Oleh Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Institute
PEMEGANG polis Jiwasraya sedikit bisa lega. Lebih jelas dan lebih pasti. Masalah pembayaran polis yang selama ini terkatung-katung setidaknya ada kepastian. Program restrukturisasi pembayaran polis kian jelas. Coba bandingkan dengan pemegang polis Bumiputera – yang masih tidak jelas. Juga, bandingkan dengan pemegang polis Wanaartha Life dan Kresna Life.
Pendek kata, pemegang polis Jiwasraya, meski dengan restrukturisasi, jauh lebih baik nasibnya. Atau, kalau mau bandingkan dengan pemegang unit link – yang longsor dari beberapa perusahaan asuransi terkenal pun – pemegang polis Jiwasraya masih lebih baik. Setidaknya ada kepastian dan tidak hilang duit yang tertanam. Hanya renegosiasi ulang dari benefit sebelumnya – yang tidak masuk akal jika dibandingkan dengan kewajaran.
Lazim adanya jika melakukan restrukturisasi dengan mengubah yang dijanjikan. Misalnya, jika di bank, jika ada kredit macet dan dilakukan restrukturisasi, ada model mengurangi bunga, memperpanjang tenor, stop angsuran pokok atau kombinasi ketiganya. Dan, sudah tentu dalam melakukan restrukturisasi dalam pembayaran polis pun demikian. Semua dilakukan dengan kesepakatan baru.
Asuransi Jiwasraya mengalami gagal bayar sejak 2019. Menurut data Infobank Institute, pada akhir 2018 modal Jiwasraya minus Rp30,3 triliun. Bengkak lagi menjadi minus Rp34,6 triliun dan terus kempis menjadi negatif Rp38,6 triliun di akhir tahun lalu. Negatif ekuitas Jiwasraya tak akan berhenti, karena pengakuan manfaat polis masa depan tidak diimbangi dengan ketersediaan admitted assets.
Nah, terkait masalah gagal bayar Jiwasraya dengan ekuitas yang negatif sampai dengan Rp38,6 triliun, ada tiga opsi yang bisa diambil. Satu, opsi bailout. Artinya, pemerintah akan mengucurkan dana jika masalah Jiwasraya dianggap memiliki dampak sistemik. Tapi, opsi bailout tidak diambil. Kabarnya belum ada aturan terkait dengan industri asuransi, baik dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
Dua, opsi likuidasi atau pembubaran perusahaan. Ini pun harus lewat OJK berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 40/2014 tentang Perasuransian. Apalagi, biaya likuidasi sangat mahal dan sulit terkontrol. Opsi likuidasi ini juga tidak diambil karena pertimbangan BUMN lain yang memiliki portofolio pensiun di Jiwasraya. BUMN-BUMN itu akan melakukan top up dan write off dana pensiun karyawannya. Dampak ekonomi, sosial, dan politiknya besar jika dilakukan likuidasi.
Tiga, opsi restrukturisasi, transfer, dan bail-in. Ketiga langkah itu dilakukan secara bersamaan. Dukungan dana dari pemegang saham Jiwasraya – yang pelaksanaannya dilakukan secara tidak langsung melalui PT Bahana Pembiayaan Usaha Indonesia (BPUI).
Dan, restrukturisasi setidaknya dilakukan dengan sebaik-baiknya untuk memastikan portofolio polis yang ditransfer dapat menciptakan sustainability untuk IFG Life. Pendeknya, nanti polis-polis yang sudah direstrukturisasi akan menjadi bagian IFG Life dan yang tidak mau dilakukan restrukturisasi akan tetap tinggal di Jiwasraya – yang nantinya hanya mengurusi polis-polis yang tidak mau direstrukturisasi.
Tujuh Langkah Taktis
Boleh jadi, restrukturisasi polis ini dilakukan dalam rangka penyehatan polis. Juga, menjaga kelangsungan IFG Life agar mampu memenuhi kewajiban polis di masa depan. Pertimbangannya, ketersediaan dana Penyertaan Modal Negara (PMN) dan penguatan permodalan.
