Melindungi Manusia dan Modal Sosial

Melindungi Manusia dan Modal Sosial

Oleh Gatot M. Trisnadi, Direktur Utama Asuransi BRI Life

PEMERINTAH Indonesia sedang bekerja keras mengatasi berbagai persoalan bangsa. Kemiskinan dan pengangguran adalah persoalan yang harus segera diselesaikan dalam jangka pendek. Sayangnya, tiba-tiba datang masalah baru yaitu munculnya pandemi Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 yang menimbulkan krisis kesehatan dan memicu krisis ekonomi jika pandemi ini tidak bisa diselesaikan dalam waktu tiga bulan.

Persoalan jangka pendek yang sangat mendesak untuk diselesaikan adalah bagaimana menyelamatkan kesehatan dan nyawa masyarakat. Sedangkan persoalan kemiskinan dan pengangguran yang menjadi agenda utama untuk diatasi, justru skalanya bisa membesar karena pandemi Corona telah melumpuhkan kegiatan ekonomi dan banyak masyarakat yang kehilangan pendapatan terutama para pekerja harian.

Jadi tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia ke depan tidaklah ringan, sekalipun Covid-19 pada akhirnya bisa diatasi. Covid-19 yang pada 11 Maret 2020 ditetapkan PBB sebagai pandemi menjadi persoalan global yang sangat berat dan tidak cukup diatasi oleh pemerintah saja tapi membutuhkan dukungan dari seluruh elemen bangsa.

Berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintah seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tidak akan efektif tanpa ada dukungan dan komitmen masyarakat untuk melaksanakanya.
Oleh sebab itu, dibutuhkan “vaksin kesadaran” dari semua pihak untuk mencegah dan mengendalikan penyebaran Covid-19.

Sebagian masyarakat Indonesia pun sudah memperlihatkan budaya bangsa yang dikenal dengan gotong royong, tepo seliro, serta hidup dalam kebersamaan. Di tengah-tengah kepanikan dan kesulitan, ada sisi terang muncul melalui kegiatan filantropi di kalangan masyarakat melalui sumbangan alat pelindung diri buat para tenaga medis hingga bantuan sembako kepada masyarakat yang lemah atau terimbas kebijakan social distancing.

Kepedulian masyarakat untuk membantu sesama muncul lebih cepat sebelum pemerintah membuat kebijakan PSBB dan mengeksekusi dana social safety net kepada kelompok masyarakat bawah.

Fenomena kepedulian ini merupakan modal sosial (social capital) seperti dikatakan oleh Francis Fukuyama, ilmuwan sosial dan politik dari Amerika Serikat. Modal sosial adalah salah satu modal investasi utama yang dimiliki bangsa Indonesia, melengkapi modal ekonomi dan modal manusia. Modal sosial yang ada di masyarakat adalah sesuatu yang intangible seperti adanya saling percaya, budaya gotong-royong, dan keinginan berpartisipasi. Sedangkan modal ekonomi meliputi modal alam dan pendanaan. Sementara modal manusia (human capital) meliputi kecerdasan, kesehatan, dan kerja keras.

Selama ini, kita lebih banyak memperhatikan modal ekonomi, yang bisa diartikan sebagai sumber daya alam (SDA) seperti air, energi, tanah, mineral, yang mengalami proses produksi, dan yang bersifat nonproduksi seperti infrastruktur dan aset keuangan yang dapat digunakan untuk memperoleh nilai lebih tinggi.

Sedangkan modal manusia yang menjadi faktor penentu keunggulan jangka panjang kurang begitu mendapatkan perhatian sebagaimana terlihat masih rendahnya tingkat pendidikan tinggi di Indonesia.

Demikian juga modal sosial yang sebetulnya menjadi bagian dan kekuatan bangsa ini pun tertinggal oleh program-program akselerasi pembangunan ekonomi yang diiringi oleh perubahan budaya modern yang menciptakan manusia “materialistis” dan “individualistis”.

Sikap materialistis membuat manusia hanya berorientasi kepada material sebagai obyek akhir perburuannya yang ditempuh dengan berbagai cara. Perburuan material melahirkan kompetisi antar manusia yang pada akhirnya menjadi makhluk yang individualistis, tidak peduli sesama, bahkan mudah mencurigai orang lain. Pada akhirnya, modal sosial pun tergerus. Sebab, modal sosial dalam prosesnya terdapat nilai-nilai yang khas yaitu trust, saling memberi dan menerima, toleransi, penghargaan, partisipasi, kerjasama dan proaktif, serta nilai-nilai positif yang membawa kebaikan bersama.

