Oleh Irvan Rahardjo : Komisaris Independen AJB Bumiputera 1912. (2012-2013)
Jakarta – Kegaduhan terjadi ditengah perhelatan akbar IMF World Bank Annual Meeting di Bali 8 – 14 Oktober 2018 yang dihadiri 34 ribu peserta dari seluruh dunia yang ditaburi puja puji akan prestasi ekonomi Indonesia.
Asuransi Jiwasraya ( Persero ) melayangkan surat bertanggal 10 Oktober 2018 ke sejumlah mitra bancassurance menyatakan keterlambatan pembayaran polis asuransi JS Proteksi Plan yang jatuh tempo. Problem kesulitan likuiditas menjadi alasan keterlambatan pembayaran yang disampaikan oleh perusahaan asuransi plat merah tersebut. Nilainya mencapai Rp802 miliar.
Ada tujuh bank yang memasarkan produk JS Proteksi Plan Jiwasraya, yakni Bank Tabungan Negara (BTN ), Standard Chartered Bank, Bank KEb Hana Indonesia, Bank Victoria , Bank ANZ , Bank QNB Indonesia dan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Terhadap polis nasabah yang sudah jatuh tempo, Jiwasraya melalui bank mitra menawarkan skema roll over . Skema ini meminta kesediaan nasabah memperpanjang masa investasi mereka. Jiwasraya akan memberikan imbal hasil 6 persen net per tahun.
Sedangkan bagi nasabah yang tidak bersedia dan tetap ingin meminta pelunasan, Jiwasraya akan memenuhi sampai dana tersedia. Selama nasabah menunggu, Jiwasraya akan memberikan imbal hasil atas polis yang jatuh tempo sebesar 5,75 persen net per tahun, prorata hingga dana nasabah cair.
Bermula dari direksi baru Jiwasraya terpilih dalam RUPS 18 Mei 2018 dengan dirut Asmawi Syam bankir ex BRI mencium sejumlah ketidak beresan diantaranya laporan keuangan Jiwasraya. Disebutkan laporan keuangan unaudited Jiwasraya non konsolidasi tahun 2017 mencatat laba bersih senilai Rp2, 4 triliun. Manajemen baru meminta mitra lokal Price Waterhouse Coopers (PWC) melakukan audit.
Hasilnya laba bersih direvisi sangat signifikan. Laba bersih Jiwasraya berdasarkan laporan audit mitra PWC berubah menjadi Rp360 miliar.
Sebuah sumber menyebutkan hasil audit PWC menemukan ketidaksesuaian perhitungan cadangan yang dibuat oleh aktuaris internal hingga senilai Rp7, 6 triliun.
Sambil menunggu hasil audit investigasi yang tengah dilakukan oleh BPK dan BPKP ada tiga hal yang dapat dijadikan dugaan penyebab tekanan likuiditas yang dialami Jiwasraya.
Pertama, terjadi aset liability mismatch (ketidakseimbangan aset dengan kewajiban) seperti juga yang dialami oleh asuransi AJB Bumiputera 1912. Jiwasraya tercatat mempunyai lima besar penempatan investasi tahun 2017 pada reksadana Rp19,17 triliun, saham Rp6,63 triliun, tanah dan bangunan Rp6,55 triliun, deposito berjangka Rp4, 33 triliun dan obligasi korporasi Rp1, 8 triliun untuk membayar manfaat polis yang jatuh tempo.
Dalam hal terjadi tekanan likuiditas salah satu yang harus dilakukan adalah menjual instrumen investasi tersebut. Masalah yang timbul saat ini nilai seluruh investasi tengah tertekan kondisi pasar keuangan domestik dan global yang sangat tidak stabil. Dipicu oleh perang dagang AS China dan defisit transaksi berjalan RI yang berkelanjutan.
Bila harus dijual untuk menjaga kepercayaan nasabah akan terbentur protokol investasi yang harus dipatuhi agar tidak merugi. Inilah mismatch antara kewajiban produk bancassurance yang umumnya jangka pendek dengan jangka waktu investasi yang lebih panjang.