Langkah restrukturisasi ini bukan tanpa landasan hukum. Ada landasan hukumnya, yakni Peraturan OJK No. 71/POJK/POJK 05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
Jelas diatur. Pasal 50 ayat 3 POJK itu menyebutkan, perusahaan asuransi dalam rangka penyehatan dapat melakukan restrukturisasi aset dan/atau liabilitas, penambahan modal, pinjaman subordinasi, serta peningkatan tarif premi. Juga, pengalihan sebagian atau seluruh portofolio pertanggungan, penggabungan usaha, dan/atau tindakan lain.
Sedangkan restrukturisasi liabilitas dapat dilakukan dengan menilai ulang; apakah utang yang ada dalam pembukuan ada kekeliruan dalam pencatatan. Segaris dengan itu, restrukturisasi aset dapat dilakukan dengan menilai ulang nilai aset, untuk mengoreksi pencatatan yang understated dan overstated.
Intinya, langkah itu untuk menghentikan kerugian yang makin besar. Penyehatan Jiwasraya dengan tujuan menghentikan kerugian di masa datang, tentu dalam batas-batas kewajaran hak dan kewajiban pemegang polis.
Untuk itu, langkah restrukturisasi, transfer, dan bail-in ini dengan tujuh langkah taktis. Menurut sumber Infobank, ketujuh langkah itu ialah, satu, Jiwasraya akan melaksanakan proses restrukturisasi dan penyesuaian nilai pelunasan (haircut) polis. Proses ini dilakukan agar Jiwasraya tidak mewariskan kerugian kepada IFG Life setelah transfer portofolio.
Dua, masalah pendanaan yang dibutuhkan dari PMN sebesar Rp20 triliun dan tambahan Rp2 triliun pada 2020 plus bunga surat utang yang akan dimintakan pada RAPBN mendatang (2022). Angka ini masih jauh dari kebutuhan Jiwasraya, maka dari itu ada program restrukturisasi. Hal ini wajar saja.
Tiga, untuk support solvabilitas IFG Life pada 2021, PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) Persero akan menerbitkan surat utang sebesar Rp2 triliun dengan tenor dua tahun. Tentu surat utang ini dapat dilunasi sebelum jatuh tempo.
Empat, BPUI atau IFG juga akan menggunakan dividen anak perusahaan minimal lima tahun ke depan untuk fundraising sebesar Rp4,7 triliun.
Lima, menggunakan dana PMN, surat utang (BPUI), dan fundraising lainnya di 2021, BPUI akan menyetor modal ke IFG Life. Besarnya tak tanggung-tanggung, Rp26,7 triliun. Boleh jadi IFG akan menjadi perusahaan asuransi terbesar di Indonesia.
Enam, baru dilakukan transfer polis dan aset dari Jiwasraya ke IFG Life. Tujuh, setelah transfer polis, Jiwasraya akan tetap beroperasi untuk menyelesaikan permasalahan aset non-clean & clear dan mengelola portofolio pemegang polis yang menolak pemindahan polis.
Selain itu – tentu negara juga akan menerima aset sitaan setelah keputusan (inkracht) – yang diestimasikan 2-3 tahun ke depan. Besarnya kecilnya aset yang disita tergantung kecepatan dan kecanggihan aparat untuk melakukannya.
Menurut website Jiwasraya, restrukturisasi yang ditawarkan laris manis. Per 23 April 2021, polis korporasi yang sudah ikut program restrukturisasi 80,1%. Ada 1.638 polis yang telah direstrukturisasi dari 2.044 jumlah polis korporasi.
Sedangkan polis ritel mencapai 74,8%. Ini dari 134.232 polis yang direstrukturisasi dari 179.253 jumlah polis ritel. Bisa jadi banyak polis ritel yang nilainya kecil-kecil. Bahkan, kabarnya ada polis senilai Rp18.000.
