oleh Paul Sutaryono
Kinerja KUR telah memberikan warna tersendiri bagi penyaluran kredit perbankan nasional yang secara keseluruhan sedang loyo. Ternyata KUR telah memberikan kontribusi cukup besar pada pertumbuhan kredit.
SEKALIPUN pemerintah sudah menerbitkan selusin paket kebijakan ekonomi, pertumbuhan ekonomi hanya menyentuh 4,92% per kuartal/triwulan pertama 2016, cukup jauh di bawah target 5,3% pada akhir 2016. Pertumbuhan itu lebih rendah daripada pertumbuhan per triwulan keempat 2015 yang mencapai 5,04%, tapi angka itu lebih tinggi daripada pertumbuhan periode yang sama 2015 sebesar 4,73%.
Bagaimana menyuburkan pertumbuhan ekonomi nasional? Salah satu strategi yang dapat diambil ya melalui pemberdayaan Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Untuk itu, pemerintah kemudian memangkas target pertumbuhan ekonomi dari 5,3% menjadi 5,2%. Coba kita bandingkan pertumbuhan ekonomi dengan negara-negara di ASEAN. Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih di atas Malaysia 4,20%, Thailand 3,20%, Singapura 1,80%, tapi di bawah Filipina 6,90% dan Vietnam 5,46%.
Bandingkan pula dengan negara-negara BRICS: Brasil minus 5,90%, Rusia minus 1,20%, India 7,30%, Tiongkok 6,70%, dan Afrika Selatan 0,60%. Artinya, kita masih boleh bersyukur dapat menikmati pertumbuhan ekonomi 4,92% per triwulan pertama 2016. Namun, kita pun tidak boleh merasa puas dengan pertumbuhan ekonomi demikian. Bagaimana kiatnya? Dengan memberdayakan semua sumber daya yang ada.
Sebagai pengingat saja, paket kebijakan ekonomi tersebut bertujuan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi, investasi, dan persaingan usaha. Pertumbuhan ekonomi yang kurang bernas itu sudah barang tentu merupakan simbol bahwa paket kebijakan ekonomi itu belum berjalan optimal. Karena itu, pemerintah suka tak suka wajib merapatkan barisan koordinasi dan merajut sinkronisasi semua aturan di pemerintah pusat dan daerah yang belum seiring dan sejalan.
Pertumbuhan ekonomi yang lesu itu tercermin dari kinerja kredit perbankan yang belum tumbuh dengan subur. Menurut Statistik Perbankan Indonesia yang terbit medio Mei 2016, kredit hanya mengalami pertumbuhan 8,91% dari Rp3.532,74 triliun per Maret 2015 menjadi Rp3.847,48 triliun per Maret 2016. Namun, angka itu lebih tinggi daripada bulan sebelumnya Februari 2016 sebesar 8,42%. Harap dicatat bahwa penurunan pertumbuhan kredit itu sudah tercium mulai Desember 2015 sebesar 10,71% yang kemudian menurun menjadi 9,83% per Januari 2016.
Tidak seperti biasanya, dana pihak ketiga (DPK) pun tumbuh lebih rendah daripada kredit (6,46%), dari Rp4.033,54 triliun per Maret 2015 menjadi Rp4.294,18 triliun per Maret 2016. Namun, kalau dibandingkan dengan bulan sebelumnya (6,40%), pertumbuhan itu lebih subur. Sejatinya, penipisan DPK sudah muncul sejak Desember 2015 sebesar 7,47% yang lantas menurun menjadi 6,84% pada Januari 2016.
Akibatnya, rasio kredit terhadap dana yang dihimpun dari masyarakat (loan to deposit ratio atau LDR) menebal dari 87,58% per Maret 2015 menjadi 89,60% per Maret 2016. Angka itu masih berada di ambang batas LDR 78%-92% yang telah ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
KUR Memberi Kontribusi Kredit
Lebih dari itu, untuk mendongkrak peningkatan kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), pemerintah kembali membuka keran penyaluran KUR. Bahkan, pemerintah telah memangkas suku bunga KUR dari 22% menjadi 12% pada 2015 dan menjadi 9% pada 2016. Wow!
