Kredit konsumsi akan tetap bergairah. Tipe nasabah kredit konsumsi jauh berbeda dengan nasabah kredit modal kerja dan investasi.
Oleh Paul Sutaryono
DI tengah perekonomian yang kurang gizi ini, kredit perbankan hanya mampu tumbuh di angka 13%-14%. Padahal, pada zaman “normal”, kredit perbankan sanggup tumbuh subur hingga 25% setahun. Meski 2019 merupakan tahun politik, kredit diprediksi masih akan menemukan momentum untuk terus bertumbuh. Bagaimana pertumbuhan kredit konsumsi pada 2019? Tetap gemerincing!
Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 19 Desember 2018 menunjukkan bahwa kredit tumbuh 13,63% dari Rp4.374,04 triliun per Oktober 2017 menjadi Rp4.970,10 triliun per Oktober 2018. Sayangnya, dana pihak ketiga (DPK) hanya tumbuh 7,53% dari Rp4.932,35 triliun menjadi Rp5.303,58 triliun. Hal itu merupakan simbol keringnya likuiditas di pasar. Akibatnya, loan to deposit ratio (LDR) naik signifikan dari 88,68% menjadi 93,71%, melewati ambang batas 78%-92%.
Bagaimana dengan laba? Bank umum masih mampu meningkatkan capaian laba dari Rp166,14 triliun menjadi Rp183,36 triliun. Wajar jika imbal hasil aset (return on assets/ROA) naik dari 2,49% menjadi 2,52%, melampaui ambang batas 1,5%. Sarinya, kualitas aset (asset quality) bank umum masih cukup memuaskan saat ini.
Penulis memprediksi, kredit konsumsi akan tetap gemerincing. Lantas, apa saja faktor kunci keberhasilan (key success factors) untuk mendukung prediksi tersebut?
Pertama, pada medio Desember 2018 Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI 7 DRRR) di level 6% ketika suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (The Fed Fund Rate/FFR) naik lagi 25 basis points (bps) menjadi kisaran 2,25%-2,5%. Kendati The Fed sudah memberi isyarat bahwa FFR tidak akan naik secara agresif, FFR diprediksi akan naik dua kali pada 2019.
Kenaikan BI 7 DRRR yang terus berlangsung pada 2019 akan mendorong kenaikan suku bunga deposito. Mengapa? Pasalnya, bank umum harus mengeluarkan biaya lebih besar berupa pemberian suku bunga deposito yang lebih tinggi kepada nasabah. Kenaikan suku bunga deposito akan menyebabkan kenaikan suku bunga kredit. Hal itu bisa menjadi hambatan bagi pertumbuhan kredit perbankan ke depan, terutama kredit komersial. Oleh karena itu, bank umum bakal menggeber kredit konsumsi.
Kedua, dari masa ke masa, kredit konsumsi senantiasa menjanjikan margin yang gendut. Untuk itu, sungguh menjadi tak aneh lagi ketika kini hampir semua bank umum rajin menggarap perbankan ritel (retail banking). Perbankan ritel sesungguhnya merupakan bagian dari perbankan konsumsi (consumer banking). Segmen ini lebih ditujukan kepada nasabah perorangan, misalnya kartu kredit, kredit pemilikan rumah, kredit otomotif, transaksi jasa-jasa, bahkan jasa asuransi dan manajemen investasi (Jane E. Hughes & Scott B. MacDonald dalam International Banking, 2002).
Ketiga, selain margin yang gendut, kredit konsumsi merupakan kredit yang kurang sensitif terhadap perubahan suku bunga. Artinya, perubahan suku bunga acuan yang mengakibatkan kenaikan suku bunga kredit konsumsi tidak berpengaruh pada (calon) nasabahnya. Berapa pun suku bunganya, nasabah akan tetap memburunya.
Itulah sebabnya, kredit konsumsi akan tetap bergairah. Tipe nasabah kredit konsumsi jauh berbeda dengan nasabah kredit modal kerja dan investasi yang pada umumnya perusahaan atau minimal pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Untuk mengukur tingkat kemampuan membayar angsuran per bulan (repayment capacity), bank umum lebih banyak mempertimbangkan gaji atau pendapatan per bulan. Hal itu sungguh berbeda dari debitur perusahaan yang wajib menyerahkan laporan keuangan perusahaan. Dengan bahasa lebih lugas, pengurusan administrasi kredit konsumsi lebih sederhana.
Keempat, boleh dikatakan peluang bisnis masih terbuka sangat lebar. Apa pasal? Tengok saja kredit tanpa agunan (KTA) yang bisa digunakan untuk berbagai keperluan, seperti pendidikan, perkawinan, kesehatan, bahkan untuk liburan.
