oleh Agung Galih Satwiko
DALAM wawancara dengan Bloomberg kemarin, CEO Blackrock Laurence D. Fink, yang mengelola dana sebesar USD4,7 triliun secara global, menyatakan bahwa kita semua sudah harus khawatir dengan meningkatnya utang di tengah pelambatan ekonomi China. Fink menyebutkan bahwa negara seperti China tidak seharusnya tumbuh dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 6% namun pertumbuhan neraca meningkat lebih cepat. Ke depan Blackrock ingin melihat China tumbuh 6% namun dengan pengurangan porsi utang yang signifikan (deleveraging).
Pendapat Fink tersebut sejalan dengan pendapat George Soros bulan lalu yang menyebutkan bahwa krisis utang di China kurang lebih menggambarkan kondisi AS sebelum krisis 2008. Hal yang sama juga disampaikan oleh Kyle Bass, pendiri Hayman Capital, hedge fund besar berbasis di Dallas AS. Bass menyebutkan bahwa perbankan China akan mengalami kerugian lebih dari empat kali lipat kerugian yang dialami perbankan AS saat krisis 2008 sebagai dampak krisis utang.
Bagaimana dimensi utang China? Bloomberg menyebutkan total utang China pada akhir tahun 2015 diperkirakan sebesar USD26 triliun, baik total utang publik maupun swasta. Sementara majalah the Economist memperkirakan total utang China akhir 2015 mencapai USD30 triliun atau 40% dari GDP seluruh negara di dunia. Meskipun terdapat perbedaan angka (karena China tidak merilis angka resmi total utang baik publik maupun swasta), namun baik Bloomberg maupun the Economist menekankan pada kecepatan pertambahan utang yang pada akhir tahun 2008 sekitar 164% terhadap GDP menjadi hampir 250% terhadap GDP pada akhir 2015.
Sejak 2008, Pemerintah China banyak memberikan stimulus yang didanai melalui utang. Pemerintah menyediakan kredit murah khususnya untuk sektor properti. Perusahaan-perusahaan memperoleh pinjaman dari perbankan dengan mudah. Pemerintah Pusat mendorong Pemerintah Daerah untuk membangun infrastruktur melalui utang agar pekerja tetap bekerja dan ekonomi berjalan. Sejak 2008, Pemerintah Daerah di China telah meminjam sebesar sekitar USD4 triliun, jumlah yang kurang lebih sama dengan GDP Jerman. Sebagian pinjaman dilakukan secara tidak prudent dan tenor pendek. Bank juga banyak melakukan praktik pencatatan off-balance sheet, bahkan penyamaran kredit dalam bentuk investasi untuk menghindari aturan perbankan. Praktik shadow banking dan penjaminan implisit juga berkembang signifikan dan tidak diatur dan diawasi dengan ketat.
Bertambahnya utang adalah hal yang wajar dan baik jika bermanfaat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun demikian kemampuan tambahan utang di China untuk menggerakkan perekonomian semakin lemah. Jika sebelum krisis 2008, China membutuhkan sekitar 1 Yuan tambahan kredit untuk menghasilkan tambahan output ekonomi sebesar 1 Yuan, kini China membutuhkan hampir 4 Yuan tambahan kredit untuk menghasilkan tambahan output ekonomi sebesar 1 Yuan.
Seiring dengan pertumbuhan utang yang jauh melampaui pertumbuhan GDP tersebut, permasalahan mulai muncul. Perusahaan-perusahaan kini kesulitan memperoleh permintaan akan barang yang diproduksinya karena menurunnya permintaan ekonomi global. Harga barang turun karena kapasitas dan produksi yang berlebih tidak diimbangi naiknya permintaan. Surplus produksi menghasilkan meningkatnya cadangan persediaan barang yang tentunya mahal. Perusahaan menjadi zombie companies. Di sektor properti, pembangunan perumahan, apartemen dan kondominium yang eksesif ditunjang oleh kemudahan kredit telah menciptakan kota hantu/ghost cities. Seluruh dampak negatif tersebut mulai dirasakan oleh perbankan dalam bentuk kredit macet.
