oleh Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank
EFEK virus Corona telah menebar “demam” ke sendi-sendi ekonomi. Perdagangan dunia turun. Transaksi dagang Indonesia-Tiongkok merosot hingga 60%. Di sisi yang lain, sektor keuangan juga “meriang”. Sejumlah pemain di pasar modal bahkan sudah “batuk-batuk” dan tidak sedikit yang gulung tikar.
Rupiah pun terbakar. Pasar saham sudah kehilangan lebih dari Rp500 triliun dalam dua pekan terakhir. Jika dihitung dari harga tertinggi, setidaknya pasar saham sudah menyusut Rp1.000 triliun. Inikah tanda-tanda ekonomi memasuki masa sulit?
Tidak mudah menjawabnya, tapi yang jelas Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah memberikan stimulus bagi debitur bermasalah untuk dilakukan restrukturisasi dengan hanya satu pilar. Sejatinya, kecemasan juga mulai menjalar ke sektor perbankan. Loan at risk (LAR) perbankan merangkak naik.
Pertanyaan yang menarik, bagaimana nasib konsolidasi bank umum dan BPR? Ketentuan modal minimum bank umum Rp3 triliun sampai dengan akhir 2022 dalam implementasinya ternyata juga tak mudah. Saat ini masih ada 57 bank yang modalnya di bawah Rp3 triliun atau lebih dari separuh jumlah bank yang belum memenuhi ketentuan modal tersebut.
Jumlah bank itu adalah termasuk BPD yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Asumsi return on equity (ROE) perbankan rata-rata setiap tahun 20% dan tidak bagi dividen. Itu pun masih ada sekitar 30 bank yang tidak sang-gup memenuhi modal minimum Rp3 triliun. Jika demikian, maka konsolidasi yang akan dilakukan oleh bank umum ini tak lain harus dijual atau merger – jika pemilik tak mau menyetor modal baru.
Pada 26 Desember 2019 OJK resmi merilis POJK 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum. Jika diperhatikan dengan saksama, POJK ini memberi jalan lebar kepada bank-bank besar untuk mencaplok bank kecil. Lihat saja BCA, yang diminta untuk menguasai Bank Royal, lalu Rabobank.
Untuk apa bank-bank besar membeli bank yang harganya juga tidak murah, kecuali BCA membeli Rabobank. Pihak OJK memberi jalan untuk membentuk bank khusus atau merger. Namun, bukan tak mungkin, OJK menyerahkan “tugas” pengawasan kepada bank besar sebagai holding. Sejak keluarnya POJK 41 ini, istilah kepemilikan tunggal (single presence policy) menjadi kenangan atau tidak berlaku lagi.
Pilihan merger bagi bank umum sepertinya sulit dilakukan karena merger bank tidak satu pemilik jarang terjadi di Indonesia. Merger yang ada di Indonesia tak lain karena diawali dengan akuisisi. “Kawin” suka sama suka antarbank tidak pernah ada di Indonesia. Kawin paksalah yang menandai merger di Indonesia.
Tidak berbeda untuk BPR. Satu pemilik dulu, baru kawin. Peraturan ini dikeluarkan oleh OJK melalui POJK Nomor 5/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Modal sebesar Rp6 miliar harus dipenuhi BPR pada 2024. Pemenuhan modal ini dilakukan secara bertahap.
BPR harus memiliki modal inti minimum sebesar Rp3 miliar paling lambat 31 Desember 2019. Selanjutnya, BPR diberi kesempatan paling lambat dalam lima tahun mendatang atau tepatnya 31 Desember 2024 untuk memenuhi modal inti Rp6 miliar. Menurut data Biro Riset Infobank (birI), saat ini masih ada sekitar 700 BPR yang belum memenuhi ketentuan modal Rp6 miliar.
Nah, dengan asumsi yang sama, dalam hal ini ROE per tahun 20%, berarti pada akhir 2024 masih ada sekitar 50% BPR yang tak sanggup tumbuh secara organik. Jika pemilik tak menambah modal, pilihannya adalah merger atau dijual, atau turun takhta menjadi lembaga keuangan mikro (LKM). Diperkirakan akan ada 300 sampai dengan 400 BPR yang bakal turun kelas menjadi LKM.
Bank umum akan jadi BPR dan BPR akan jadi LKM. Dunia tidak akan kiamat jika pada akhirnya memang harus turun takhta – ya, barangkali untuk bank umum tidak akan menerbitkan giro lagi. Dan, implikasinya akan ada BPR yang besar-besar yang asalnya dari bank umum. Sebaliknya, BPR akan turun derajat menjadi LKM.
Situasi ekonomi sekarang dan dua tahun ke depan tidaklah mudah. Jika memang bank tak mampu tumbuh secara organik, maka pilihan untuk turun strata bukanlah kiamat. Yang perlu dikelola adalah ekspektasi nasabah bank umum menjadi nasabah BPR. Sepanjang tidak ada value yang dikurangi, tentu nasabah tidak akan pergi.
Pada dasarnya nasabah-nasabah BPR dan bank kelompok BUKU 1 dan 2 ini juga komunitas dari pemilik serta masyarakat sekitarnya. Turun “klasemen” tidak ada yang perlu ditangisi. Kalau tidak, ya dijual saja, tapi harganya ya tidak premium lagi.
Kendati demikian, ada baiknya OJK memberi supervisi dengan baik agar bank-bank ini tetap berada di klasemennya. Agar bank-bank terus membesar asetnya. Sehingga, uang iuran yang disetor ke OJK juga naik. Lakukan pengawasan dengan baik dan supervisi yang memadai – jangan hanya jadi polisi yang sukanya menilang. (*)
Jakarta - Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) terus mendorong ekspor gula aren Indonesia yang semakin… Read More
Jakarta - Karcher Indonesia menghadirkan solusi kebersihan rumah tangga dalam ajang Big Bang Festival 2024,… Read More
Jakarta - Bank Mandiri terus berkomitmen untuk meningkatkan literasi keuangan masyarakat sesuai program yang dicanangkan… Read More
Jakarta – Pemerintah menetapkan target penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp300 triliun untuk 2025. Hal ini ditetapkan dengan… Read More
Jakarta - Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sekaligus Komisaris PT PLN (Persero), Aminuddin… Read More
Jakarta - Pengamat Ekonomi Bisnis Acuviarta Kartabi menyatakan optimisme kinerja PT Pertamina (Persero) yang tidak… Read More