Ekonomi dan Bisnis

Manajemen Pajak Bukan Hal Terlarang Asal Tak Langgar UU

Jakarta – Perencanaan pajak (Tax Planning) merupakan praktik yang lazim bagi Wajib Pajak (WP) untuk melakukan penghematan pajak. Ini salah satunya dapat dilakukan dengan memanfaatkan celah hukum. Selain celah hukum, baik perencanaan maupun manajemen pajak yang baik juga memberikan kesempatan dan opsi-opsi bagi WP dalam melakukan efisiensi pajak, baik dari biaya kepatuhan (administration cost), maupun utang pajak itu sendiri. 

Manajemen pajak kerap dilakukan dengan skema penghindaran pajak atau penggelapan pajak. Memahami konsep penghindaran pajak dan penggelapan pajak merupakan hal yang sangat penting. Terlebih lagi tidak mudah membedakan keduanya karena saling berkaitan erat. Meski dapat dibedakan, kedua praktik ini cenderung sulit terpisahkan, terutama karena dipengaruhi kompleksitas hukum di negara yang bersangkutan.

Pada prinsipnya, manajemen pajak bukan merupakan sesuatu yang keliru atau terlarang namun sebuah skema perencanaan pajak harus diuji apakah sesuai atau melanggar undang-undang. Akademisi Perpajakan Universitas Indonesia (UI) Wisamodro Jati menjelaskan, Tax Planning dan manajemen pajak memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mengefisiensi kewajiban perpajakan dengan seoptimal mungkin secara legal.

“Tax planning pada dasarnya merupakan bagian dari manajemen pajak. Manajemen pajak sendiri dapat dimotivasi dari beberapa hal, di antaranya peraturan perpajakan yang tidak jelas serta tarif pajak yang tinggi,” ujar Wisamodro Jati dalam pelatihan pajak bertema “Perencanaan Pajak: Tax Avoidance atau Tax Evasion?” yang digelar Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Kamis, 29 April 2021.

Ia mengungkapkan, sebelum omnibus law, masyarakat dikenakan pajak dua kali di level PT dan di level orang pribadi. Saat ini, PT dikenakan pada level 22%, CV dan firma juga dikenakan pada level 22%. Sedangkan jika menjalankan usaha sebagai orang pribadi bisa dikenakan level yang paling tinggi yaitu 30%. Maka dari itu, masyarakat bisa memilih mau memakai firma, CV, PT, atau bisa menggunakan dalam bentuk orang pribadi, dengan tarif yang berbeda.

Menurutnya, ada beberapa variabel dalam manajemen pajak. Pertama, tarif pajak. Ini dilakukan dengan mengurangi tarif pajak. Sebagai contoh, jika seseorang memiliki satu jenis usaha jasa konsultasi kemudian setelah berkembang kemudian membuka juga jasa training, lalu kedua jasa itu sangat berkembang dan jika dijumlahkan jasa ini melebihi pendapatan Rp4,8 miliar.

Pada kasus tersebut, bisa dilakukan reduksi tarif pajak yang berlaku dengan cara memecah unit usahanya, untuk yang jasa training dijalankan oleh firma A lalu untuk jasa konsultasi dijalankan oleh firma B. Hal ini dapat dilakukan untuk menjaga agar pendapatan tetap diangka Rp4,8 miliar sehingga mendapat tarif 0,5% karena masih termasuk dalam pendapatan UMKM. Ini tidak dapat dikatakan melakukan avoidance karena unit usahanya berbeda.

“Kedua, mengoptimalkan tax deduction dengan cara melakukan konversi dari non-deductible expense menjadi deductible expense. Misalnya sumbangan: merupakan non-deductible expense namun bisa menjadi deductible expense jika memberikan sumbangan ke lembaga yang tepat seperti lembaga pendidikan,” ucapnya.

Ketiga mengeksplor berbagai fasilitas pajak yang bisa digunakan. Salah satunya dengan manfaatkan tax holiday. Negara-negara lain seperti Jepang dan Korea yang masuk ke Indonesia dan melakukan investasi yang cukup besar terutama yang berkaitan dengan industri kendaraan dan selaras dengan proyek pemerintah. Dengan adanya investor dari luar, Indonesia membebaskan pajak nya tergantung dari besarnya investasi yang mereka tanamkan di Indonesia bisa maksimal hingga 20 tahun.

Keempat memaksimalkan pengecualian pajak. Saat ini yang baru keluar dalam omnibus law yaitu dividen yang dikecualikan dari pemajakan apabila dividen dari luar negeri tersebut diinvestasikan kembali di Indonesia. Hal ini dapat dimanfaatkan atau dimaksimalkan. Selain itu, dalam omnibus law sisa hasil usaha yayasan bisa tidak dikenakan pajak apabila ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan fasilitas dalam periode terntentu yaitu selama 4 tahun.

“Tambahan dalam ke empat variabel dalam manajemen pajak yaitu melakukan antisipasi koreksi pajak dengan cara melakukan rekonsiliasi pendapatan dilaporkan di SPT Badan/OP dan SPT PPN secara berkala. Lalu hal terakhir yaitu meminimalkan biaya pajak seperti menghindari keterlambatan pembayaran pajak dan pelaporan SPT,” tutupnya. (*)

Rezkiana Nisaputra

Recent Posts

Bos BRI Life Ungkap Strategi Capai Target Bisnis 2025

Jakarta - PT Asuransi BRI Life meyakini bisnis asuransi jiwa akan tetap tumbuh positif pada… Read More

4 hours ago

Donald Trump Isyaratkan Akhiri Konflik Gaza Sebelum Biden Lengser

Jakarta - Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, mengisyaratkan rencana untuk mengakhiri konflik yang berlangsung… Read More

18 hours ago

Allianz Catat Pertumbuhan GWP 10 Persen di November 2024, Segini Nilainya

Jakarta – PT Asuransi Allianz Utama Indonesia (Allianz Utama) mencatatkan pertumbuhan positif untuk Growth Written Premium atau GWP… Read More

19 hours ago

Stok Energi Primer Cukup, PLN Siap Pasok Listrik Andal Selama Nataru

Jakarta - PT PLN (Persero) memastikan keandalan pasokan listrik menjelang Natal 2024 dan Tahun Baru… Read More

19 hours ago

Kualitas Aset Membaik, KB Bank Targetkan Peningkatan NII hingga 2,3 Persen di 2025

Jakarta– KB Bank mulai mencetak kinerja positif dengan perbaikan kualitas aset dan ekspansi portofolio kredit… Read More

19 hours ago

Dirut Bank Mandiri: Indonesia Berperan Vital dalam Perubahan Iklim Global

Jakarta - Direktur Utama (Dirut) Bank Mandiri Darmawan Junaidi menilai, Indonesia memiliki kemampuan untuk mengurangi… Read More

20 hours ago