NPL perbankan komersial di China dilaporkan di bawah 2%. Namun banyak pengamat meragukan angka tersebut. Sejalan dengan banyaknya kecurangan-kecurangan, manipulasi perbankan, dan tidak transparannya sektor perbankan China, sebagian pengamat bahkan memperkirakan NPL mencapai hampir 20%.
Pemerintah Beijing memang tidak berdiam diri dengan hal ini. Salah satu langkah yang dilakukan untuk menurunkan NPL perbankan ialah dengan membolehkan perbankan dan perusahaan melakukan debt-to-equity swap, yaitu pertukaran pinjaman/kredit menjadi kepemilikan bank pada perusahaan. Langkah ini memang akan menurunkan total utang China namun bukan tanpa risiko.
Debt-to-equity swap akan menurunkan utang perusahaan, namun di sisi lain akan meningkatkan risiko perbankan. Di China, bank harus menyisihkan hingga 100% modal untuk kredit yang diberikan tergantung pada kualitas kredit tersebut. Namun jika bank investasi dalam bentuk ekuitas, maka bank harus menyisihkan hingga 400% modal dari investasi tersebut. Jika utang dalam bentuk kredit tersebut tidak bernilai (karena macet) maka sudah dipastikan konversi ke ekuitas juga tidak bernilai sehingga harus dilakukan write-off dalam jumlah yang signifikan pada saat konversi.
Selain itu dengan konversi ke ekuitas maka bank tidak bisa lagi menjual kepemilikan tersebut kepada PBOC atau bank lain. Konversi utang ke ekuitas juga menciptakan moral hazard, karena secara esensi ini merupakan unlimited credit line bagi perusahaan karena adanya potensi dikonversi menjadi ekuitas di kemudian hari.
Perusahaan juga tidak akan menerapkan good corporate conduct dalam mengelola usahanya karena perusahaan yang seharusnya memikirkan bagaimana cara membayar bunga dan cicilan utang dengan melakukan efisiensi biaya dan inovasi produk, dikhawatirkan akan bertindak sebaliknya karena mengetahui akan dikonversinya utang perusahaan menjadi ekuitas.
Namun tidak semua pengamat berpendapat utang China sudah mencapai level krisis. Sebagian menyebutkan bahwa krisis utang China terlalu dibesar-besarkan. Perusahaan dan Pemerintah Daerah diperkirakan akan mampu keluar dari beban utang seiring dengan stabilnya pertumbuhan ekonomi ke depan dan terbentuknya inflasi. Hal ini akan mengurangi beban pembayaran utang ke depan. Besarnya dana pihak ketiga di perbankan China dan juga surplus neraca berjalan yang konsisten turut membantu menopang dan memberikan cushion atau bantalan atas tingginya utang China.
Di sisi yang lain pengamat yang berpendapat saat ini sudah terjadi krisis utang China menyebutkan bahwa permasalahan tersebut tidak akan terselesaikan dengan sendirinya. Melambatnya ekonomi dan turunnya inflasi mengancam kemampuan membayar utang. Dibutuhkan campur tangan Pemerintah Pusat secara massif untuk menyelesaikan tingginya utang tersebut. Pemerintah harus bisa mengendalikan NPL, melalui antara lain pemotongan tingkat bunga, mendorong penjualan aset perbankan, meregulasi dan mengawasi secara ketat shadow banking, dan mendorong perusahaan mengurangi ketergantungan melalui perbankan dengan meningkatkan pemodalan melalui pasar saham. (*)
Penulis adalah staf Wakil Ketua DK OJK. Artikel disarikan dari berbagai sumber
Jakarta - Terdakwa Harvey Moeis dinyatakan bersalah atas tindak pidana korupsi pada penyalahgunaan izin usaha… Read More
Jakarta - PT KAI (Persero) Daop 1 Jakarta terus meningkatkan kapasitas tempat duduk untuk Kereta… Read More
Jakarta – Starbucks, franchise kedai kopi asal Amerika Serikat (AS) tengah diterpa aksi pemogokan massal… Read More
Jakarta - Dalam rangka menyambut Natal 2024, Bank Mandiri menegaskan komitmennya untuk berbagi kebahagiaan melalui… Read More
Jakarta – Sejumlah bank di Indonesia melakukan penyesuaian jadwal operasional selama libur perayaan Natal dan… Read More
Jakarta - Masyarakat perlu bersiap menghadapi kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Salah… Read More