Pada 2007 pemerintah meluncurkan KUR dengan fasilitas penjaminan kredit dari pemerintah melalui PT Askrindo dan Perum Sarana Pengembangan Usaha pada 5 November 2007. Pemerintah telah menunjuk Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Syariah Mandiri (BSM), dan Bank Bukopin sebagai bank pelaksana.
Pada 2016 target pengucuran KUR bakal lebih tinggi Rp100 triliun daripada target Rp30 triliun pada 2015. Bagaimana kinerja KUR selama ini? Data menunjukkan bahwa penyaluran KUR mampu mencapai Rp46,73 triliun atau setara dengan 46,73% per 3 Juni 2016 dari target penyaluran Rp100 triliun. Hal itu menyiratkan harapan bahwa taget penyaluran sebesar itu bakal tersapu bersih pada akhir 2016.
Sebagai pemimpin pasar (market leader) UMKM, BRI mampu menyalurkan KUR hingga Rp35,07 triliun atau 51,95% dari target mereka yang mengalahkan enam bank nasional lainnya. Kinerja gemerincing itu dibayangi oleh Bank Mandiri dengan menyalurkan KUR Rp6,36 triliun atau 48,96% yang disusul oleh BNI Rp5,28 triliun atau 45,88%.
Kemudian, menyusul Bank NTT dengan penyaluran KUR Rp15,10 miliar atau 167,83% dari target dan Bank Sinarmas Rp12,59 miliar atau 0,48% serta Bank Kalbar Rp0,88 miliar atau 0,40%. Sayang seribu sayang, Maybank Indonesia (dahulu BII) belum menunjukkan data penyaluran KUR dengan target Rp38 miliar.
Penyaluran KUR periode 3 Juni 2016:
No Bank Realisasi (Rp miliar) Target 2016 (Rp miliar) Realisasi (%)
1 BRI 35.066,76 67.500,00 51,95
2 Bank Mandiri 6.364,50 13.000,00 48,96
3 BNI 5.276,60 11.500,00 45,88
4 Sinarmas 12,59 2.600,00 0,48
5 Maybank Indonesia – 38,00 –
6 BPD NTT 15,10 9,00 167,83
7 BPD Kalbar 0,88 220,00 0,40
Total 46,736,45 100.000,00 46,74
Sumber: Harian Kontan, 8 Juni 2016.
Boleh dikatakan bahwa kinerja KUR telah memberikan warna tersendiri bagi penyaluran kredit perbankan nasional yang secara keseluruhan sedang loyo. Kurang darah. Selain itu, ternyata KUR telah memberikan kontribusi cukup besar pada pertumbuhan kredit.
Pertama, harus diakui bahwa KUR telah memberikan insentif bagi pelaku UMKM. Karena memang lahirnya KUR bertujuan untuk meningkatkan akses pada sumber pembiayaan dengan memberikan penjaminan kredit bagi pelaku UMKM melalui KUR. Dengan bahasa lebih bening, KUR merupakan kredit atau pembiayaan yang diberikan kepada UMKM yang feasible tapi belum bankable.
Lebih lanjut, Bank Indonesia (BI) telah memberikan insentif kepada bank nasional untuk menggenjot LDR dari batas atas 92% menjadi 94% sejauh mampu menyalurkan kredit ke sektor UMKM minimal 5% pada 2015. Hal itu terkait dengan kewajiban bank nasional untuk mengucurkan kredit ke UMKM minimal 20% dari kredit produktif (modal kerja dan investasi) pada 2018. Target itu berjalan secara bertahap 2013-2018.
Selain itu, pemerintah bertekad agar KUR menjadi salah satu pilar kokoh dalam menyuburkan pertumbuhan ekonomi untuk mencapai target 5,3% pada 2016 yang kemudian dipangkas menjadi 5,2%. Ini tidak berlebihan mengingat UMKM telah membuktikan diri menjadi penopang ekonomi nasional ketika krisis melanda Indonesia pada 1997/1998.