Dibutuhkan ketrampilan manajemen investasi untuk mengexplorasi berbagai instrumen investasi yang sesuai dengan profil resiko kewajiban aktuarial kepada pemegang polis. Harus ada stress test sensivitas cash flow terhadap tekanan penebusan polis dibanding return investasi. Trade off antara kebutuhan likuiditas dengan yield investasi menjadi keniscayaan
Kedua, dugaan karena perolehan premi anjlok, cash flow tidak cukup bayar klaim. Terlebih karakter bisnis bancassurance premi tidak sepenuhnya dalam kontrol asuransi dan rekonsiliasi penerimaan premi sering menjadi pekerjaan rumah yang menyita waktu dan energi tidak sedikit. Bila sudah dibentuk cadangan yang memadai, seharusnya tinggal mencairkan investasi. Sepanjang asset dan liability tidak terjadi gap, secara normatif tinggal mencairkan investasi untuk membayar klaim habis kontrak maupun nilai tunai polis.
Masalahnya dengan mencairkan investasi mengakibatkan kerugian karena seluruh instrumen investasi sedang mengalami penurunan cukup besar. Hal ini merupakan risiko investasi yang harus diperhitungkan dan semestinya sudah dilindungi dengan underlying aset yang dimiliki. Disinilah perlunya pengelolaan manajemen risiko investasi .
Ketiga, auditor sebelumnya patut dipertanyakan dan tentu manajemen dalam periode laporan sebelumnya. Terbukti dari revisi opini yang dilakukan audit PWC menjadi “Dengan Modifikasian“ dari Opini “Dengan Pengecualian” sebelumnya.
Kasus tunda bayar Jiwasraya ini mengungkap sekaligus menggugat tiga hal sekaligus .
Pertama, pengawasan OJK menjadi sorotan sejak gagalnya restrukturisasi AJB Bumiputera yang tidak kunjung membuahkan penyelesaian hingga kini. OJK berasumsi bahwa dengan diaudit oleh akuntan publik, maka hasil audit pasti “benar”, meskipun fakta kadang kala berbeda karena ada kepentingan atau non disclosure yang tidak terdeteksi. Hingga post factum menunjukkan hal yang berbeda seratus delapan puluh derajat. Bagaimana tanggung jawab OJK sebagai pengatur dan pengawas industri perasuransian.
Penurunan signifikan RBC Jiwasraya dari posisi 200,15 persen tahun 2016 menjadi minimalis 123, 16 persen akhir 2017 seharusnya sudah menjadi indikasi ada masalah dengan solvabilitas. Beredar kabar sejumlah asuransi mengalami masalah yang sama dengan yang dialami Jiwasraya.
Kedua, menggugat validitas pemeringkatan asuransi yang dilakukan oleh sejumlah media selama dua dekade ini. Pemeringkatan asuransi selama ini menggunakan ukuran kwantitatif pertumbuhan berbasis neraca publikasi yang sudah menjadi rahasia umum tidak steril dari kosmetik dan rekayasa pembukuan.
Pendekatan baru yang lebih berbasis kualitatif diperlukan untuk menghasilkan pemeringkatan yang lebih kredibel dan sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Analisa net combined operating ratio (net premi dikurangi net klaim, net operating expenses dan komisi) misalnya diprediksi akan menghasilkan angka kinerja asuransi yang jauh lebih buruk buntut praktik perang tarif dan engineering fee yang tidak terkendali lagi.
Ketiga, mempertanyakan integritas dan profesionalisme para eksekutif asuransi yang menyandang berbagai sertifikasi profesi. Setidaknya dalam kasus pencopotan eksekutif asuransi BUMN belakangan yang digantikan dengan eksekutif perbankan untuk membereskan berbagai salah urus yang terjadi.
Semoga kasus tunda bayar polis Jiwasraya bisa segera teratasi, karena dampaknya bagi kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi sangat sistemik menjelang Insurance Day bulan depan. (*)
Jakarta – Evelyn Halim, Direktur Utama Sarana Global Finance Indonesia (SG Finance), dinobatkan sebagai salah… Read More
Jakarta - Industri asuransi menghadapi tekanan berat sepanjang tahun 2024, termasuk penurunan penjualan kendaraan dan… Read More
Jakarta - Industri perbankan syariah diproyeksikan akan mencatat kinerja positif pada tahun 2025. Hal ini… Read More
Jakarta - Presiden Direktur Sompo Insurance, Eric Nemitz, menyoroti pentingnya penerapan asuransi wajib pihak ketiga… Read More
Senior Vice President Corporate Banking Group BCA Yayi Mustika P tengah memberikan sambutan disela acara… Read More
Jakarta - PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat sejumlah pencapaian strategis sepanjang 2024 melalui berbagai… Read More