Analisis

Lampu Kuning Defisit Anggaran

Pemerintah saat ini tengah mengajukan Rancangan Anggaran Pemerintah Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2017. Target pendapatan turun 2 persen dari Rp1.750 triliun pada APBN 2017 menjadi RP1.714 triliun pada APBN-P 2017. Ini disebabkan adanya penurunan target penerimaan pajak yang menyumbang 85 persen dari total penerimaan negara, dari Rp1.498 triliun menjadi Rp1.450 triliun.

Di sisi lain pagu belanja negara ditargetkan naik dari Rp2.080 triliun menjadi Rp2.111 triliun. Belanja subsidi meningkat paling tinggi yakni 14 persen, dari Rp160 triliun pada APBN 2017 menjadi Rp182 triliun pada RAPBN-P 2017. Adapun belanja kementerian dan lembaga meningkat dari Rp763 trilun menjadi Rp773 triliun. Sementara itu alokasi untuk Transfer Daerah dan Dana Desa turun dari Rp764 triliun menjadi Rp759 triliun pada periode yang sama.

Dengan demikian, defisit anggaran yang sebelumnya ditargetkan Rp330 triliun atau 2,41 persen terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) melonjak menjadi Rp397 triliun atau 2,92 persen terhadap PDB. Kondisi ini berdampak pada peningkatan pembiayaan anggaran melalui utang. Pembiayaan utang pada RAPBN-P 2017 dipatok Rp397 triliun, atau meningkat 20 persen dibandingkan RAPBN 2017 yang mencapai Rp330 triliun.

Berdasarkan kajian CORE Indonesia, kebijakan yang diambil pemerintah dalam mengelola anggaran pada RAPBN-P 2017 bukanlah tanpa konsekuensi. CORE Indonesia menggaris bawahi beberapa catatan yang perlu diperhatikan pemerintah dalam pengelolaan RAPBN-P 2017 tersebut. Pertama, kebijakan pemerintah untuk memperluas sumber penerimaan baru jangan sampai membuat daya beli masyarakat semakin tertekan.

Saat ini, konsumsi masyarakat yang menjadi penyumbang utama PDB mengalami perlambatan. Hal ini tercermin di antaranya dari melemahnya konsumsi produk-produk retail sejak tahun lalu hingga semester pertama tahun ini dan penjualan sepeda motor yang melemah 5 persen sepanjang Januari-Mei 2017 (yoy).

Salah satu kebijakan pemerintah yang sangat berpotensi untuk semakin menggerogoti daya beli masyarakat, khususnya golongan berpendapatan rendah, adalah pengenaan PPN 10 persen terhadap hasil panen tebu. Pasalnya, kondisi petani termasuk petani tebu, telah mengalami penurunan daya beli akibat pendapatan yang mereka terima terus menurun dibandingkan dengan pendapatan yang mereka terima. Hal ini terlihat dari Nilai Tukar Petani (NTP) tanaman perkebunan yang terus melemah dalam lima tahun terakhir. Pengenaan PPN 10 persen terhadap hasil panen tebu tentu akan membebani petani.

Pemerintah dapat fokus untuk meningkatkan pendapatan dari Wajib Pajak Badan dan Orang Pribadi yang saat ini telah terjaring pada Tax Amnesty. Termasuk memperkuat kapasitas Dirjen Pajak untuk meningkatkan penerimaan pajak dari Wajib Pajak yang selama ini belum tersentuh. Apalagi mengingat target penerimaan pajak dalam beberapa tahun terakhir terus mengalami penurunan

Kedua, pemerintah perlu lebih realistis dalam menetapkan asumsi-asumsi makro sehingga tidak menyebabkan deviasi yang terlalu jauh pada realisasi APBN. Sebagai contoh, penetapan harga minyak mentah yang diajukan Pemerintah pada APBN-P 2017 naik menjadi US$50 per barel dari APBN 2017 sebesar US$45 per barel. Pemerintah beralasan harga minyak mentah diperkirakan akan lebih baik tahun ini. Padahal tren harga minyak tahun ini diperkirakan akan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan proyeksi Pemerintah.

Komitmen pemangkasan produksi OPEC memang sempat meningkatkan harga minyak. Namun penurunan tersebut disertai dengan peningkatan produksi minyak shale Amerika Serikat termasuk Nigeria dan Libya. Dampaknya, oversupply produksi minyak mentah kembali menekan harga minyak mentah internasional. Dengan tertekannya harga minyak internasional maka target penerimaan pajak sektor Migas dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) akan meleset

Begitu pula berharap realisasi anggaran belanja tidak mencapai 100 persen dalam membahas pelebaran defisit, bukanlah sesuatu yang bijak. Dalam pengajuan RAPBN-P 2017 pemerintah meyakini defisit anggaran tidak akan menyentuh 2,92 persen terhadap PDB. Hal ini didasarkan pada keyakinan pemerintah bahwa realisasi belanja negara hanya akan berkisar di angka 96-97 persen, sehingga defisit hanya akan mencapai 2,67 persen terhadap PDB.

