Oleh Anna Sardiana, Akademisi – Dosen Indonesia Banking School Jakarta
DALAM satu dekade terakhir, keuangan berkelanjutan telah menjadi agenda penting dalam pembangunan ekonomi global. Indonesia tidak berada di luar arus itu. Pemerintah dan otoritas keuangan mendorong agar sektor keuangan tidak semata mengejar pertumbuhan, tapi juga memperhatikan dampak lingkungan dan sosial.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan peta jalan keuangan berkelanjutan, mewajibkan laporan keberlanjutan bagi lembaga jasa keuangan, serta meluncurkan Taksonomi Hijau Indonesia sebagai panduan pembiayaan. Namun, di balik kemajuan regulasi itu, muncul pertanyaan mendasar: sejauh mana keuangan berkelanjutan benar-benar diwujudkan dalam praktik, bukan sekadar kepatuhan administratif?
Secara kebijakan, Indonesia tergolong progresif. Sejak 2017, lembaga jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik diwajibkan menyusun laporan keberlanjutan sebagai bagian dari upaya mengintegrasikan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) ke dalam kegiatan usaha. Tapi, berbagai kajian menunjukkan bahwa sebagian besar laporan masih berfokus pada narasi komitmen dan program, sementara informasi mengenai perubahan substansial dalam arah pembiayaan relatif terbatas.
Dalam sektor energi terbarukan, dukungan pembiayaan telah mulai terlihat. Proyek pembangkit listrik tenaga surya atap, mini hidro, dan bioenergi sering dijadikan contoh praktik pembiayaan berkelanjutan. Namun, secara proporsional, porsi pembiayaan energi terbarukan diperkirakan masih di bawah 5 persen dari total pembiayaan sektor energi.
Baca juga: Dana Rilis Laporan Keberlanjutan, 43% Pengguna Unbanked dan 86% dari Kota Kecil
Sementara itu, kontribusi energi terbarukan dalam bauran energi nasional masih berada di kisaran belasan persen, jauh dari target jangka menengah pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa meski secara retoris didukung, energi terbarukan belum menjadi arus utama dalam portofolio pembiayaan.
Sebaliknya, dalam bisnis batu bara, paradoks keuangan berkelanjutan terlihat lebih jelas. Meskipun komitmen transisi energi terus digaungkan, pembiayaan terhadap rantai bisnis batu bara-baik pertambangan, infrastruktur pendukung, maupun pembangkit Listrik-masih memiliki porsi signifikan.
Berbagai estimasi menunjukkan bahwa lebih dari 20 persen pembiayaan sektor energi nasional masih terkait langsung atau tidak langsung dengan batu bara. Eksposur terhadap proyek yang sudah berjalan tetap dipertahankan atas nama stabilitas ekonomi dan kepastian kontrak, meskipun beberapa lembaga menyatakan pembatasan pembiayaan batu bara baru.
Kondisi ini menunjukkan bahwa tantangan utama keuangan berkelanjutan di Indonesia bukan pada ketiadaan regulasi, melainkan pada pendekatan implementasi yang masih berorientasi pada kepatuhan. Banyak lembaga keuangan menilai keberhasilan keuangan berkelanjutan dari jumlah laporan atau proyek hijau, bukan dari seberapa besar persentase portofolio yang benar-benar beralih dari sektor berisiko tinggi menuju sektor berkelanjutan.
Taksonomi Hijau Indonesia dirancang untuk menjembatani kesenjangan ini. Dengan mengklasifikasikan aktivitas ekonomi berdasarkan dampak lingkungannya, taksonomi diharapkan menjadi acuan dalam pengambilan keputusan pembiayaan. Tapi, selama taksonomi belum terintegrasi dengan insentif fiskal, perlakuan risiko, atau biaya modal, pengaruhnya tetap terbatas. Pembiayaan hijau yang porsinya masih satu digit akan terus kalah bersaing dengan sektor konvensional yang telah mapan.
Implikasi kondisi ini semakin terasa secara global. Investor internasional kini tidak hanya menilai keberadaan laporan ESG, tapi juga konsistensi antara komitmen dan alokasi pembiayaan. Di tingkat global, aset kelolaan berbasis ESG terus tumbuh dan mencapai puluhan persen dari total aset kelolaan. Dalam konteks ini, negara dan institusi yang masih mempertahankan eksposur tinggi terhadap energi fosil berisiko menghadapi peningkatan biaya modal dan menurunnya minat investasi.
Padahal, keuangan berkelanjutan menawarkan peluang besar. Transisi menuju ekonomi rendah karbon membutuhkan investasi dalam skala besar, mulai dari energi terbarukan, efisiensi energi, hingga infrastruktur hijau. Jika porsi pembiayaan hijau dapat ditingkatkan dari satu digit menjadi dua digit dalam beberapa tahun ke depan, dampaknya terhadap arah pembangunan ekonomi akan jauh lebih signifikan.
Baca juga: Bank Mandiri (BMRI) Buka Penawaran Awal Obligasi Keberlanjutan Rp5 Triliun
Dalam konteks itu, keuangan berkelanjutan sejatinya bukan sekadar instrumen teknis sektor keuangan, melainkan cerminan pilihan arah pembangunan nasional. Ia menentukan ke mana aliran modal diarahkan dan nilai apa yang ingin ditegakkan dalam pertumbuhan ekonomi. Selama pembiayaan hijau masih berada di kisaran satu digit, sementara eksposur terhadap sektor berisiko lingkungan tetap signifikan, kesenjangan antara komitmen dan praktik akan terus menjadi pekerjaan rumah bersama.
Ke depan, tantangan terbesar Indonesia bukan pada ketiadaan kebijakan, melainkan pada keberanian untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut benar-benar mengubah perilaku pasar. Keuangan berkelanjutan akan menemukan maknanya ketika ia tidak hanya hadir dalam regulasi dan laporan, tapi juga tercermin dalam pergeseran nyata alokasi pembiayaan. Di situlah keuangan berkelanjutan dapat berfungsi sebagai jembatan antara pertumbuhan ekonomi dan tanggung jawab antargenerasi.
– Artikel ini merupakan hasil refleksi dari training Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia yang diselenggarakan oleh OJK dan LPPI.
– Angka-angka persentase yang digunakan dalam tulisan ini merujuk pada kompilasi berbagai laporan publik dan kajian kebijakan, antara lain laporan tahunan dan laporan keberlanjutan perbankan nasional, publikasi Otoritas Jasa Keuangan mengenai keuangan berkelanjutan, serta ringkasan kajian lembaga internasional dan nasional terkait pembiayaan energi dan transisi energi di Indonesia. Karena perbedaan metodologi dan klasifikasi, angka disajikan dalam bentuk kisaran untuk mencerminkan tren umum, bukan klaim statistik absolut.
Poin Penting Kredit Bank Mandiri naik 13,1% menjadi Rp1.452 triliun. DPK tumbuh 15,9% dengan aset… Read More
Poin Penting STRK agresif ekspansi ke pasar ekspor di tengah lesunya pasar domestik. Capex Rp10… Read More
Poin Penting IHSG melemah 0,83% pada pekan 22–24 Desember 2025 ke level 8.537,91, seiring turunnya… Read More
Poin Penting IHSG melemah 0,83% pada pekan 22–24 Desember 2025 dan ditutup di level 8.537,91.… Read More
Poin Penting STRK menggandeng Coco Bali Pte Ltd untuk memperkuat ekspansi global melalui peluncuran tiga… Read More
Poin Penting UMP 2026 telah ditetapkan di 38 provinsi berdasarkan PP Nomor 49 Tahun 2025,… Read More