurang dari 500 ribu rekening. Demikian pula, jenis saham yang diperdagangkan relatif tidak beragam, hanya terdiri dari saham konvensional dan saham islamic.

Hal ini berbeda dengan struktur mikro pasar saham China, yang menurut hasil salah satu survei, didominasi oleh investor domestik ritel dengan jumlah lebih dari 200 juta rekening. Secara rata-rata, investor ritel menguasai perdagangan harian sekitar 85%. Banyaknya investor ritel yang berpartisipasi di bursa membuat proses pembentukan harga saham tidak lagi memperhatikan fundamental perusahaan, namun lebih banyak mengacu pada momentum pasar  yang antara lain  dapat dipicu oleh suatu kebijakan. Hal ini tentu mirip dengan aktifitas judi di bursa yang dapat lebih berbahaya dari pada permainan judi di mesin casino yang sangat sulit dimanipulasi.

Jika kerugian yang disebutkan sekitar Rp30 triliun perhari dibagi dengan sekitar 200 juta investor ritel, maka secara rata-rata jumlah kerugian hanya sekitar Rp150 ribu. Jumlah kerugian ini relatif kecil bagi setiap investor ritel, sehingga aktifitas perdagangan tetap berlangsung dan tidak mengherankan jika volatilitas atau gejolak indeks saham relatif tinggi dan dapat mencapai rata-rata 18% pertahun. Ditambah lagi, sebagian dari 200 juta rekening tersebut merupakan investor yang tidak lulus SD yang menggunakan dana pinjaman dari bank untuk bermain di pasar saham yang dianggap sebagai  mesin judi casino.

Peran investor asing di negara ini sangat minimal dan hanya menguasai kurang dari 5% market caps. Selain itu,  hanya Qualified  Foreign Institution Investor (QFII) yang diperbolehkan berinvestasi di  Shanghai Stock exchange (SSE)  dan Shenzhen Stock Exchange (SZSE) oleh otoritas pasar modal China. Sampai dengan tahun 2013 terdapat sekitar 200 QFII. Jenis saham yang listed dan dapat diperdagangkan di kedua bursa ini juga sangat beragam (A, B, H, L, N, R, P, dan  S Shares).

Dominasi investor ritel dan peran investor asing yang minimal melalui QFII, serta banyaknya jenis saham yang diperdagangkan di bursa, memberi pengaruh tersendiri bagi pergerakan nilai indeks SSE dan SZCE. Banyak investor global yang mengalami kerugian besar umumnya memperdagangkan indeks saham China di luar negeri. Thus, aktifitas investor ritel domestik mengendalikan harga dan membuat investor global mengalami kerugian. Sebaliknya, di Indonesia, dalam banyak kesempatan, investor global mengendalikan harga saham dan investor domestik menjadi korban pergerakan harga.

Kebijakan otoritas China untuk memperlakukan sistem penghentian perdagangan secara otomatis di bursa, dalam rentang yang tipis, dimaksudkan untuk membatasi aktifitas bermotif judi dari para investor ritel. Kebijakan ini tentu semakin menimbulkan ketidakpastian bagi arah pergerakan indeks saham yang justeru telah menjadi komoditas perdagangan di kalangan investor global.

Selain struktur mikro pasar saham yang berbeda, dasar kebijakan moneter di China juga berbeda. Dalam periode 2001-2005, nilai tukar mata uang China berkhisar 8,27 CNY/USD dan pertumbuhan ekonomi di atas 11%. Namun setelah bank sentral melonggarkan kebijakan moneter, nilai tukar mata uang China justeru terus terapresiasi atau mengalami penguatan hingga mencapai 8,03 CNY/USD. Penguatan ini terus berlanjut ke level 6,84 CNY/USD pada tahun 2008 dan mencapai nilai terkuatnya di bulan Agustus 2015 pada level 6,20 CNY/USD. Mata uang China terhadap USD mengalami penguatan sekitar 25% sejak tahun 2005 dan 30% terhadap kelompok mata uang utama lainnya, dan ikut mendorong peningkatan indeks SSE dan SZCE secara signifikan.

Sisi negatif dari penguatan mata uang membuat harga produk China di luar negeri menjadi mahal, thus menurunkan daya saing ekspor, dan mengganggu pertumbuhan ekonomi dalam negeri.  Pertumbuhan ekonomi terus mengalami penurunan dan hanya mencapai sekitar 7% pada tahun 2015. Selain itu, indeks kinerja sektor manufaktur yang diukur dengan Purchasing Manager Index juga terus memburuk dan mencapai titik terendah di sekitar level 47 pada bulan Agustus 2015.