Tidak tercapainya realisasi anggaran akan berakibat pada munculnya sisa lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran (SiLPA). SiLPA menggambarkan anggaran yang tidak digunakan dalam APBN tahun sebelumnya. Sisa anggaran menjadi isu penting mengingat pembiayaan anggaran saat ini banyak dilakukan dengan menerbitkan surat utang, penerbitan surat utang mempunyai konsekuensi bertambahnya bunga utang.

Ketiga, pemerintah perlu selektif dalam melakukan pemangkasan anggaran dengan memprioritaskan anggaran yang tidak banyak berdampak langsung pada akselerasi pertumbuhan ekonomi. Keputusan Pemerintah untuk memotong anggaran Transfer Daerah dan Dana Desa pada RAPBN-2017 dari Rp764 triliun menjadi Rp759 akan berdampak secara langsung pada melemahnya kinerja ekonomi daerah yang mendapatkan potongan.

Di sisi lain, Pemerintah justru menaikkan anggaran cadangan pendidikan dalam bentuk Sovereign Wealth Fund sebesar Rp8 triliun yang efeknya lebih bersifat jangka panjang. Padahal dalam situasi perlambatan seperti saat ini, kebijakan ekspansi fiskal harus memprioritaskan pembiayaan yang berdampak langsung pada perekonomian sebagai counter-cyclical terhadap pelemahan pertumbuhan ekonomi.

Keempat, pemerintah harus menghentikan kecenderungan pembiayaan anggaran melalui utang yang terus meningkat dengan cepat dalam beberapa tahun terakhir, serta memperbaiki manajemen risiko utang. Pada APBN 2017 bunga utang yang ditanggung pemerintah mencapai Rp221 triliun, meningkat 21 persen dibanding pembayaran bunga utang pada APBN-P 2016 yang mencapai Rp182 triliun.

Dalam 3 tahun terakhir, rata-rata peningkatan pembayaran bunga utang per tahun mencapai 18 persen, jauh lebih tinggi dibanding periode 2009-2014 yang rata-rata per tahun meningkat 7 persen. Dengan semakin besarnya porsi pembiayaan melalui utang pada RAPBN-P 2017, pemerintah harus lebih mencermati risiko suku bunga. Meskipun surat utang indonesia telah mendapat label “investment grade” oleh beberapa lembaga credit rating, hal itu tidak menjamin surat utang Indonesia terbebas dari risiko pasar seperti potensi kenaikan suku bunga The Fed dan European Central Bank (ECB) yang mengakibatkan perebutan likuditas obligasi global semakin ketat.

Di samping itu, penerbitan surat utang negara (SUN) juga akan menimbulkan crowding out effect karena penerbitan SUN akan menyerap likuiditas di pasar keuangan, sehingga pasar obligasi akan kekurangan likuiditas akibat sepi peminat. Kondisi ini akan mendorong pihak swasta mencari alternatif pembiayaan lain seperti utang dari luar negeri. (*)

Rezkiana Nisaputra

Recent Posts

AstraPay Bidik 16,5 Juta Pengguna di 2025, Begini Strateginya

Jakarta - Aplikasi pembayaran digital dari grup Astra, PT Astra Digital Arta (AstraPay) membidik penambahan total pengguna… Read More

46 seconds ago

Askrindo Dukung Gerakan Anak Sehat Indonesia di Labuan Bajo

Labuan Bajo – PT Askrindo sebagai anggota holding BUMN Asuransi, Penjaminan dan Investasi Indonesia Financial… Read More

15 mins ago

Konsumsi Meningkat, Rata-Rata Orang Indonesia Habiskan Rp12,3 Juta di 2024

Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pengeluaran riil rata-rata per kapita masyarakat Indonesia sebesar Rp12,34 juta… Read More

3 hours ago

Laba Bank DBS Indonesia Turun 11,49 Persen jadi Rp1,29 Triliun di Triwulan III 2024

Jakarta - Bank DBS Indonesia mencatatkan penurunan laba di September 2024 (triwulan III 2024). Laba… Read More

4 hours ago

Resmi Diberhentikan dari Dirut Garuda, Irfan Setiaputra: Saya Terima dengan Profesional

Jakarta - Melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada Jumat, 15 November 2024,… Read More

5 hours ago

IHSG Ditutup Bertahan di Zona Merah 0,74 Persen ke Level 7.161

Jakarta – Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada hari ini, 15 November 2024, masih ditutup… Read More

5 hours ago