Karnoto Mohamad, Wakil Pemimpin Redaksi Infobank
NASIB Bank Banten masih mengambang. Kalaupun capital adequacy ratio (CAR) meningkat karena konversi AYDA oleh Bank Jawa Barat dan Banten (BJB), namun masalah likuiditas Bank Banten belum teratasi. Selama proses due diligence, Bank Banten sudah mendapatkan dana dari Bank BJB secara bertahap hingga Rp500 miliar untuk pengambilalihan aset kredit ASN dengan kolektabilitas lancar sebesar Rp850 miliar namun kuota pembayarannya sudah maksimal sehingga Bank Banten akan kesulitan likuiditas jika tidak ada jalan keluar lain. Apalagi, Bank Banten harus menyelesaikan transaksi Repo sebesar Rp220 miliar kepada Bank Indonesia pada pertengahan Agustus ini. Gubernur Banten Wahidin kabarnya sudah meminta manajemen untuk mencari injeksi likuiditas sebesar Rp1,5 triliun dalam waktu dekat.
Langkah penyelamatan dengan merencanakan merger dengan bank sehat seperti Bank BJB juga sepertinya sulit terwujud dengan cepat. Proses due diligence yang sudah dilakukan selama delapan minggu oleh lembaga independen terhadap Bank Banten kabarnya belum menghasilkan apa-apa. Data-data penting seperti portofolio kredit, segmentasi pembiayaan, dan kualitas kredit, sulit didapat. Jajaran direksi Bank Banten yang merupakan alumni Bank BJB tak serta merta memuluskan proses due dilligence.
Opsi merger didorong oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) setelah Pemrov Banten sebagai pemegang saham pengendali (PSP) melalui Banten Global Development (BGD) menyatakan menyerah April lalu. Sebagai pengawas, OJK lantas meminta pihak terdekat untuk menambah modal. Bank BJB-lah yang ketiban apes, karena didorong untuk menyelamatkan bank sakit yang bukan tugasnya. Apalagi Presiden Joko Widodo yang mendapatkan laporan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) mengenai kondisi perbankan nasional ikut memberi instruksi agar Bank BJB bisa menyelamatkan Bank Banten untuk kepentingan sistem keuangan yang sedang terganggu oleh pandemi COVID-10. Kebetulan, Bank BJB dan Bank Banten ada “hubungan darah” karena Pemrov Banten memiliki 5,29% saham Bank BJB. Dan sang Gubernur Jabar Ridwan Kamil adalah kepala daerah yang diusung partai politik satu koalisi dengan pemerintah sehingga tidak terhambat oleh perbedaan.
Namun, penggabungan yang masih dalam tahap rencana sulit terealisasi tanpa ada dukungan dari seluruh stakeholders terutama pemegang saham dan masyarakat. Ada dua penghalang terlaksananya “kawin paksa” BJB dan Bank Banten. Satu, masyarakat Jabar maupun Banten tidak merestui dilakukannya merger. Masyarakat Jabar menilai Bank Banten yang berkinerja tidak sehat dan penuh dengan masalah hukum akan merugikan Bank BJB. Sedangkan masyarakat Banten tidak ingin kehilangan bank daerahnya dan mendesak Pemrov Banten lebih baik menyehatkan banknya.
Dua, Bank Banten menyimpan persoalan hukum sejak dibeli Pemerintah Provinsi (Pemrov) Banten pada era Gubernur Rano Karno melalui BGD dengan merogoh kocek Rp950 miliar dari APBD pada 2016. Belakangan, Bareskrim POLRI memanggil manajemen Bank Banten atas aduan masyarakat terkait adanya kredit modal kerja sebesar Rp58 miliar kepada salah satu perusahaan yang menjadi mitra Bank Banten. Apakah tertutupnya manajemen Bank Banten terhadap proses uji tuntas oleh pihak independen yang diajukan Bank BJB disebabkan oleh banyaknya persoalan tata kelola yang melilit Bank Banten?
Jika itu benar, maka sama saja Bank Banten yang sudah lama tak sehat sedang memelihara penyakit dalamnya. Semangat kedaerahan yang menggebu untuk mempertahankan Bank Banten bisa ikut menjadi sarana untuk bisa menyembunyikan penyakit tersebut. Setelah diwarnai sejumlah aksi demontrasi yang menolak merger Bank Banten dengan Bank BJB, pada minggu keempat Juli lalu, DPRD Banten resmi menyetujui Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) usulan Gubernur Banten tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 5 Tahun 2013 tentang Penambahan Penyertaan Modal Daerah ke Dalam Modal Saham Perseroan Terbatas PT BGD untuk pembentukan Bank Pembangunan Daerah Banten. Terjadi sejumlah perubahan, salah satunya ketentuan yang menyebut modal dasar Rp1,3 triliun diubah menjadi sebesar Rp3,3 triliun. Sedangkan penambahan penyertaan modal daerah ke dalam pemegang saham BGD yang semua sebesar Rp905 miliar menjadi Rp1,55 triliun. Ketentuan yang semula menyebut seluruh penyertaan modal daerah ke dalam BGD sebesar Rp989 miliar kini diubah menjadi Rp2,2 triliun.
