Oleh: Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank Media Group
PARA bankir terus dipojokkan. Suku bunga kredit sudah turun, tapi kok kenapa bank-bank masih belum “kencing” kredit? Padahal, sudah ada obral relaksasi, baik dari Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berupa insentif pajak. Tapi, kok bank-bank lebih doyan menempatkan dananya ke Surat Berharga Negara (SBN).
Apa “dosis” yang diberikan oleh BI, OJK, dan Kemenkeu kurang, atau salah resep? Jawabannya, tidak juga. Hanya belum mujarab. Menurut data Kemenkeu RI, sampai dengan Februari 2021 ini, belanja negara sudah mencapai Rp282,7 triliun atau naik 1,2% dari belanja Februari 2020 lalu.
Kondisi Februari 2020 dengan Februari 2021 tentu tak sama. Kerusakan ekonomi akibat pandemi COVID-19 sejak triwulan I 2020 sampai dengan triwulan I tahun ini tentu berbeda. Setahun sejak pandemi COVID-19 banyak perusahaan dan dunia usaha mati, semaput – kehilangan “darah” likuiditas, dan tidak sedikit karyawan yang kehilangan pekerjaan.
Sepertinya “dosis” belanjanya yang perlu diperbesar. Meski belanja negara naik, tapi tampaknya belum terlalu nendang. Belanja negara hanya sedikit memengaruhi pertumbuhan ekonomi, sementara sisi konsumsi masyarakat, meski mulai membaik, tapi tetap belum pulih.
Hanya memberi rasa optimisme, belum kepada realisasi peningkatan konsumsi masyarakat. Hal ini bisa jadi salah resep, karena kelompok menengah atas juga “diam-diam” masih beternak uang di pasar uang dan pasar modal. Kelas menengah belum belanja dan belum mulai usaha. Tampak seperti membiarkan negara yang belanja. Bahkan, sejumlah BUMN yang mendapat jatah APBN mempercepat pembayaran pinjamannya.
Pemerintah bukan tak memberi insentif. Pemerintah sudah obral insentif untuk masyarakat kelas menengah bawah. Pembebasan PPN untuk pembelian rumah sudah diberikan. Juga, bebas pajak bagi pembelian mobil kelas di bawah 1.500 cc. Dan, sebagian pembebasan pajak untuk mobil di atas 1.500 cc sampai dengan 2.500 cc.
Tidak hanya itu. Dari sisi BI juga sudah memberikan kelonggaran dengan DP nol persen. Pengurangan ATMR. Tetap saja daya beli belum tampak. Kenaikan pada Maret 2020 ini tak lain pergeseran dari permintaan Februari 2020 lalu. Jadi, di mana sebenarnya letak kesalahannya. Apakah memang kelas menengah atas yang masih tidak bergerak?
Sekarang simak data simpanan masyarakat, per Februari 2021 sudah menyusut, tapi kredit belum juga tumbuh. Simpanan masyarakat berkurang tampaknya “pindah ke lain hati”, ke instrumen pasar modal dan SBN. Kecil sekali yang dibuat untuk modal usaha.
Berbeda dengan krisis sebelumnya, ketika harga-harga aset, termasuk properti turun, banyak yang memborong aset. Namun, kondisi itu tidak terjadi pada sekarang ini. Lalu, masalahnya apa kelas menengah ini? Apakah tidak yakin akan pemulihan ekonomi, atau memang tidak butuh modal kerja dari bank dan lebih memilih mengambil dari pasar modal?
“Kolesterol” Itu Bernama LAR
Banyak analisis bermunculan. Namun, yang pasti, kredit itu soal penawaran dan permintaan. Bank-bank bisa saja tidak lancar memberikan kredit, meski suku bunga sudah turun. Hal ini karena faktor risiko yang dinilai masih seperti “api dalam sekam”. Faktor risiko itu tak lain adalah besarnya loan at risk (LAR).
