Oleh Ida Bagus Kade Perdana
DENGAN terjadinya krisis moneter (krismon) mata uang rupiah ambruk di bulan Juli 1998 menyentuh level sangat rendah sebesar Rp14.965,- per US$. Banyak para debitur utamanya konglomerat yang tidak mampu membayar kewajibannya kepada bank. Membuat bank dihadapkan pada kesulitan likuditas yang serius akibat dari kredit macet yang terus membengkak yang terjadi pada perbankan nasional sudah mencapai Rp10,2 triliun per April 1997. Tentu saja hal ini menimbulkan melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan membuat masyarakat semakin cemas, panik, khawatir atas keamanan uangnya yang disimpan di Bank takut raib atau hilang lenyap karena krismon.
Kekhawatiran, kecemasan dan kepanikan yang menghantui masyarakat sudah pasti semakin memerosotkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional. Pada akhirnya, memunculkan kekhawatiran yang paling ditakuti dan merupakan musuh perbankan berupa rush atau penarikan uang besar besaran di bank.
Maka terjadilah fenomena yang ditakuti dan musuh perbankan dikenal dengan rush di bank menjadi kenyataan yang tidak terhindarkan. Dengan terjadinya penarikan uang di bank secara besar besaran (bank run) kala itu hampir semua bank akhirnya mengalami kesulitas likuiditas menjadikan bank bank minus besar pada rasio kecukupan modalnya atau Capital Adequacy Ratio (CAR) melorot tajam tidak terelakkan, diawali dengan dilikuidasi dengan pencabutan izin usaha 16 bank pada tanggal 1 November 1997 yang diikuti dengan kebangkrutan bank-bank berikutnya yang tidak terhindarkan membuat sistem keuangan nasional juga ikut porak poranda akibat dari krisis perbankan nasional kita kala itu. Akibatnya booming perbankan nasional yang tidak diikuti dengan fungsi pengawasan yang kuat oleh otoritas moneter kala itu.
Apalagi juga tidak disertai dengan manajerial perbankan yang memadai cenderung mengabaikan prinsip the right man on the right place dan aman behind the gun maupun tidak menerapkan tata kelola yang baik (good corporate governance/GCG) serta tidak inpenden Bank Indonesia (BI) sebagai Bank Sentral Negara kita pada waktu itu. Membuat kondisi perbankan nasional rapuh dan rentan dengan gejolak nilai tukar diawal bulan Juli 1997 terus berlanjut sebagaimana telah disebutkan diatas. Dimana bersamaan dengan itu, pemerintah dan BI menerapkan kebijakan kontraksi moneter berupa pengetatan likuiditas yang membuat saldo debet bank bank di BI terus berlanjut meningkat dan mengkhawatirkan menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional.
Terutama pasca pencabutan izin usaha 16 bank pada tanggal 1 November 1997 yang berdampak sangat buruk semakin memicu terjadinya depresiasi kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan perbankan nasional. Akibatnya, terjadi krisis kepercayaan terhadap perbankan nasional semakin memuncak sebagai manifestasinya hampir semua bank-bank pada saat itu mengalami kesulitan likuiditas yang sangat parah. Menimbulkan serangkaian kecemasan dan kekhawatiran dengan terjadinya kelangkaan likuiditas perekonomian secara keseluruhan dan kondisi semakin menjadi berat diperparah. Dengan melambungnya suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) hingga mencapai level 300% pertahun (rata rata 60% pertahun). Keputusan likuidasi 16 bank dimaksud merupakan pemicu krisis kepercayaan yang berlanjut ambruknya sektor perbankan nasional. Tindakan likuidasi itu dilakukan bertujuan mencegah semakin meluasnya krisis perbankan jangan sampai menjadi risiko sistemik (systemic risk) agar supaya tidak sampai terjadi berdampak besar yang dapat memberatkan terhadap risiko economic cost yang ditanggung masyarakat.
Tindakan likuidasi bank dimaksudkan juga dilakukan sejalan dengan hasil evaluasi dan rekomendasi IMF yang bertujuan memulihkan kepercayaan masyarakat kepada perbankan namun ternyata masyarakat bereaksi negatif. Dengan beramai ramai melakukan penarikan dan pengalihan dana secara besar besaran atau terjadi rush (bank run) berakibat sejumlah bank mengalami mismatch terus mengalami saldo negative (saldo debet) pada rekening gironya di BI. Maka BI mengambil kebijakan untuk mencegah situasi bertambah buruk yang berpotensi bisa menghancurkan sistem perbankan nasional. Maka pemerintah menempuh program kebijakan stabilisasi dan reformasi menyeluruh. Dengan adanya krismon yang menghantam perekonomian nasional justru dengan cepat mengimbas pada perbankan sebagai dampak lanjutan 16 bank yang dilikuidasi. Maka selanjutnya sebagai tahap awal dilakukan pembenahan bank, dimana saat itu telah pemerintah berusaha mengambil langkah-langkah preventip untuk mengurangi dampak kerusakan terhadap sistem perbankan menjadi lebih parah, dengan membekukan kegiatan usaha dan mengambil alih bank bank yang dinilai sebagai pemicu kerusakan sistem perbankan.
