Seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) untuk para guru honorer masih menyisakan berbagai kisah. Setelah viral surat terbuka dari seorang pengawas ruang PPPK, kini muncul lagi sebuah kisah sejenis dengan judul “Sepatu untuk Pak Guru”. Putri Arini seorang penulis lepas yang juga guru mengutip curhatan salah seorang peserta seleksi PPPK yang mengisahkan hiruk pikuk seleksi PPPK. Ia pun menilai kebijakan Mas Menteri Nadiem Makarim adalah sebuah solusi terhadap kesejahteraan guru honorer yang sudah berpuluh tahun terbengkalai dan terlupakan.
Berikut adalah isi surat lengkap dari surat terbuka itu:
*Sepatu untuk Pak Guru*
“Tak adakah rasa ngilu di dalam dada Mas Menteri melihat sepatu tua yang lusuh ini? Memang benar sepatu tua ini terlihat bermerek, tetapi tahukah ini hanya sepatu loak apkiran. Tahukah Mas Menteri, Sepatu ini telah dipakai bertahun-tahun lamanya oleh si empunya. Seorang bapak dengan pakaian putih lusuh dan celana hitam yang warnanya sudah tak hitam lagi karena pudar. Mendekati usia senja masih setia mengajari anak-anak di pelosok negeri ini membaca dan mengeja.”
Itulah sederet kalimat dalam surat terbuka yang ditulis Novi Khassifa, seorang Pengawas ruang PPPK dengan berurai air mata kepada Mas Menteri Nadiem Makarim. Ia meminta Mas Menteri langsung mengangkat para guru honorer berusia di atas 35 tahun tanpa harus ikut tes.
Mungkin memang Mas Menteri sudah sangat tahu sepatu tua yang dipakai si empunya adalah apkiran. Mungkin pula mas Menteri sangat bisa merasakan betapa berkecamuk dan mindernya perasaan si bapak saat mengenakan pakaian putih dan celana hitam yang warnanya sudah memudar.
Namun, andaikan mau sedikit jujur, boleh jadi kita akan melihat dengan kacamata berbeda. Sepatu tua dan pakaian lusuh si bapak tua justru menjadi inspirasi bagi Mas Menteri mendorong seleksi PPPK para guru honorer. Bukan untuk apa-apa. Mas Menteri hanya mau lihat guru-guru honorer tersenyum, tak minder, atau terpaksa memakai barang apkiran karena kesejahteraan mereka sudah setara PNS. Itu saja.
Berbicara soal perjuangan, barangkali kita bisa berkaca dari kisah Chintya Kesuma Pratingkas, seorang guru honorer Wonogiri yang ikut tes PPPK saat kandungannya sedang kontraksi dan akhirnya melahirkan. Cerita serupa juga dialami seorang ibu hamil di Kuningan, Jawa Barat yang terpaksa tak merampungkan tesnya dan harus ikut di ujian susulan atau tahap 2 karena kontraksi dan harus masuk rumah sakit.
Tapi itulah hebatnya. Semua sudah dipersiapkan. Bak seorang peramal, Mas Menteri tampaknya sudah tahu, banyak bapak ibu guru yang akan gagal dengan berbagai alasan. Saat peserta gagal di tes pertama, masih ada tes kedua dan ketiga.
Jauh sebelum kisah sepatu, Mas Menteri kayaknya juga tahu kalau dengan gaji yang kurang dari 500 ribu sebulan, guru honorer bakal kelimpungan bila mereka harus bayar tes antigen yang tiba-tiba jadi syarat tes. Makanya, Mas Menteri meminta dukungan Pemda dan Kemenkes.
Satu yang Mas Menteri tidak tahu dan tidak bisa atur adalah siapa yang bakal lulus seleksi ini. Semua sudah disusun secara terbuka segamblang-gamblangnya. Yang pasti, Mas Menteri bermimpi suatu saat kisah sepatu apkiran dan pakaian lusuh guru honorer bisa dipupus. Meski kita tahu, kisah “Sepatu untuk Pak Guru” bernama seleksi PPPK ini pasti akan berliku.
Oleh Peserta PPPK
Terinspirasi dari kisah Sepatu Pak Guru
Jakarta – Super App terbaru dari PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI), yaitu BYOND by… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) melaporkan aliran modal asing keluar (capital outflow) dari Indonesia pada pekan kedua… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) melaporkan bahwa data perdagangan saham pada pekan 11… Read More
Jakarta – Kinerja PT Asuransi Allianz Life Syariah Indonesia atau Allianz Syariah tetap moncer di… Read More
Jakarta - PT BPR Syariah BDS berkomitmen untuk memberikan pelbagai dampak positif bagi nasabahnya di Yogyakarta dan… Read More
Denpasar--Infobank Digital kembali menggelar kegiatan literasi keuangan. Infobank Financial & Digital Literacy Road Show 2024… Read More