oleh Paul Sutaryono
PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) meminta bank untuk segera menurunkan suku bunga kredit. Mengapa? Lantaran transmisi penurunan suku bunga acuan menjadi penurunan suku bunga kredit dianggap lambat padahal Bank Indonesia (BI) telah menurunkan suku bunga acuan 100 basis poin (bps) (1%). Bagaimana kiat memangkas suku bunga kredit?
Secara berturut-turut, bank sentral telah menurunkan suku bunga acuan (BI 7 Day Reverse Repo Rate) empat kali masing-masing 25 bps pada Juli, Agustus, September dan Oktober 2019 dari 6% menjadi 5%. Kebijakan itu bertujuan untuk memelihara pertumbuhan ekonomi melalui penurunan suku bunga kredit perbankan nasional.
Jauh sebelumnya, pada 31 Maret 2011, BI mewajibkan bank untuk mengumumkan suku bunga dasar kredit (SBDK) (prime lending rate) setiap bulan. Hal itu mirip dengan base lending rate di Malaysia. Bank wajib mengumumkan SBDK untuk kredit korporasi, kredit ritel dan kredit konsumsi (kredit pemilikan rumah/KPR dan non KPR tetapi tidak termasuk kartu kredit dan kredit tanpa agunan/KTA). Kemudian ditambah lagi SBDK kredit mikro. Pengumuman itu dilakukan melalui website, koran dan kantor cabang bank.
SBDK adalah bunga terendah yang digunakan sebagai dasar bagi bank dalam menentukan bunga kredit yang dikenakan kepada nasabah. Tetapi SBDK belum termasuk premi risiko (risk premium). Premi risiko merupakan penilaian bank terhadap prospek pelunasan kredit oleh calon debitur dengan mempertimbangkan antara lain kondisi keuangan debitur, tenor dan prospek usaha yang dibiayai. Artinya, SBDK tidak sama dengan suku bunga kredit.
Menurut BI, kebijakan itu bertujuan untuk meningkatkan transparansi mengenai karakteristik produk perbankan termasuk manfaat, biaya dan risikonya untuk memberikan kejelasan kepada nasabah dan meningkatkan good corporate governance (GCG) dan mendorong persaingan yang sehat dalam industri perbankan nasional melalui terciptanya disiplin pasar (market discipline) yang lebih baik.
Aneka Kiat
Lagi-lagi, apa saja kiat untuk memangkas penurunan suku bunga kredit secara efektif? Pertama, mari kita bandingkan dulu suku bunga kredit ketika SBDK mulai berlaku pada Maret 2011 dengan data saat ini. Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada medio Februari 2012 mencatat bahwa suku bunga rata-rata kredit bank umum mencapai 11,49% untuk kredit modal kerja, 11,81% untuk kredit investasi dan 14,77% untuk kredit konsumsi per Maret 2011 ketika SBDK mulai efektif.
Bagaimana kini setelah 8 tahun berlalu? SPI yang terbit pada 18 Oktober 2019 menunjukkan bahwa suku bunga rata-rata kredit bank umum turun 129 bps (1,29%) dari 11,69% per Maret 2011 menjadi 10,40% per Agustus 2019 untuk kredit modal kerja sedangkan untuk kredit investasi turun 165 bps (1,65%) dari 11,81% menjadi 10,16%. Suku bunga rata-rata kredit konsumsi turun 355 bps (3,55%) dari 14,77% menjadi 11,55% pada periode yang sama.
Sarinya, selama 8 tahun suku bunga rata-rata kredit bank umum “hanya” turun antara 129 bps (1,29%) dan 355 bps (3,44%). Jangan lupa bahwa itu suku bunga rata-rata kredit yang berarti ada yang lebih rendah dan lebih tinggi. Padahal pemerintah pernah memimpikan suku bunga kredit tunggal (single digit). Mimpi tinggal mimpi.
Kedua, sebetulnya setinggi apa premi risiko (risk premium) perbankan saat ini yang dibebankan kepada nasabah? Rumusnya, pada umumnya nasabah yang memiliki potensi risiko lebih tinggi akan dibebani premi risiko lebih tinggi.
Oleh karena itu, nasabah kredit mikro akan dibebani premi risiko lebih tinggi daripada kredit lainnya seperti kredit korporasi, kredit ritel, kredit konsumsi (kredit pemilikan rumah/KPR) dan non KPR. Kok bisa? Karena sebagian besar nasabah kredit mikro tidak memiliki agunan (collateral) yang memadai dan kelengkapan laporan keuangan.
Mari kita cermati SBDK kredit mikro yang ternyata jauh lebih tinggi daripada kredit lainnya sebagaimana tampak pada Tabel di bawah ini. Sebagai contoh, SDBK BRI untuk kredit mikro 17,25% per akhir Agustus 2019 lebih tinggi daripada kredit korporasi 9,95%, kredit ritel 9,90%, KPR 9,90% dan non KPR 12%. Bank Mandiri: kredit mikro 17,75% sedangkan kredit korporasi dan kredit ritel masing-masing 9,95%m KPR 10,25% dan non KPR 12%.
Tengok pula SBDK Bank Danamon: kredit mikro 17% lebih tinggi daripada kredit korporasi 10%, kredit ritel 10,50%, KPR 10,25% dan non KPR 12%. Bank Maybank: kredit mikro 18,30%, kredit korporasi 9,75%, kredit ritel 9,75%, KPR 9,75% dan non KPR 10%.
Namun ingat bahwa SBDK itu bukan suku bunga kredit mikro. Artinya, suku bunga kredit mikro masih akan ditambah premi risiko. Coba kita amati suku bunga kredit rata-rata Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sebagai pemain kredit mikro yang unggul.