Jika eksportir menurunkan harga maka pemerintah China akan menghadapi isu “dumping” dari organisasi perdagangan dunia (WTO). Oleh sebab itu, menjadi logis jika China melakukan devaluasi mata uang untuk menjaga daya saing ekspor dan tidak tersandera isue dumping. Sejak China melakukan devaluasi pada 11 Agustus 2015, nilai tukar terus mengalami pelemahan dan menjadi 6,46 CNY/USD atau sudah melemah sekitar 4,45%.  Di awal tahun 2016 aksi devaluasi kembali dilakukan sehingga  nilai tukar menjadi 6,59 CNY/USD. Akumulasi pelemahan nilai tukar sejak pertama kali dilakukan devaluasi  sampai dengan Januari 2016 baru mencapai mencapai -6,15%.

Jika Pemerintah China diasumsikan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan daya saing ekspor, maka dapat diperkirakan bahwa investor global sudah mengantisipasi China akan melanjutkan program devaluasi nilai mata uang secara bertahap, paling tidak sampai mencapai level 8 CNY/USD. Ini menjadi kebijakan berkelanjutan dan bukan kebijakan “Flip Flop”.

Dampak dari gejolak pasar saham China yang didominasi investor ritel domestik sejauh ini tidak  mempengaruhi tingkat ketakutan investor global sebagaimana tercermin melalui indeks VIX dan juga tidak berdampak signifikan terhadap indeks NASDAQ yang antara menjadi acuan kinerja pasar saham global. Catatan histori, kedua indeks ini dalam banyak kesempatan menunjukkan pengaruhnya terhadap kinerja indeks pasar saham Indonesia, IHSG. Dalam jangka panjang, tekanan di pasar saham China diperkirakan tidak akan berpengaruh signifikan terhadap kinerja pasar saham di tanah air.

Dinamika pasar saham China pada saat ini memberi pelajaran yang bermanfaat bagi pelaku pasar dan otoritas di tanah air. Investor ritel yang pada awalnya diharapkan dapat memperkuat ketahanan pasar saham di dalam negeri, justeru dapat menjadi bagian dari masalah kerentanan. Demikian pula, kebijakan devaluasi dan penurunan tingkat bunga yang dilakukan otoritas terkait untuk memperbaiki daya saing ekspor, serta kebijakan untuk menjaga stabilitas di pasar saham, justru menimbulkan gejolak di bursa SSE dan SZCE.

Mengingat perbedaan struktur yang mendasar di antara kedua negara, maka otoritas di Indonesia sebaiknya tidak menerbitkan kebijakan khusus untuk mengantisipasi dampak dari gejolak pasar saham di China. Namun demikian, dalam jangka panjang, otoritas di tanah air perlu mempertimbangkan pengaturan mengenai Qualified  Foreign Institution Investor (QFII) sebagaimana terdapat di China. (*)

Penulis adalah Peneliti Eksekutif Senior, artikel merupakan pendapat pribadi dan bukan merupakan kebijakan Otoritas Jasa Keuangan

Paulus Yoga

Recent Posts

Gandeng BGN, ID FOOD Siap Dukung Program Makan Sehat Bergizi

Jakarta – Badan Gizi Nasional (BGN) menggandeng holding BUMN pangan ID FOOD dalam pelaksanaan program… Read More

3 hours ago

STAR Asset Management: Sektor Perbankan jadi Peluang Emas di Tengah Koreksi Pasar Saham

Jakarta – STAR Asset Management (STAR AM) mengajak investor memanfaatkan peluang saat ini untuk berinvestasi… Read More

4 hours ago

BNI Sumbang Rp77 Triliun ke Penerimaan Negara dalam 5 Tahun

Jakarta - PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI mencatatkan kontribusi terhadap penerimaan negara… Read More

13 hours ago

BI Gratiskan Biaya MDR QRIS untuk Transaksi hingga Rp500 Ribu, Ini Respons AstraPay

Jakarta - PT Astra Digital Arta (AstraPay) merespons kebijakan anyar Bank Indonesia (BI) terkait biaya Merchant Discount… Read More

14 hours ago

AstraPay Bidik 16,5 Juta Pengguna di 2025, Begini Strateginya

Jakarta - Aplikasi pembayaran digital dari grup Astra, PT Astra Digital Arta (AstraPay) membidik penambahan total pengguna… Read More

14 hours ago

Askrindo Dukung Gerakan Anak Sehat Indonesia di Labuan Bajo

Labuan Bajo – PT Askrindo sebagai anggota holding BUMN Asuransi, Penjaminan dan Investasi Indonesia Financial… Read More

14 hours ago