Headline

Little Merger BPD, Bertahan di Klasemen Bank Umum dengan Modal Rp3 Triliun

Oleh Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank

Bank umum akan menjadi bank kelas bank perkreditan rakyat (BPR). Itulah “fatwa” Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk bank yang modalnya cekak, kurang dari Rp3 triliun. Memang masih dua tahun lagi aturan itu diberlakukan, tapi kalau tidak disiapkan dengan baik dari sekarang, turun “klasemen” menjadi BPR bisa menjadi kenyataan. Tidak bisa mengeluarkan giro lagi seperti sebelumnya. Geraknya juga lebih terbatas.

Menurut data Biro Riset Infobank (birI), saat ini masih ada 59 bank yang belum memenuhi ketentuan modal minimum Rp3 triliun, dan hanya 12 bank yang memenuhi modal Rp1 triliun. Jika menggunakan pertumbuhan organik – asumsi growth 15% setiap tahunnya – maka diperkirakan ada sejumlah bank yang akan kehabisan tenaga mencapai modal Rp3 triliun.

Tidak mudah lagi, kehadiran BPD bagi daerah juga dinilai sebagai sumber pendapatan asli daerah yang relatif besar. Kehadiran BPD, meski kecil tapi masih menjadi sumber uang bagi pendapatan daerah. Kondisi ini berlawanan 180 derajat dengan kebutuhan modal BPD – yang seharusnya ditahan, tapi terpaksa dibagi untuk pendapatan daerah.

Lalu, sekarang, apa yang mesti dilakukan bagi BPD yang sulit menembus modal Rp3 triliun? Harus ada jalan tengah, dan jalan baik itu adalah melakukan merger atau penggabungan. Misalnya, untuk BPD yang modalnya masih di bawah Rp2 triliun – yang secara organik sulit menambah modal lewat laba ditahan, juga setoran modal.

Ada beberapa BPD yang kondisi modalnya masih jauh dari angka Rp3 triliun. Lihat di wilayah barat atau Sumatra. Ada tiga BPD yang modalnya “cekak”, yaitu Bank Lampung, Bank Jambi, dan Bank Bengkulu. Meski Bank Aceh Syariah modalnya kurang dari Rp3 triliun, tapi dengan organic growth dan tanpa membagi dividen, Bank Aceh Syariah akan dapat melampaui ketentuan itu, termasuk juga Bank Nagari.

Di wilayah tengah, atau di Kalimantan, ada dua BPD yang modalnya jauh dari Rp3 triliun, yaitu Bank Kalteng dan Bank Kalsel. Sementara, Bank Kaltimtara sudah aman, dan di lain pihak Bank Kalbar diperkirakan dapat memenuhi ketentuan modal tersebut.

Di wilayah timur sepertinya lebih banyak BPD yang ukurannya kecil. Hanya Bank Sulselbar dan Bank Papua yang relatif aman dari ketentuan modal. Simak data terakhir, ada Bank Sulteng, Bank Maluku Malut, Bank Sultra, Bank SulutGo, Bank NTT, dan Bank NTB Syariah.

Lalu, ke belahan barat, dalam hal ini Jawa bagian barat, ada Bank Banten dan BJB Syariah yang diperkirakan sulit melakukan setoran modal.

Untuk modal di bawah Rp1 triliun masih ada Bank Bengkulu. Bank BPD DIY secara organik akan mampu melewati modal minimum, karena dua tahun belakangan ini tumbuh pesat.

Jika pemegang saham – dalam hal ini pemda – tidak melakukan setoran modal, maka bank-bank itu akan turun kasta. Namun, ada pendapat, ada baiknya bank-bank yang kurang modalnya dikonsolidasikan. Misalnya, Bank Jambi, Bank Bengkulu, dan Bank Lampung dikonsolidasikan dengan Bank SumselBabel atau Bank Nagari. Konsep ini sama dengan yang dilakukan oleh bank syariah milik BUMN.

Untuk di Kalimantan, bisa saja Bank Kalsel merapat ke Bank Kaltimtara dan Bank Kalbar bisa bergabung dengan Bank Kalteng, atau Bank Kalteng dan Bank Kalsel dikonsolidasikan ke Bank Kaltimtara. Tergantung pilihan pemegang saham.

Sementara, di bagian timur banyak BPD yang dapat digabung. Bisa saja untuk BPD di kawasan Sulawesi dilakukan merger, misalnya Bank SulutGo, Bank Sulteng, dan Bank Sultra jadi satu plus Bank Maluku Malut. Namun, jika mau bergabung lebih dekat dengan Bank Sulselbar. Beranjak ke sebelah timur, Bank Papua bisa mengambil Bank NTT yang juga perlu tambahan modal. Bagaimana dengan Bank NTB Syariah, apakah bisa merger dengan Bank BJB Syariah dan Bank Aceh Syariah? Sulit.

Little merger antar-BPD ini hanya bisa dilakukan jika pemda dan Kementerian Dalam Negeri bergerak dan ada dorongan dari OJK. Komunikasi intensif perlu dilakukan. Untuk apa punya saham 100% tapi value-nya rendah. Lebih baik merger, yang akan bisa membuat BPD berkembang. Dengan cara ini pula, BPD juga akan terhindar dari intervensi kepala daerah, atau malah akan lebih pusing – karena bosnya bertambah.

Namun, jalan merger antar-BPD dan dicarikan bank yang lebih kuat akan lebih baik baik daripada turun kasta menjadi BPR. (*)

Paulus Yoga

Recent Posts

12,34 Juta Wajib Pajak Sudah Lapor SPT, DJP Targetkan 16,21 Juta

Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat hingga 1 April 2025 sebanyak 12,34 juta wajib… Read More

12 hours ago

Tanpa Kedip, PLN Amankan Kelistrikan Salat Idulfitri di Seluruh Indonesia

Jakarta - PT PLN (Persero) berhasil menyuplai pasokan listrik andal tanpa kedip selama pelaksanaan Salat… Read More

14 hours ago

Ray Sahetapy Meninggal Dunia, Menekraf Riefky Sampaikan Belasungkawa

Jakarta - Aktor kawakan Ray Sahetapy meninggal dunia pada Selasa malam, 1 April 2025, di… Read More

19 hours ago

Bank DKI Buka Layanan Terbatas Selama Libur Lebaran 2025, Berikut Jadwal dan Lokasinya

Jakarta - Bank DKI menerapkan operasional layanan terbatas pada momen cuti bersama dan libur Lebaran… Read More

1 day ago

BRI Catat Lonjakan Transaksi BRImo 34,57 Persen, Capai Rp5.596 Triliun

Jakarta - PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BRI) mencatat peningkatan signifikan dalam transaksi melalui… Read More

1 day ago

Kereta Whoosh Tetap Beroperasi Normal, 180 Ribu Tiket Ludes Terjual

Jakarta - Suasana di Stasiun Whoosh tetap ramai pada hari pertama Lebaran, Senin, 31 Maret… Read More

2 days ago