News Update

Konsolidasi Bank, Konsolidasi Mencla-Mencle

Beleid anyar soal konsolidasi bank sudah dirilis OJK akhir tahun lalu. OJK punya kuasa memaksa bank melakukan konsolidasi. Atas nama konsolidasi, bank-bank besar jadi bemper? Siap-siap, modal minimum akan jadi Rp3 triliun.

Oleh Ari Nugroho

Jakarta – Jumlah bank di Indonesia menciut. Per Oktober 2019 jumlah bank umum tercatat ada 110 bank, berkurang lima bank dari Oktober tahun sebelumnya. Sebabnya, terutama dalam setahun terakhir, yang paling dominan adalah adanya penggabungan atau merger sebagai akibat dari akuisisi. Tahun lalu ada empat penggabungan bank, yang melibatkan delapan bank.

Merger dan akuisisi menjadi salah satu jalan untuk mengonsolidasikan perbankan nasional. Dengan jumlah bank yang di atas 100, populasi bank di Indonesia memang terlalu gemuk. Konsolidasi perbankan, selain untuk merampingkan jumlah bank yang ada, juga untuk mendorong industri perbankan menjadi lebih efisien, berdaya saing, dan kontributif bagi perekonomian nasional dalam waktu cepat.

“Konsolidasi perbankan akan melahirkan bank-bank yang mampu menghadapi tantangan dan tuntutan inovasi produk dan layanan berbasis teknologi, sehingga memiliki kemampuan adaptasi lebih besar. Selain itu, konsolidasi perbankan juga men-dorong bank nasional untuk tidak hanya tangguh di lingkup domestik, namun juga kompetitif di lingkup regional dan global,” kata Heru Kristiyana, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dalam keterangan resminya, beberapa waktu lalu.

Aturan soal konsolidasi bank, yang meliputi persyaratan dan tata cara merger, peleburan, dan akuisisi bank umum, terakhir diterbitkan dua dekade silam. Beleid itu adalah Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/51/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999. Karena sudah cukup berumur, ditambah dengan berubahnya market dan industri, aturan itu dirasa tidak lagi relevan se-hingga perlu aturan baru mengenai konsolidasi bank.

Menjelang akhir Desember tahun lalu, OJK menerbitkan Peraturan OJK (POJK) 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum. Peraturan ini merupakan pembaruan dari regulasi konsoli-dasi bank sebelumnya.

Lewat regulasi ini, OJK memiliki wewenang lebih dalam melakukan konsolidasi perbankan. Pasal 2 ayat 1 dari peraturan ini menyebutkan, penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi, dan konversi dapat dilakukan atas dasar inisiatif bank dan kantor cabang luar negeri yang bersangkutan dan tindakan pengawasan OJK. Dengan kata lain, melalui peraturan ini, OJK bisa memaksa bank untuk melakukan konsolidasi—atas dasar tindakan pengawasan oleh OJK.

Hanya saja, seorang analis menyebut, POJK soal konsolidasi ini seperti menyiratkan bahwa OJK menyerahkan “tugas”-nya kepada industri. OJK tidak mampu melakukan konsolidasi bank (menutup atau merger), tapi diserahkan kepada bank-bank besar untuk melakukan konsolidasi, sekaligus mengawasi dan membina bank-bank kecil.

Bagi bank besar, mengakuisisi bank-bank kecil kemudian dimerger bisa untung tapi juga bisa buntung. Untung karena dapat lisensi dan bank kecil yang diakuisisi itu kemudian bisa diubah menjadi platform bank. Buntungnya, bank kecil yang diakuisisi tidak signifikan kontribusinya secara konsolidasi. Malah, jika terjadi apa-apa terhadap bank kecil itu, bank besar yang jadi induknya harus bertanggung jawab. Soal penambahan modal, misalnya.

Di satu kesempatan seorang bankir senior yang juga merupakan bos bank besar mengungkapkan, mengambil bank kecil menengah sebenarnya tidak menguntungkan bagi bank besar. Namun, lebih menguntungkan bagi regulator karena pengawasan yang lebih mudah.

Dan, memang, dengan adanya pembinaan dan pengawasan bank kecil oleh bank besar—dalam konteks konsolidasi per-bankan—tugas regulator bisa saja menjadi lebih ringan. Apalagi, pengawasan konglomerasi sesungguhnya juga tidak ada. Con-toh, yang terjadi, departemen konglomerasi di regulator dibubarkan. Jadi, aturannya konsolidasi mengarah konglomerasi, tapi pengawasannya tidak konglomerasi. Ini kebijakan yang mencla-mencle.