Kedua, bahkan KUR dengan suku bunga 9% telah meningkatkan daya beli masyarakat, terutama menengah ke bawah yang sedang kembang kempis. Terlebih ketika nanti target suku bunga single digit alias di bawah 10% dapat tercapai pada akhir 2016.
Dengan bahasa lebih bening, suku bunga kredit akan makin terjangkau (affordable) sektor riil sehingga roda sektor riil akan kian kencang bergerak. Gerak sektor riil dan optimisme inilah yang sangat diharapkan dapat menyuburkan pertumbuhan ekonomi nasional.
Jangan lupa bahwa selama ini daya beli masyarakat kecil terpangkas habis sejak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Maka, masyarakat bawah terus menanti penurunan harga BBM bersubsidi, tarif listrik per Januari 2016, dan harga gas sebagai instrumen untuk mendorong daya beli.
Ketiga, bank pelaksana KUR wajib mengerek kualitas kredit. Sekalipun laman Komite KUR tidak memuat data kredit bermasalah (non performing loan atau NPL), kenaikan NPL tetap menjadi ancaman. Kok bisa? Sebab, kondisi ekonomi yang ”Senin Kamis” sudah tentu akan menjadi hambatan bagi pelaku usaha. Ujungnya, angsuran ke bank nasional kurang lancar sehingga mengangkat kenaikan NPL.
Makin tinggi NPL akan membuat makin tinggi cadangan kredit macet. Pada gilirannya, cadangan akan menggerus pendapatan yang akhirnya akan menekan laba tahunan. Rangkaian sebab akibat inilah yang wajib menjadi peringatan dini bagi bank nasional untuk mengerek kewaspadaan, meskipun dapat dipastikan NPL masih di bawah ambang batas 5%.
Ditambah lagi ketika nanti bank pelaksana menjalin kerja sama dengan bank perkreditan rakyat (BPR), baitul maal wa tamwil (BMT), koperasi atau lembaga keuangan mikro (LKM). Sungguh, kerja sama itu akan menggenjot penyaluran KUR dengan pesat. Indonesia memiliki ribuan koperasi dan ratusan LKM, tetapi sayang masih begitu banyak yang belum profesional. Padahal, peran mereka sangat sentral dan strategis dalam memperluas inklusi keuangan (financial inclusion).
Oleh sebab itu, bank pelaksana mau tak mau harus melipatgandakan penerapan manajemen risiko kredit. Hal itu dapat dijalankan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi dalam memantau potensi risiko NPL. Perlu diciptakan suatu aplikasi yang mampu mendeteksi potensi risiko kredit bermasalah setiap saat (online). Kalau hanya mengandalkan jumlah penagih di lapangan, itu justru akan menaikkan biaya operasional.
Keempat, rasanya pemerintah perlu mempertimbangkan kembali nama KUR yang menyandang kata rakyat sebab dapat diartikan lain. Pada umumnya, program pemerintah yang menggunakan kata rakyat atau masyarakat dianggap sebagai hak rakyat untuk memilikinya.
Dengan nama KUR, sebagian debitor yang rakyat kecil bisa saja menganggap bahwa itu hak mereka untuk menikmati kue KUR yang gurih itu. Konsekuensinya, debitor semacam itu kurang atau tak merasa mempunyai kewajiban untuk membayar kembali kredit itu. Akibatnya, NPL melambung tinggi. Karena itu, bank pelaksana harus mampu meyakinkan debitor bahwa KUR itu bukan program gratisan nasional. (*)
Penulis adalah pengamat perbankan
Jakarta - PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) resmi membuka penjualan tiket kereta cepat Whoosh… Read More
Jakarta - PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) terus berkomitmen mendukung pengembangan sektor pariwisata berkelanjutan… Read More
Tangerang - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) meluncurkan program… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat bahwa data perdagangan saham selama periode 16-20… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat di minggu ketiga Desember 2024, aliran modal asing keluar… Read More
Jakarta - PT Asuransi BRI Life meyakini bisnis asuransi jiwa akan tetap tumbuh positif pada… Read More