Jumlah LAR secara total, baik sebelum program restrukturisasi maupun sampai setahun berjalan program restrukturisasi sebesar Rp1.200 triliun. Atau, sekitar 25% dari total kredit perbankan. Boleh jadi, faktor psikologis LAR itu yang menjadi “hantu” risiko bagi perbankan. Namun, apakah ini juga benar karena ketakutan bankir akan turunnya LAR menjadi non performing loan (NPL)?
Benarkah karena bank-bank menderita “kolesterol” tinggi berupa LAR? Jumlah LAR perbankan mencapai kisaran Rp1.200 triliun. Angka LAR itu meliputi LAR sebelum pandemi COVID-19 dan setelah pandemi COVID-19. Jumlah LAR lebih banyak karena krisis akibat pandemi COVID-19 ini.
Porsi LAR sudah mencapai kisaran 25% dari total kredit perbankan. Jadi, bank-bank sejatinya sedang menderita “kolesterol” tinggi. Para bankirnya takut jika sewaktu-waktu LAR ini akan berubah menyumbat “pembuluh” kredit – menjadi NPL atau stroke.
Jadi, jawaban paling pasti kenapa bank-bank tidak “kencing” kredit, karena memang bank-bank sedang mengidap “kolesterol” tinggi. Persepsi risiko terhadap sektor riil masih besar, sehingga antara memberikan kredit atau menahan kredit masih sama kuatnya. Dan, jalan yang dipilih adalah menahan nafsu kredit. Menurut data, kredit perbankan terkontraksi 2,15%.
Para bankir waswas LAR yang tinggi dan belum pernah ada ini bisa menjadi NPL. Hanya saja, berapa yang akan menjadi NPL. Tak heran jika para bankir membuat “celengan semar” (cadangan) untuk antisipasi kalau-kalau NPL tadi benar-benar menjadi macet. Paling tidak bank-bank sudah membuat kuda-kuda. Ya… kalau tidak benar-benar ambruk, setidaknya “celengan semar” tadi bisa menjadi “durian runtuh” bagi pendapatan bank.
Tidak pernah ada yang tahu, berapa besaran LAR yang akan berbuah menjadi NPL. Berdasarkan wawancara sejumlah bankir papan atas dan tengah, Infobank Institute mengeluarkan tiga skenario. Skenario rendah (optimistis) angkanya 7%-10%, skenario sedang (moderat) 11%-13%, dan skenario tinggi (pesimistis) 14%-16%.
Jika diperhatikan, daya tahan perbankan dalam hal ini capital adequacy ratio (CAR) berada pada posisi 23%-24% dan posisi NPL masih tergolong rendah, meski meningkat menjadi 3,21% dari sebelumnya 3,06%. Likuiditas juga masih banjir, dengan loan to deposit ratio (LDR) berkisar 81%-83%. Jadi, cukup likuid.
Dengan memakai skenario rendah dengan penurunan LAR sebesar 7%-10%, kondisi yang ada saat ini masih tidak cukup kuat untuk menggoyang bank-bank. Bahkan, jika memakai skenario paling pahit pun, yaitu jika LAR turun pada kisaran 14%-16%, posisi bank-bank secara nasional juga masih cukup kuat – posisi NPL akan ada penambahan sekitar Rp170 triliun-Rp192 triliun. Tidak akan sampai membuat NPL berada pada angka di atas 5%. Dan, kuda-kuda modal pun masih cukup kuat dengan perkiraan CAR di angka 20%-21%.
Nah, jika melihat skenario tersebut, harusnya bank tidak menjadikan risiko kredit sebagai sebuah alasan untuk tidak meneteskan kredit. Namun, memang tidak ada yang tahu berapa besar pemburukan kredit ini. Jangan-jangan skenario paling besar dari Infobank Institute (14%-16%) ini tergolong rendah. Bank-bank “diam-diam” menaruh risiko penurunan LAR sebesar 20%. Jika demikian, lain ceritanya. Hantu tetap ada di benak para bankir yang diterjemahkan dalam bentuk risiko.
