Analisis

Masa Sulit Belum Berakhir

Perbankan dan dunia usaha harus tetap menjaga kuda-kudanya cukup kuat. Masa sulit belum tentu berakhir pada 2017. Mampukah pelonggaran kebijakan moneter menggantikan ketatnya kebijakan fiskal untuk mendorong konsumsi masyarakat? Kredit perbankan belum bisa mengalir deras jika daya beli masyarakat masih lemas. Lalu, sampai kapan masa sulit berakhir dan siapa mampu bertahan di musim paceklik? Karnoto Mohamad

KALENDER 2017 bisa kembali menjadi tahun ujian bagi para bankir dan pelaku dunia usaha. Jika perlambatan ekonomi yang terjadi pada 2016 belum berada di titik terendah, 2017 akan menjadi periode yang sangat menegangkan. Perusahaan-perusahaan yang tiga tahun terakhir pertumbuhan bisnisnya melambat atau minus dan belum berhasil melakukan restrukturisasi pada 2016 bisa kehabisan stamina untuk memanfaatkan ruang yang sempit pada 2017. Sementara, untuk meraih titik balik (turn around) tahun depan tidaklah mudah karena secara makro-ekonomi Indonesia 2017 diprediksi tidak berbeda jauh dengan 2016.

Menurut kajian Biro Riset Infobank (birI), setidaknya ada dua faktor penyebab yang membuat kondisi ekonomi makro masih belum menunjukkan sinyal penguatan hingga tahun depan. Satu, ekonomi dunia masih tertekan oleh terus melambatnya perekonomian Tiongkok dan ekspektasi kenaikan harga komoditas primer menjadi tertahan. Bank Dunia (World Bank) memprediksi pertumbuhan ekonomi Tiongkok tahun ini jatuh ke 6,4% dan tahun depan hanya 6,1%. Harga sebagian besar komoditas primer diprediksi hanya naik tipis, bahkan harga batu bara akan menurun sampai dengan dua tahun ke depan.

Dua, membaiknya ekonomi Amerika Serikat (AS) di tengah lemahnya ekonomi global, terutama Tiongkok, membuat dilema. Keputusan The Federal Reserve (The Fed), bank sentral AS, untuk mengakhiri ketidakpastian dengan merealisasikan kenaikan suku bunga acuan tahun depan akan menjadi salah satu indikasi berkurangnya kecemasan akan risiko global dan sinyal penguatan ekonomi. Namun, sampai dengan September lalu, The Fed sudah enam kali menunda untuk menaikkan suku bunga acuan yang direncanakan dari tahun lalu dan ini seperti memelihara spekulasi dan ketidakpastian. Jika The Fed menaikkan suku bunga acuan, modal yang keluar dari AS selama kebijakan pelonggaran likuiditas ke banyak negara akan terbang kembali ke AS. Namun, itu bisa menghentikan ketidakpastian yang memukul perekonomian global, terutama negara-negara berkembang. The Fed memprediksi pertumbuhan ekonomi AS tahun ini hanya mencapai 1,8%, turun dari prediksi Juni sebesar 2%.

Ulasan lengkap Infobank terkait dengan outlook ekonomi tahun depan bisa dibaca di Infobank Edisi Oktober 2016, yang sudah terbit.

Paulus Yoga

Recent Posts

Jahja Setiaatmaja Pamit, Mulai 1 Juni, BCA Punya Presiden Direktur dan Komisaris Baru

Jakarta – Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmaja resmi berpamitan dari jabatannya. Hal… Read More

1 hour ago

Rasio Simpanan RI Masih Tertinggal, LPS Andalkan Peran BPR

Jakarta - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengapresiasi kinerja pelaku bank perekonomian rakyat (BPR) dalam meningkatkan… Read More

3 hours ago

Kredit Melambat, BI Proyeksi Pertumbuhan Kredit Menuju Batas Bawah 2025

Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat pertumbuhan kredit melambat. Pada Maret 2025 kredit perbankan tumbuh sebesar 9,16 persen… Read More

3 hours ago

Dampak Perang Tarif, BI Proyeksikan Pertumbuhan Ekonomi RI 2025 di Bawah 5 Persen

Jakarta – Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 akan sedikit berada di… Read More

4 hours ago

Hadir di PIK 2, Grand Mitra Tawarkan Supermarket Bahan Bangunan Modern

Jakarta - Industri retail bahan bangunan Indonesia kedatangan pemain anyar dengan diluncurkannya Grand Mitra, supermarket… Read More

4 hours ago

IHSG Ditutup Hijau ke Level 6.634, Nilai Transaksi Capai Rp13,65 Triliun

Jakarta – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada hari ini, Rabu, 23 April 2025 kembali… Read More

4 hours ago