Nah, yang lebih menggembirakan polis bancassurance. Yang sudah ikut restrukturisasi 16.192 polis dari 17.459 polis. Boleh jadi, angka polis yang rela ikut program restrukturisasi akan terus bertambah, selain deadline proses restrukturisasi adalah 31 Mei 2021, program restrukturisasi ini berjalan baik.
Pindah ke “Rumah Baru” yang Lebih Baik
Namun ada saja yang tidak ikut restrukturisasi dan memilih jalur hukum. Hal ini juga patut dihormati. Pemegang polis Jiwasraya bebas memilih ikut restrukturisasi atau tidak. Pilihan tergantung pemegang polis. Kasus hukum yang muncul diperkirakan tidak akan mengganjal program restrukturisasi Jiwasraya – karena memang jumlahnya tidak besar.
Langkah yang diambil Kementerian BUMN dengan membentuk IFG Life dengan tujuh langkah taktis itu setidaknya perlu diapresiasi. Ada niat baik pemerintah membereskan masalah Jiwasraya. Negara telah melakukan bail-in, meski tidak seratus persen dari dari PNM. Pemerintah hanya memberikan sekitar 60 persen dari kebutuhan dana Jiwasraya. Untuk itu, karena restrukturisasi ada semacam burden sharing dengan pemegang polis yang yieldnya jauh di atas pasar asuransi yang wajar.
Selama ini penyehatan perusahaan asuransi senantiasa mengandung pilu bagi pemegang polis. Lihat yang terjadi pada pemegang polis Bumiputera, Kresna Life, Wanaartha, dan pembeli unit link dari beberapa perusahaan asuransi ternama — yang jeblok sekarang ini. Jauh sebelum itu ada Bakrie Life dan Asuransi Buana Putra – yang sempat direksinya dijemur di bawah sinar matahari oleh pemegang polis. Nasib pengembalian polis tidak jelas sampai sekarang. Nasib pemegang polis Jiwasraya masih jauh lebih baik dari pemegang polis yang disebutkan di atas.
Langkah restrukturisasi ini boleh jadi tidak dapat menyenangkan semua pemegang polis – karena tidak bisa mengembalikan dana pemegang polis 100 persen (sesuai yang dijanjikan). Akan tetapi, penyehatan asuransi Jiwasraya ini, menurut catatan Infobank, relatif yang terbaik selama ini. Kementerian BUMN telah mengirim sinyal bahwa negara ikut bertanggung jawab atas kasus Jiwasraya sebagai pemagang saham, sehingga dapat memulihkan kepercayaan masyarakat. Juga, tidak menimbulkan kegaduhan.
Setidaknya, ikut program restrukturisasi polis – ikut pindah ke “rumah baru” IFG Life – akan mendapat kepastian. Bisa jadi, jika tetap ngotot – yang maaf saja – belum tentu akan mendapatkan pengembalian jika tetap tinggal di “rumah lama” Jiwasraya. Tidak ada yang dilanggar oleh Jiwasraya, karena restrukturisasi ini sifatnya penawaran, dan yang ditawarkan Jiwasraya memberikan harapan cerah di “rumah baru” IFG Life.
Sejalan dengan itu, sudah waktunya membentuk lembaga penjamin polis. Dan, tentu syarat penting penjaminan polis ini adalah soal governance – yang maaf saja masih tiga tingkat di bawah perbankan. Jangan sampai, berdirinya lembaga penjamin polis ini banyak moral hazard terjadi. (*)
Jakarta - Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada perdagangan sesi I hari ini, Selasa, 5… Read More
Jakarta - Grup Modalku, sebagai platform pendanaan digital untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)… Read More
Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal III 2024 tumbuh… Read More
Jakarta – Pemilu Presiden Amerika Serikat (AS) memasuki hari terakhir kampanye. Dua kandidat, Donald Trump… Read More
Jakarta - Bank Pembangunan Daerah Nusa Tenggara Timur (Bank NTT) menyatakan ingin tetap menjadi bank… Read More
Jakarta – Pengangkatan Simon Aloysius Mantiri dan Mochamad Iriawan, yang lebih dikenal sebagai Iwan Bule,… Read More