Jakarta – Bank Indonesia (BI) yang memperkirakan kredit di 2018 akan tumbuh dengan kisaran 10-12 persen, dianggap sulit terwujud. Diperkirakan pada tahun depan kredit masih tumbuh single digit lantaran di 2018 sudah masuk tahun politik seperti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak, serta persiapan Pemilihan Presiden (Pilpres).
Demikian pernyataan tersebut seperti disampaikan oleh Direktur The Consumer Banking School, Thea Triana Rizal, di Jakarta, 4 Desember 2017. “Di 2018 pertumbuhan kredit tak sampai double digit. Hal lain yang membuat seret, karena sudah mulai sibuk urusan Pilkada serentak dan persiapan Pilpres serta psikologis siklus krisis 10 tahunan,” ujarnya.
Lebih lanjut dirinya mengungkapkan, bahwa pada tahun ini saja, meski permintaan kredit pada sektor infrastruktur sangat tinggi sejalan dengan proyek-proyek infrastruktur pemerintah yang tengah digencarkan, namun secara industri smpai dengan September 2017 kredit hanya mampu tumbuh 8,8 persen.
“Kami memperkirakan kredit tak akan double digit, atau akan tumbuh di atas 10 persen. Hal lain yang membuat pesimis likuiditas banyak masuk ke bank. Orang masih wait and see dalam membuat bisnis walau suku bunga dana jauh menurun. Lebih aman diparkir di deposito,” tegasnya.
Pekan lalu, Gubernur BI dalam acara Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) menegaskan pertumbuhan kredit antara 10-12 persen dan pertumbuhan dana pihak ketiga 9-11 persen. Sementara OJK, dalam beberapa kesempatan lebih optimis dari Bank Indonesia, yaitu 12-14 persen dengan pertimbangan kondisi perekonomisn yang terus membaik.
Namun demikian, dirinya tidak sependepat dengan BI dan OJK. Menurutnya, saat ini terjadi dua hal penting yaitu belum selesainya restrukturisasi korporasi khususnya nasabah komersial akibat penurunan harga komoditas sejak 4 tahun lalu. “Bank-bank makin selektif, lihat saja angka NPL lambat turunnya. Itu artinya bank-bank masih trauma dan selektif dalam penyakuran kredit,” ucapnya.
Perkiraan pemerintah dalam hal pertumbuhan ekonomi lebih optimis. Bank Indonesia memperkirakan 5,1-5,5 persen, lebih optimis dibandingkan pemerintah yang memasang target 5,4 persen. Dia menilai, bahwa pertumbuhan ekonomi dan kredit semakin tidak berkorelasi.
“Sekarang pertumbuhan ekonomi 5,01 persen, ternyata kredit hanya tumbuh 8 persen. Kalau pertumbuhan ekonomi 5,4 persen harusnya pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi sekitar 22 persen. Nyatanya, kan ngak juga diperkirakan tumbuh sebesar itu,” papar dia.
Dirinya memperkirakan, pada tahun depan kredit tidak akan tumbuh double digit. Dunia usaha masih tetap menunggu, apalagi memasuki tahun politik 2018, dan tantangan dari financial teknologi serta ekonomi yang lesu bisa menjadi penghambat permintaan kredit. Di sisi lain, inflasi yang rendah, dengan suku bunga yang rendah, namun tidak diimbangi dengan penurunan suku bunga kredit.
“Ekonomi memang sedang lesu ditambah index konsumen yang juga turun. Menurut Thea, faktor psikologis katakutan akan siklus krisis 10 tahunan tetap ada walau tidaklah besar. Namun tetap harus hati hati,” tutupnya. (*)
Poin Penting Kredit Bank Mandiri naik 13,1% menjadi Rp1.452 triliun. DPK tumbuh 15,9% dengan aset… Read More
Poin Penting STRK agresif ekspansi ke pasar ekspor di tengah lesunya pasar domestik. Capex Rp10… Read More
Poin Penting IHSG melemah 0,83% pada pekan 22–24 Desember 2025 ke level 8.537,91, seiring turunnya… Read More
Poin Penting IHSG melemah 0,83% pada pekan 22–24 Desember 2025 dan ditutup di level 8.537,91.… Read More
Poin Penting STRK menggandeng Coco Bali Pte Ltd untuk memperkuat ekspansi global melalui peluncuran tiga… Read More
Poin Penting UMP 2026 telah ditetapkan di 38 provinsi berdasarkan PP Nomor 49 Tahun 2025,… Read More