Beberapa kalangan ada yang berkomentar pengguatan nilai tukar Rupiah belakangan disinyalir akibat sentimen positif dari upaya Pemerintah mengeluarkan paket kebijakan jilid III. Benarkah? Dwitya Putra
Jakarta–Laju Rupiah dalam beberapa hari terakhir bergerak menguat, bahkan sempat bergerak di Rp14.000 dari posisi sebelumnya Rp14.400 per Dolar AS.
Terakhir berdasarkan data Bloomberg pada pagi ini, rupiah dibuka menguat 61 poin ke posisi Rp14.180 dari posisi penutupan perdagangan kemarin Rp14.241 per Dolar AS.
Apakah ini menjadi salah satu tanda perekonomian dalam negeri mulai recovery atau hanya sesaat? Seiring langkah-langkah pemerintah yang gencar mengeluarkan paket kebijakan?
Beberapa kalangan sendiri ada yang berkomentar pengguatan nilai tukar Rupiah ini disinyalir akibat sentimen positif dari upaya Pemerintah yang kembali akan mendorong laju perekonomian dalam negri dengan mengeluarkan paket kebijakan jilid III.
Analis NH Korindo Securities Indonesia, Reza Priyambada salah satunya. Berdasarkan riset yang dipublikasikannya, Rabu, 7 Oktober 2015, mengungkapkan, beredarnya spekulasi akan lebih baiknya rilis Kebijakan Ekonomi Jilid III, karena lebih mengedepankan pada pembenahan kondisi makro ekonomi yang lebih konkret, disertai dengan bumbu optimisme dari Presiden Joko Widodo dalam meyakini pertumbuhan ekonomi dalam negeri pada semester II lebih baik dibanding semester I tahun 2015 membuat laju Rupiah dapat bertahan di zona hijaunya.
Selain itu sentimen dari komoditas yang masih bergerak positif mampu meredam potensi penguatan nilai tukar USD sehingga dapat dimanfaatkan oleh sejumlah mata uang Asia untuk dapat bergerak positif.
Ia mengatakan masih berlanjutnya penguatan pada Rupiah tentunya memberikan peluang kenaikan lanjutan.
“Diharapkan pula, sentimen internal cukup positif sehingga turut mendukung penguatan tersebut. Tetap harus dapat menyesuaikan dengan riil lapangan dan mencermati sentimen di pasar,” kata Reza.
Sementara Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih, menjelaskan penguatan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS karena sentimen eksternal.
Dimana data ketenagakerjaan Amerika Serikat tidak sesuai ekspektasi, sehingga menimbulkan pandangan bahwa The Fed tidak menaikkan suku bunganya.
“Penguatan rupiah yang terjadi semuanya karena eksternal, bukan internal. Paket kebijakan jilid III belum jelas seperti apa, dan investor enggak membeli kucing dalam karung, walaupun ada indikasi paket itu akan membantu daya beli,” kata Lana.
Menurutnya, investor pada saat ini berkeyakinan bahwa The Fed tidak akan secara agresif dalam menaikkan suku bunganya pada tahun ini.
Kenaikkan pada Oktober 2015 terlalu kecil kemungkinannya, sehingga akan terjadi pada Desember 2015.
“Risikonya sudah terukur, kalau naik Desember paling Kenaikkan sekitar 10 atau 15 basis poin. Ini hanya menjaga kredibilitas Bank Sentral AS karena awal tahun mereka bilang mau menaikkan suku bunga,” ujar Lana.
Yang pasti penguatan rupiah harus dimanfaatkan Bank Indonesia untuk melakukan intervensi di pasar valuta asing, agar laju rupiah semakin menguat dan tidak kembali ke jalur pelemahan. Apalagi sentimen saat ini sedang bagus juga. (*)
Jakarta – Super App terbaru dari PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI), yaitu BYOND by… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) melaporkan aliran modal asing keluar (capital outflow) dari Indonesia pada pekan kedua… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) melaporkan bahwa data perdagangan saham pada pekan 11… Read More
Jakarta – Kinerja PT Asuransi Allianz Life Syariah Indonesia atau Allianz Syariah tetap moncer di… Read More
Jakarta - PT BPR Syariah BDS berkomitmen untuk memberikan pelbagai dampak positif bagi nasabahnya di Yogyakarta dan… Read More
Denpasar--Infobank Digital kembali menggelar kegiatan literasi keuangan. Infobank Financial & Digital Literacy Road Show 2024… Read More