Rendahnya pengucuran kredit bank-bank bisa juga menunjukkan bahwa jumlah debitur di Indonesia tidak berkembang. Atau, banyak debitur yang masuk restrukturisasi, sehingga untuk penambahan modal kerja banyak tidak disetujui oleh bank, karena soal kredit restrukturisasi ini.
Jujur, harus diakui, permintaan kreditlah yang rendah. Simak juga data tentang undisbursed loan yang tidak sampai 70%. Artinya, bank sudah menyediakan kredit tapi tidak diambil semua oleh debitur. Debitur lebih banyak siap-siap dengan plafon kredit yang diberikan sambil menunggu situasi kondusif untuk menambah kapasitas.
Sektor Riil Tak Bergerak, Kementerian Ekonomi Tak Berbuat Banyak
Apakah semua ini artinya stimulus dalam pemulihan ekonomi nasional, di mana APBN sudah defisit 6%, belum nendang untuk meningkatkan daya beli masyarakat? Jawabannya, boleh jadi benar. Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) bukanlah tidak berhasil. Program itu cukup berhasil menahan agar pertumbuhan ekonomi tidak longsor lebih dalam. Namun, memang masih belum mendorong permintaan masyarakat, atau masih perlu “doping” yang lebih besar, dan juga “resep” yang juga tidak salah.
Jangan salahkan bankir kalau kredit tidak mengucur deras, hanya karena alasan suku bunga sudah turun. Ada baiknya, kita bertanya kepada departemen-departemen atau kementerian yang membawahkan sektor riil, seperti Kementerian Perdagangan, Perindustrian, Pertanian, Kemaritiman dan Kelautan, Pariwisata – apakah sudah bekerja dengan baik sehingga sektor riil bergerak? Juga, Kementerian Tenaga Kerja dan ESDM.
Apakah bisa disebutkan kebijakannya dapat mendorong sektor riil secara nyata? Nyaris tak terdengar, selain acara seremoni yang kadang diliput media. Bisa jadi lebih banyak pencitraan, karena memang “dewa” para menteri lebih banyak soal pencitraan, bukan pada konten kebijakan yang dapat mendorong sektor riil.
Sektor riil yang menjadi tanggung jawab kementerian tampak dibiarkan auto pilot atau auto rejected jika ada masalah. Harusnya kementerian membuat banyak kebijakan deregulasi yang lebih nyata, meski sudah ada UU Cipta Kerja yang belum sepenuhnya berjalan.
Jujur Pak Jokowi, sektor riil hanya sedikit bergerak, karena memang Kementerian Ekonomi tidak banyak mengerjakan tugasnya. Bahkan, tidak mengerjakan apa-apa untuk pemulihan ekonomi di masa pandemi COVID-19 ini. Jadi, kredit tidak mengucur bukan sepenuhnya kesalahan bankir, karena kalau kredit macet yang kena “kepruk”, ya bankirnya. Salah-salah kena pasal merugikan negara. Duh!
Para bankir tidak sepenuhnya dapat disalahkan, karena risiko besar masih tetap ada. (*)
Jakarta - Perkembangan teknologi yang semakin pesat telah mengubah cara hidup masyarakat, terutama dalam hal… Read More
Jakarta – Menteri BUMN Erick Thohir bakal melanjutkan program ‘bersih-bersih BUMN’ jilid kedua dalam melawan… Read More
Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada hari ini (8/11) melaporkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja… Read More
Bandung – Direktur Kekayaan Negara Kementerian Keuangan, Meirijal Nur, mengungkapkan PT Geo Dipa Energi (Persero)… Read More
Jakarta – Kinerja Bank Riau Kepri Syariah (BRK Syariah) hingga September 2024 menunjukkan tren positif… Read More
Jakarta - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir membuka opsi untuk ‘menyatukan’ PT… Read More