Selepas menerbitkan aturan konsolidasi perbankan, saat ini OJK sedang menyiapkan aturan lanjutan, salah satu poinnya adalah peningkatan modal minimum. Kembali lagi, tujuan besarnya masih berkaitan dengan konsolidasi, yakni membuat per-bankan nasional menjadi lebih tangguh.

Melalui aturan soal modal itu, rencananya OJK akan mendorong peningkatan modal bank secara bertahap dalam tiga tahun ke depan untuk sampai minimal Rp3 triliun. Kabarnya, mulai tahun ini, OJK akan mengatur modal minimum bank BUKU 1 menjadi sedikitnya Rp1 triliun. Beleid lanjutan dari peraturan konsolidasi bank ini disebut-sebut akan dirilis pada Februari ini.

“Setahu saya (soal modal minimum) nanti ada POJK. Sabar, ya,” kata Boedi Armanto, Senior Advisor Dewan Komisioner OJK, kepada Dicky F. Maulana dari Infobank, melalui aplikasi percakapan, Januari lalu.

Industri sendiri sudah mengetahui rencana OJK yang akan mendorong bank untuk meningkatkan permodalan. Sebagian ada yang merespons positif. “Kalau memang ada nuansa memperkuat modal, saya pikir itu langkah yang bagus. Apakah nanti owner yang top up (modal) atau konsolidasi itu hanya cara. Tapi, dengan memperkuat modal itu langkah yang tepat,” ujar Ebeneser Girsang, Plt Direktur Utama BRI Agro.

Berdasarkan data Biro Riset Infobank (birI), hingga September 2019, ada 57 bank yang modal intinya di bawah Rp3 triliun. Jika aturan soal modal minimum itu benar-benar dirilis, bank-bank yang modalnya di bawah Rp3 triliun mesti segera mening-katkan modalnya. Dari sisi waktu memang relatif pendek. Hanya tiga tahun. Jika tak bisa, pilihannya, turun kelas menjadi BPR, dijual ke pihak lain, atau self likuidasi.

Meningkatkan modal menjadi Rp3 triliun dalam tiga tahun cukup menantang bagi bank-bank itu. Sebab, bagi pemilik, tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk terus-menerus menambah modal. Lalu, jika tak mampu suntik modal, tidak mu-dah juga untuk mencari investor. Sementara, pada bank, kemampuan menambah modal sendiri bergantung juga pada kemam-puannya memupuk laba. Kemudian, modal yang tertambah juga bisa saja menjadi kurang efektif manakala penyaluran kredit tidak optimal.

Sekarang ini penyaluran kredit sedang tidak deras. Jadi, apakah efektif meningkatkan modal dengan cukup be-sar di masa-masa ini. Walau dalih penambahan modal adalah sebagai langkah preventif bila sewaktu-waktu terjadi krisis keuangan.

  • Tulisan ditayangkan di Majalah Infobank No.502, edisi Februari 2020.

Dwitya Putra

Recent Posts

Askrindo Dukung Gerakan Anak Sehat Indonesia di Labuan Bajo

Labuan Bajo – PT Askrindo sebagai anggota holding BUMN Asuransi, Penjaminan dan Investasi Indonesia Financial… Read More

13 mins ago

Konsumsi Meningkat, Rata-Rata Orang Indonesia Habiskan Rp12,3 Juta di 2024

Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pengeluaran riil rata-rata per kapita masyarakat Indonesia sebesar Rp12,34 juta… Read More

3 hours ago

Laba Bank DBS Indonesia Turun 11,49 Persen jadi Rp1,29 Triliun di Triwulan III 2024

Jakarta - Bank DBS Indonesia mencatatkan penurunan laba di September 2024 (triwulan III 2024). Laba… Read More

4 hours ago

Resmi Diberhentikan dari Dirut Garuda, Irfan Setiaputra: Saya Terima dengan Profesional

Jakarta - Melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada Jumat, 15 November 2024,… Read More

5 hours ago

IHSG Ditutup Bertahan di Zona Merah 0,74 Persen ke Level 7.161

Jakarta – Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada hari ini, 15 November 2024, masih ditutup… Read More

5 hours ago

Naik 4 Persen, Prudential Indonesia Bayar Klaim Rp13,6 Triliun per Kuartal III-2024

Jakarta - PT Prudential Life Assurance atau Prudential Indonesia mencatat kinerja positif sepanjang kuartal III-2024.… Read More

6 hours ago