Ilustrasi: Defisit RAPBN 2026/istimewa
Jakarta – Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menilai kurangnya transparansi dalam pengelolaan APBN dapat berdampak serius terhadap perekonomian nasional. Investor, pelaku pasar, hingga lembaga keuangan internasional sangat bergantung pada data fiskal yang dipublikasikan pemerintah untuk menilai kondisi ekonomi suatu negara.
Seperti diketahui, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) hingga kini belum merilis data kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Januari 2025, yang seharusnya diumumkan pada akhir Februari lalu. Keterlambatan ini menimbulkan kekhawatiran terhadap kondisi keuangan negara.
Achmad menyebutkan jika laporan APBN Kita terus mengalami penundaan, kepercayaan terhadap kredibilitas fiskal Indonesia bisa terganggu. Pada akhirnya, hal ini dapat memicu berbagai dampak negatif bagi perekonomian.
“Salah satu dampak utama adalah meningkatnya volatilitas di pasar keuangan. Investor yang tidak mendapatkan kepastian mengenai kondisi fiskal negara cenderung bersikap lebih berhati-hati dalam menanamkan modalnya,” kata Achmad dalam keterangannya, Jumat, 7 Maret 2025.
Baca juga: Kemenkeu Sebut Anggaran Rp71 T untuk MBG Tak Bebani APBN, Ini Penjelasannya
Lebih lanjut, Achmad menjelaskan, ketidakpastian fiskal ini bisa memicu capital outflow atau keluarnya aliran modal asing, yang berpotensi melemahkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Dalam jangka panjang, pelemahan rupiah dapat meningkatkan biaya impor dan memperburuk defisit transaksi berjalan.
Selain itu, penundaan publikasi APBN Kita juga dapat memengaruhi pasar obligasi. Penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sangat bergantung pada persepsi investor terhadap stabilitas fiskal pemerintah.
“Jika investor mulai meragukan kemampuan pemerintah dalam mengelola APBN, permintaan terhadap obligasi pemerintah bisa menurun, yang pada akhirnya meningkatkan yield (imbal hasil) obligasi. Peningkatan yield ini berpotensi menambah beban utang pemerintah, terutama dalam membiayai defisit anggaran,” tandasnya.
Achmad menambahkan bahwa jika keterlambatan rilis APBN Kita disebabkan oleh memburuknya penerimaan negara, maka Indonesia mungkin menghadapi tantangan fiskal yang lebih serius dari yang diperkirakan.
Pada 2024, realisasi penerimaan negara mengalami tekanan akibat kebijakan fiskal ekspansif yang bertujuan menopang pertumbuhan ekonomi. Namun, dengan harga komoditas utama yang terus menurun, kebijakan ini bisa memperlebar defisit anggaran di luar target yang telah ditetapkan.
“Selain itu, belanja negara yang terus meningkat juga menjadi faktor yang perlu diperhitungkan,” paparnya.
Baca juga: Indef Soroti Masalah Fiskal yang Bikin Utang RI Makin Bengkak
Dengan pemilu yang baru saja berlangsung, tekanan politik untuk meningkatkan belanja sosial dan infrastruktur cukup besar. Jika penerimaan negara tidak tumbuh sesuai ekspektasi, defisit APBN bisa semakin melebar, yang pada akhirnya memaksa pemerintah untuk menambah utang atau mengurangi belanja produktif.
Ketidakpastian akibat keterlambatan publikasi APBN Kita menimbulkan sejumlah kekhawatiran, di antaranya:
“Jika pemerintah tidak segera merilis laporan APBN Kita, maka publik mungkin akan mulai mempertanyakan apakah ada sesuatu yang sedang disembunyikan,” pungkasAchmad. (*)
Editor: Yulian Saputra
Poin Penting Hashim Djojohadikusumo meraih penghargaan “Inspirational Figure in Environmental and Social Sustainability” berkat perannya… Read More
Poin Penting Mirae Asset merekomendasikan BBCA dan BMRI untuk 2026 karena kualitas aset, EPS yang… Read More
Poin Penting Indonesia menegaskan komitmen memimpin upaya global melawan perubahan iklim, seiring semakin destruktifnya dampak… Read More
Poin Penting OJK menerbitkan POJK 29/2025 untuk menyederhanakan perizinan pergadaian kabupaten/kota, meningkatkan kemudahan berusaha, dan… Read More
Poin Penting Sebanyak 40 perusahaan dan 10 tokoh menerima penghargaan Investing on Climate 2025 atas… Read More
Poin Penting IHSG ditutup melemah 0,09% ke level 8.632 pada 5 Desember 2025, meski beberapa… Read More