Apa motif di balik “surat cinta” OJK tentang sertifikasi manajemen risiko yang ditujukan kepada seluruh direktur utama bank-bank nasional? Kalangan perbankan merasakan ada kejanggalan.
MEDIO Maret lalu jajaran direksi bank-bank nasional garuk-garuk kepala. Penyebabnya, dua lembar surat dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tertanggal 14 Maret 2016. Surat bernomor S-20/D.03/2016 berisi tentang pemberitahuan pelatihan sertifikasi manajemen risiko (SMR) dari Lembaga Sertifikasi Profesi Perbankan (LSPP). Ada enam poin dalam surat yang ditandatangani oleh Nelson Tampubolon, Kepala Eksekutif Pengawasan Perbankan OJK, itu.
Intinya, OJK melarang seluruh karyawan dan pejabat bank nasional mengikuti pelatihan SMR di LSPP. OJK menilai, kualitas SMR yang diadakan LSPP belum memperoleh pengakuan/mengacu pada international best practices dari lembaga sertifikasi internasional, seperti Global Association of Risk Professional (GARP) dan Professional Risk Manager’s International Association (PRMIA).
OJK melandaskan surat larangan tersebut pada Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 11/19/PBI/2009 tanggal 4 Juni 2009 tentang Sertifikasi Manajemen Risiko (SMR) bagi Pengurus dan Pejabat Bank Umum. OJK juga melandaskan pada Nota Kesepahaman antara OJK dan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) tanggal 19 Maret 2015 tentang Kerja Sama Pengembangan Program Sertifikasi Kompetensi Kerja Lembaga Jasa Keuangan Dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Menghadapi MEA serta tembusan surat BNSP kepada LSPP Nomor B.948/BNSP/XII/2015 tanggal 28 Desember 2015 perihal Tindak Lanjut Surveillance Khusus.
Kalangan bankir mengaku heran dan merasa ada kejanggalan dengan keluarnya surat larangan yang tiba-tiba itu. Sebab, selama ini, mereka sudah mengikuti program SMR yang diadakan oleh LSPP. Di samping biaya yang dikeluarkan relatif terjangkau dibandingkan dengan sertifikasi di tempat lain, standar sertifikasi yang digunakan oleh LSPP sudah mengacu pada standar internasional. Lebih heran lagi, hanya industri perbankan yang mendapat “surat cinta” itu, sementara industri keuangan lain bebas-bebas saja, tak mendapat surat serupa dari OJK. Padahal, semua industri keuangan juga menghadapi MEA.
“Kenapa OJK mengacu pada PBI Nomor 11/19/PBI/2009, sedangkan atas PBI tersebut sudah ada perubahannya, yaitu PBI Nomor 12/7/PBI/2010,” ujar seorang bankir kepada Infobank, bulan lalu.
Merespons “surat cinta” OJK itu, dilakukanlah rapat gabungan oleh Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas), Ikatan Bankir Indonesia (IBI), Banker Association for Risk Management (BaRa), dan LSPP. Hasilnya, mereka berkirim tiga surat. Pertama, surat untuk bank-bank anggota Perbanas, yang isinya meminta mereka untuk tetap melakukan sertifikasi di LSPP. Kedua, surat kepada OJK untuk meminta klarifikasi atas “surat cintanya”. Ketiga, surat kepada asosiasi perbankan.
Menurut catatan Infobank Institute, dalam penjelasan PBI Nomor 12/PBI/2010, ada tiga klausul yang mengacu pada pengertian standar international best practices. Satu, sertifikasi yang mendapat pengakuan secara internasional dan diterbitkan oleh lembaga sertifikasi internasional. Dua, sertifikasi yang materinya mendapat pengakuan secara internasional melalui kerja sama dalam hal review materi sertifikasi dengan lembaga sertifikasi internasional. Tiga, sertifikasi yang berdasarkan pada penilaian BI materinya mengacu kepada standar internasional di bidang manajemen risiko yang dikeluarkan oleh Basel Committee on Banking Supervision.
Infobank Institute menilai, jika mencermati redaksional tiga klausul tersebut dengan penggunaan kata “atau”, berarti seandainya baru poin tiga yang sudah dipenuhi seharusnya sudah dianggap sesuai dengan standar international best practices. Dengan demikian, seharusnya LSPP juga bisa dinilai telah memenuhi persyaratan international best practices karena LSPP telah memenuhi salah satu dari tiga poin itu, yakni poin yang ketiga. Materi yang dibuat LSPP pun mengacu pada standar internasional.