Kelima, kini KTA bank umum mulai terdesak dengan lahirnya financial technology (fintech) atau perusahaan teknologi finansial (tekfin) yang tumbuh bagai cendawan di musim hujan. Begitu subur. Bisnis tekfin yang mencorong adalah peer to peer lending alias P2P lending yang merupakan layanan keuangan digital untuk mempertemukan peminjam dan investor.
Perusahaan tekfin tidak membutuhkan agunan (collateral), lebih cepat dan praktis daripada bank umum. Semua itu menjadi faktor yang sangat menarik bagi calon nasabah (konsumen). Sama seperti KTA, pinjaman online itu juga menyasar generasi milenial yang suka jalan-jalan.
Namun, ingat bahwa pinjaman online itu bukan tanpa risiko. Contohnya, tingkat suku bunga kredit yang tinggi dan penagihan yang kurang beretika bisnis. Investasi di bisnis pinjaman online memang mengundang decak kagum, tapi investasi itu tidak seperti deposito yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Intinya, di sana juga tersimpan potensi risiko tinggi.
Keenam, kredit konsumsi bersumber dari kredit kendaraan bermotor (KKB), baik mobil maupun sepeda motor. Kredit yang cantik ini akan makin moncer karena baru saja OJK menerbitkan Peraturan OJK Nomor 35/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan yang berlaku efektif pada 28 Desember 2018. Aturan itu menitahkan perusahaan pembiayaan (multifinance) untuk dapat memberikan KKB dengan uang muka paling rendah 0% dari harga jual kendaraan. Namun, hal itu hanya berlaku bagi perusahaan pembiayaan yang memiliki rasio pembiayaan bermasalah (non performing financing/NPF) 1% ke bawah.
Sementara itu, perusahaan pembiayaan yang memiliki NPF 1%-3% hanya dapat memberikan KKB dengan uang muka 10%; NPF 3%-5% dengan uang muka 15%; dan NPF di atas 5% dengan uang muka 20%. Sekarang ini NPF berada di kisaran 2%-3%.
Dengan bahasa lebih bening, uang muka 0% itu hanya bisa diberikan oleh perusahaan pembiayaan yang sehat walafiat. Itu pun harus tetap menerapkan prinsip kehati-hatian tinggi. Untuk itu, perusahaan pembiayaan dapat memberikan KKB dengan menggandeng perusahaan. Dengan demikian, angsuran bulanan dapat dipotong langsung dari gaji konsumen itu. Kiat tersebut boleh disebut bebas risiko (risk free).
Ketujuh, bank umum wajib menaikkan tingkat efisiensi yang tersirat dalam rasio BO/PO (beban operasional berbanding pendapatan operasional). Formulanya, makin rendah rasio BO/PO, makin efisien suatu bank. BO/PO bank umum mencapai 78,71% per Oktober 2018, menebal (memburuk) dari 78,39% per Oktober 2017.
Dengan bahasa lebih lugas, tingkat efisiensi bank umum menurun, tetapi masih berada di ambang batas 70%-80%. Data pada tiga bulan terakhir sebesar 79,28%, 79,13%, dan 78,71% masing-masing per Agustus, September, dan Oktober 2018 menggambarkan perbaikan tingkat efisiensi.
Kedelapan, bank umum pun patut mencermati rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) yang menipis (membaik) dari 2,96% per Oktober 2017 menjadi 2,65% per Oktober 2018. Dalam tiga bulan terakhir, NPL tampak membaik dari 2,73% per Agustus 2018 menjadi 2,66% dan 2,65% per September dan Oktober 2018.
Benar bahwa NPL masih jauh di bawah ambang batas 5%. Meski demikian, bank umum wajib terus meningkatkan kualitas kredit. Mengapa? Karena, makin tinggi NPL, makin tinggi pula cadangan (cadangan kerugian penurunan nilai/CKPN)-nya. Jangan alpa bahwa CKPN tinggi bakal menggerus modal, yang tecermin dalam rasio kecukupan modal minimum (capital adequacy ratio/CAR).
Dengan aneka faktor kunci keberhasilan demikian, kredit konsumsi bakal tetap bergairah dan gemerincing sebagai pendapatan nan gurih, baik bagi bank umum maupun perusahaan pembiayaan pada 2019. Sungguh!
Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pengeluaran riil rata-rata per kapita masyarakat Indonesia sebesar Rp12,34 juta… Read More
Jakarta - Bank DBS Indonesia mencatatkan penurunan laba di September 2024 (triwulan III 2024). Laba… Read More
Jakarta - Melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada Jumat, 15 November 2024,… Read More
Jakarta – Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada hari ini, 15 November 2024, masih ditutup… Read More
Jakarta - PT Prudential Life Assurance atau Prudential Indonesia mencatat kinerja positif sepanjang kuartal III-2024.… Read More
Jakarta - Di era digital, keinginan untuk mencapai kebebasan finansial pada usia muda semakin kuat,… Read More