Namun, masalah likuiditas yang diderita Bank Banten harus diatasi dengan “obat kuat” tradisional yaitu injeksi dana segar dengan cepat. Lalu, apakah Bank Banten memenuhi kriteria untuk mendapatkan injeksi likuiditas dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang baru saja memiliki kewenangan itu? LPS menyatakan sejauh ini belum menerima surat permohonan penempatan dana untuk membantu likuiditas bank bermasalah. Lagi pula ada empat kriteria untuk mendapatkan injeksi likuiditas dari LPS. Satu, masalah likuiditas yang dinilai OJK tidak mampu diselesaikan oleh pemilik. Dua, bank dalam pengawasan intensif (BDPI) yang berpotensi menjadi bank dalam pengawasan khusus (BDPK) dan BDPK. Tiga, memiliki masalah likuiditas bukan karena fraud. Empat, tidak memenuhi syarat mengajukan pinjaman likuiditas jangka pandek dari bank sentral. Kalaupun ada, permohonan tersebut diajukan ke OJK dan OJK akan melakukan pemeriksaan serta uji kelayakan setelah itu memberi rekomendasi layak atau tidak.
Namun karena sudah lama diawasi secara intensif, OJK pastinya sudah paham betul seperti apa isi perut Bank Banten. Makanya ada tudingan bahwa opsi agar Bank BJB untuk menolong Bank Banten adalah cara untuk menyelamatkan wajah OJK supaya Bank Banten tidak menjadi bank gagal. Karena Bank BJB yang ketiban apes untuk menyelamatkan bank sakit yang bukan menjadi tugasnya, maka manajemen BJB harus menjaga kakinya supaya kuat untuk menolak jika ada intervensi yang mendesak mereka melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak patut dan tak sesuai good corporate governance (GCG) dalam proses penyelamatan Bank Banten.
Manajemen bekerja dengan mengutamakan kepentingan pemegang saham Bank BJB, terlebih lagi statusnya sebagai perusahaan publik. Jangan sampai kinerja dan nilai perusahaan anjlok gara-gara menyelamatkan bank yang bukan tugasnya. Tanggung jawab menyelamatkan Bank Banten adalah tanggung jawab pemegang saham pengendali. Kalau masalah solvabilitas dan likuiditas harus diinjeksi modal. Kalau masalahnya tata kelola maka direstrukturisasi manajemennya. Kalau Bank Banten yang bermasalah berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan maka OJK bersama anggota KSSK lain ikut bertanggung jawab namun jangan sampai mengorbankan hak publik, profesionalitas dan integritas bankir.
Sebab, Bank BJB adalah perusahaan terbuka yang perlu diperlakukan sebagaimana perusahaan publik di mana pemegang saham mayoritas maupun minoritas memiliki hak yang sama terhadap value of shares banknya. Keputusan bagaimana opsi Bank BJB membantu Bank Banten harus didasarkan kepada hasil due diligence yang dilakukan secara profesional, proper, dan transparan. Dan seperti kata seorang mantan direktur utama sebuah bank kepada penulis, OJK sebaiknya jangan suka memaksa bankir dengan janji memberi relaksasi namun tidak ada komitmen tertulis. Jangan sampai hanya mengutamakan laporan keuangan bank menjadi kelihatan bagus tapi membiarkan “sampah di bawah karpet” yang bisa kembali menjadi masalah di kemudian hari.(*)
Jakarta - UOB Indonesia memandang pentingnya literasi keuangan untuk membantu masyarakat memahami dan mengelola keuangan pribadi… Read More
Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan bahwa penghapusan utang kredit usaha mikro, kecil, dan… Read More
Tangerang - PT Terang Dunia Internusa Tbk, menyiapkan sejumlah strategi khusus menghadapi pelemahan daya beli… Read More
Jakarta - Kasus yang menimpa PT Investree Radhika Jaya atau Investree menyita perhatian masyarakat, dianggap… Read More
Jakarta - Istilah open banking mengacu kepada aksesibilitas data yang semakin terbuka, memungkinkan bank untuk… Read More
Jakarta - PT Bank Central Asia Tbk (BCA) menggelar Indonesia Knowledge Forum (IKF) 2024, di… Read More