Sejalan dengan itu, berdasarkan Keppres No.27 tahun 1998 tanggal 26 Januari 1988 pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) merupakan sebuah lembaga yang dibentuk dengan tugas pokok untuk penyehatan perbankan, penyelesaian asset bermasalah dan mengupayakan pengembalian uang Negara yang tersalur pada sector perbankan. Selama beroprasi BPPN melakukan serangkaian kegiatan komprehensif yang terdiri dari program liabilitas bank, restrukturisasi bank, restrukturisasi pinjaman bank, penyelesaian pemegang saham, dan pemulihan dana Negara. Dimana hal tersebut dilakukan oleh unit unit operasi utama dalam BPPN (Restrukturisasi Bank, Kredit Managemen Aset, Manajemen Risiko, dan dukungan dan administrasi). Mengingat kinerjanya dipandang dan dinilai kuang memuaskan maka pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, lembaga ini dibubarkan pada 27 Februari 2004 berdasarkan Keppres No.15 tahun 2004 tentang pengakhiran Tugas dan Pembubaran BPPN.
Dalam upaya mengatasi masalah krisis sekaligus menyelamatkan bank-bank yang dihantam krismon maka dengan demikian berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dimana dalam mengatasi masalah krisis, pemerintah harus memberikan kucuran dana talangan (bantuan) kepada sejumlah bank yang mengalami kesulitan likuiditas. Maka pada bulan Desember 1998 dikeluarkan skema Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merupakan skema bantuan (pinjaman) yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada bank bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya krisis moneter tahun 1998 di Indonesia dimana BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp147,7 triliun kepada 48 bank. Dana BLBI kemudian diduga justeru banyak yang diselewengkan oleh para penerimanya dimana dalam proses penyalurannya pun terindikasikan telah terjadi penyimpangan. Kasus bantuan BLBI telah melalui perjalanan panjang yang begitu rumit, terkesan sulit diselesaikan dimana sejak tahun 1998 hingga sekarang kasus BLBI terus berjalan.
Setelah 16 bank dinyatakan sebagai bank dalam likuidasi (BDL) diikuti 4 bank BTO, 10 bank BBO, 39 bank diputuskan di BBKU. Selain itu dalam upaya pemulihan perbankan, pemerintah melakukan penguatan modal (rekapitulasi) terhadap 10 BPD dan 9 bank umum. Dengan demikian banyaknya bank yang rontok pada saat terjadinya krisis perbankan di tahun 1998 dimana juga 4 bank pemerintah di merger menjadi Bank Mandiri dengan legacynya Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), Bank Ekspor Impor Indonesia (BEII) dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) menjadi Bank Mandiri.
Dengan demikian, berakhirlah masa booming perbankan nasional yang dibangun berdasarkan Pakto 88 dihabisi oleh krismon yang berubah menjadi krisis multidimensi dan berakhir dengan krisis politik dengan lengser keprabonnya Soeharto menjadi presiden NKRI dan berakhir pulalah kekuasaan rezim orde baru dengan meninggalkan warisan berupa berbagai masalah dan beban yang tidak ringan.
*)Penulis adalah Ketua BANI Bali Nusra, Wakil Ketua Umum Kadinda Prov. Bali Bidang Fiskal Moneter dan Mantan Dirut PT. Bank Sinar Jreeeng (sekarang PT. Bank Mandiri Taspen/Bank Mantap).
Jakarta – Rencana aksi korporasi BTN untuk mengakuisisi bank syariah lain masih belum menemukan titik terang. Otoritas… Read More
Suasana saat penandatanganan strategis antara Dana Pensiun Lembaga Keuangan PT AXA Mandiri Financial Services (DPLK… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) bakal kedatangan satu perusahaan dengan kategori lighthouse yang… Read More
Jakarta – PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI menyatakan bahwa Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang… Read More
Jakarta - Zurich Topas Life berhasil mencatat kinerja yang solid hingga September 2024, dengan kontribusi… Read More
Jakarta - Fenomena judi online (judol) di Indonesia kian marak, ditandai dengan lonjakan transaksi hingga… Read More