Data SPI menegaskan bahwa suku bunga kredit rata-rata BPR mencapai 25,27% untuk kredit modal kerja, 23,20% untuk kredit investasi dan 23,20% untuk kredit konsumsi. Sekarang kita bandingkan SBDK kredit mikro rata-rata mencapai 17% dengan suku bunga kredit rata-rata BPR itu.
Tampak terang benderang bahwa terdapat selisih paling rendah 6,20% (suku bunga kredit rata-rata 23,20% dikurangi SBDK 17%) atau paling tinggi 8,27% (25,27% dikurangi 17%). Selisih itu bisa dikatakan sebagai premi risiko untuk kredit mikro. Itu masih terlalu tinggi! Bagaimana mengatasinya?
Ketiga, membatasi premi risiko. Waktu itu pada sekitar medio 2014, OJK merencanakan untuk membatasi premi risiko khusus untuk kredit mikro. Ketika itu, suku bunga rata-rata kredit BPR mencapai 29,44% untuk kredit modal kerja per Juli 2014. Sementara itu, suku bunga rata-rata kredit investasi dan konsumsi masing-masing 26,02% dan 25,48% pada periode yang sama.
Sejatinya, pembatasan premi risiko itu akan meringankan sektor riil terutama sektor mikro mengingat hal itu akan menekan biaya modal (cost of capital). Artinya, sektor riil akan dapat menikmati suku bunga kredit yang lebih rendah.
Keempat, namun akhirnya rencana pembatasan itu tidak terdengar lagi sampai kini. Mengapa? Kemungkinan besar rencana ini banyak mengundang resistensi dari kalangan perbankan sendiri karena akan mengurangi margin pendapatan bunga bersih (net interest margin/NIM).
Saat ini, NIM bank umum sebagai representasi empat bank umum kegiatan usaha (BUKU) 1 hingga 4 tampak mulai mengalami kenaikan dari 3,60% per Agustus 2018 menjadi 4,25% per Agustus 2019. Sudah barang tentu, kenaikan NIM tersebut akan membuat bank mulai tersenyum. Lho? Karena semakin tinggi, semakin tinggi pula pendapatan (revenue) bank dari pendapatan bunga kredit.
Bagaimana perkembangan NIM bank umum menurut BUKU? NIM BUKU 1 (dengan modal inti di bawah Rp1 triliun) tampak mengalami penurunan dari 5,64% menjadi 5,27%. NIM BUKU 2 (modal inti Rp1 triliun sampai dengan Rp5 triliun) juga turun dari 4,95% menjadi 4,80%. Demikian pula NIM BUKU 3 (modal inti di atas Rp5 triliun hingga Rp30 triliun) pun turun dari 4,23% menjadi 3,97% sedangkan NIM BUKU 4 (modal inti di atas Rp30 triliun) turun dari 5,81% menjadi 5,47%.
Apa maknanya? NIM BUKU 4 (modal inti di atas Rp30 triliun) memegang NIM tertinggi 5,47%. BUKU 4 antara lain terdiri dari tiga bank pemerintah BRI dengan NIM 7,02%, Bank Mandiri 5,48%, BNI 4,90% dan BCA 6,20% per September 2019. Kemudian menyusul BUKU 1 dengan NIM 5,27%, BUKU 2 4,80% dan BUKU 3,97%.
Selain itu, hanya NIM BUKU 3 3,97% berada di bawah rata-rata industri 4,25%. Tiga BUKU lainnya BUKU 1, 2 dan 4 masih mampu berada di atas rata-rata industri. Pertanyaannya, mengapa semua BUKU mengalami penurunan NIM? Karena semua kelompok bank terpapar ekonomi yang kurang gizi saat ini plus ketatnya likuiditas di pasar keuangan.
Kelima, sebagai pengingat, NIM pada bank-bank di negara-negara ASEAN sekitar 4%. Untuk itu, saatnya bagi OJK untuk berani mengatur besaran NIM agar tak terlalu tinggi.
Lantas, bagaimana bank menyikapinya? Bank wajib menaikkan tingkat efisiensi yang tampak pada rasio beban operasional berbanding pendapatan operasional (BOPO). Kini BOPO bank umum memburuk dari 79,26% per Agustus 2018 menjadi 80,60% per Agustus 2019 sedikit di atas ambang batas 70-80%.
Ringkas tutur, bank umum cukup efisien. Namun, rasio itu masih terlalu tinggi daripada bank-bank di ASEAN yang berkisar 40-60%. Jadi, bank umum wajib terus mengerek tingkat efisiensi.
Dengan aneka kiat demikian, suku bunga kredit akan dapat ditekan sedemikan rupa. Apa manfaatnya? Bank akan kian efisien tetapi keuntungan tetap dapat digapai. Sektor riil akan kian menikmati suku bunga kredit yang lebih terjangkau. Itu semua bermanfaat untuk memupuk pertumbuhan ekonomi di tengah ancaman resesi. (*)
Penulis adalah Staf Ahli Pusat Studi BUMN, Pengamat Perbankan & Mantan Assistant Vice President BNI
Jakarta - Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) resmi mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin… Read More
Jakarta - PT Mandiri Sekuritas memproyeksikan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang stabil pada kisaran… Read More
Jakarta – PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel pada hari ini (22/11)… Read More
Jakarta - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2024 mencatatkan surplus sebesar USD5,9 miliar, di… Read More
Jakarta - Kapolda Sumbar Irjen. Pol. Suharyono menjelaskan kronologis polisi tembak polisi yang melibatkan bawahannya,… Read More
Jakarta – Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung mendukung langkah PLN… Read More