Bahkan, menurut catatan Infobank Institute, untuk memenuhi PBI, sertifikasi versi LSPP sudah dinilai dan telah mendapat rekomendasi tertulis dari BI. Apalagi, SKKNI bidang manajemen risiko LSPP pun sudah sesuai dengan Peraturan Kemenakertrans Nomor 8 Tahun 2012, Bab 1, Pasal 1, butir 7, disusun dengan mengacu pada Regional Model Competency Standard (RMCS), sehingga SKKNI tersebut sudah berdasarkan international best practices.
Anehnya, LSPP sendiri tidak mendapat pemberitahuan mengenai larangan tersebut. Berdasarkan kopian surat yang diterima Infobank, surat hanya ditembuskan kepada Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I-IV dan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Mengapa BNSP membuat surat itu dan tidak pernah mempermasalahkan industri keuangan lainnya? Belum ada konfirmasi dari pihak BNSP mengapa hanya memaksa sektor perbankan mengikuti lembaga internasional, sementara perbankan menerapkan MEA baru pada 2020.
Ada pertanyaan seorang bankir yang perlu direnungkan. Apa kita hanya semacam pinjam stempel internasional dan harus membayar mahal pula? Bukan berarti LSPP tidak terus-menerus memperbaiki materi dan modul. Jangan sampai, ada kesan kelulusannya mudah. Sejauh ini, modul yang digunakan sudah disusun berdasarkan standar internasional, kendati tidak ada stempel internasional. Satu sisi, inilah sebuah kemandirian dari sebuah bangsa, seperti dicanangkan pemerintahan Jokowi-JK yang berdikari di segala bidang.
Nah, dalam konteks profesi bankir, LSPP sebagai lembaga sertifikasi yang dibentuk oleh enam asosiasi perbankan, yakni IBI, Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), Perbanas, Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda), Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo), dan Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), itu sangat kompeten untuk menggelar SMR, selain ada lembaga lain yang lebih dulu melakukan SMR. Pihak LSPP ketika dimintai komentar mengenai “surat cinta” ini pun tak menjawab.
“Siapa yang berani melawan otoritas. Apa mau tak lulus atau diulang fit & proper test lagi. Tapi, sebaiknya dibicarakan baik-baik soal surat larangan ini agar tak menimbulkan kegaduhan di industri perbankan yang sedang melakukan efisiensi menuju suku bunga single digit. Jangan jadi beban baru lagi,” kata seorang bankir kepada Infobank yang merasa janggal kenapa soal SMR ini selalu ribut dan selalu melibatkan otoritas yang dulu BI dan sekarang OJK.
Hubungan OJK dengan industri sudah seharusnya harmonis. Seperti OJK di negara lain, semisal APRA di Australia, ada istilah rule of making rules yang ditaati– segala sesuatunya selalu dibicarakan lebih dulu dengan industri. Bahkan, dana iuran dari industri ada janji program rycle, yang akan dikembalikan ke industri lewat program pengembangan SDM. Menurut penilaian para bankir, saat ini, program rycle ini belum banyak dirasakan, kendati OJK sudah sering membuat kegiatan untuk perbankan. Bukannya dapat program rycle yang jelas, melainkan justru mendapat “surat cinta” dari OJK yang belum pernah dibicarakan dengan industri sebelumnya.
Apa motif OJK membuat surat ini? Belum dapat konfirmasi dari pihak OJK. Namun, seperti kata orang bijak, “manalah mungkin pokok bergoyang jika tidak ada angin yang bertiup.” Bahkan, seorang bankir menyebut, “kalau tidak berada-ada, takkan tempua bersarang rendah”; artinya kalau orang berlaku di luar kebiasaan, pasti ada alasannya.
Semoga maksud tersembunyi itu untuk meningkatkan kualitas bankir, dan bukan bermaksud memberatkan industri yang sudah berat akibat program sertifikasi manajemen risiko yang selalu bikin gaduh sejak proses kelahirannya sepuluh tahun lalu hingga sekarang ini. Jalan terbaik tak lain membicarakan soal SMR ini dengan industri perbankan sebagai bukti rule of making rules.(*)
Jakarta – Presiden Prabowo Subianto optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai level 8 persen dalam kurun waktu… Read More
Jakarta - Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) resmi mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin… Read More
Jakarta - PT Mandiri Sekuritas memproyeksikan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang stabil pada kisaran… Read More
Jakarta – PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel pada hari ini (22/11)… Read More
Jakarta - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2024 mencatatkan surplus sebesar USD5,9 miliar, di… Read More
Jakarta - Kapolda Sumbar Irjen. Pol. Suharyono menjelaskan kronologis polisi tembak polisi yang melibatkan bawahannya,… Read More