Kita memang patut belajar dari negara-negara yang SDA-nya terbatas justru berhasil menjadi negara maju karena mengandalkan manusia dan budaya unggul. Di negara-negara maju sistem pendidikannya sangat bagus sehingga mampu menghasilkan SDM berkualitas. Negara-negara maju, seperti negara-negara Eropa, Jepang, atau Singapura, sangat kentara bahwa kemajuan mereka disokong oleh kemajuannya di bidang pendidikan.

Sebaliknya, beberapa negara terbelakang di Asia Selatan atau Afrika juga dapat dilihat dari rendahnya kualitas pendidikan di sana. Pembangunan SDM sangat penting bagi Indonesia yang sedang menikmati bonus demografi sampai tahun 2045. Apabila hanya bergantung kepada sumber daya alam (SDA), yang pada saatnya akan habis setelah dieksplorasi terus-menerus, maka pembangunan ekonomi akan sulit dilaksanakan secara berkesinambungan.

Belum lagi dampak negatif terhadap lingkungan alam dan habisnya persediaan sumber daya mineral untuk memenuhi kebutuhan di masa datang. Makanya sudah tepat jika pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) pada periode kedua menempatkan pembanguan manusia sebagai agenda penting selain pembangunan infrastruktur. Dan alangkah lebih baik lagi jika komitmen membangun human capital bukan hanya menaikkan anggaran pendidikan, tapi juga bagaimana mengubah paradigma pendidikan untuk menghasilkan manusia-manusia unggul.

Dengan menempatkan pembangunan manusia sebagai agenda penting, maka diharapkan makin terbuka kesempatan masyarakat untuk mendapatkan jaminan maupun proteksi baik dari sisi pendidikan maupun kesehatan.

Dengan terciptanya manusia-manusia unggul sebagai buah dari pembangunan manusia maka Indonesia bisa memanfaatkan berbagai potensi ekonomi yang dimiliki. Apabila berbagai potensi ekonomi yang ada bisa direalisasikan menjadi hasil nyata yang bisa dinikmati oleh seluruh bangsa Indonesia maka kualitas hidup masyarakat Indonesia akan meningkat.

Melindungi modal sosial yang dimiliki bangsa ini juga penting. Sebab, keberhasilan maupun kegagalan pembangunan ekonomi di banyak negara sangat berkaitan kuat dengan akar budayanya. Ambil contoh Jepang yang bukan saja memiliki budaya unggul tapi juga mampu menjaga semangat bushido-nya.

Semangat bushido merupakan semangat kesatria untuk melindungi yang lemah, melindungi keluarga, masyarakat, dan kerajaan, yang didasari oleh nilai-nilai seperti keberanian, keadilan, kebaikan hati, kesopanan, kesungguhan hati, kehormatan, harga diri, loyalitas, dan pengendalian diri. Contoh lainnya adalah negara Singapura yang memiliki budaya kerja keras, tidak mengenal kata menyerah, menghargai waktu, berpikir sistematis, tidak suka berfoya-foya, dan melihat jauh ke depan.

Belajar dari contoh-contoh nyata tersebut, modal manusia dan modal sosial harus
menjadi kunci keberhasilan Indonesia dalam mewujudkan agenda-agenda pembangunan nasional untuk menjadi Indonesia sebagai negara maju dan masyarakatnya hidup sejahtera secara merata.

Terlebih lagi kondisi seperti sekarang dalam mengatasi kesulitan seperti pandemi Covid-19 di mana manusia menjadi kunci penting keberhasilan dalam melewati setiap krisis. Seperti disampaikan Michael Levitt peraih Nobel Kimia tahun 2013, bahwa pandemi Corona bukanlah akhir dari dunia. Yang dibutuhkan dalam menghadapi pandemi adalah manusia yang mampu mengendalikan kepanikan dan disiplin menjaga jarak sosial.

Daripada panik dan membuat reaksi berlebihan yang justru memicu krisis lain, lebih baik kita mematuhi kebijakan yang dibuat pemerintah dengan berdiam di rumah sambil belajar maupun beraktivitas produktif serta mengasah kepekaan sosial kita, memberi empati dan simpati kepada sesama di tengah wabah yang sedang melanda. (*)

Related Posts

News Update

Top News