Ketua Asprindo: Perlu Reorientasi dan Restrukturisasi Kabinet Secara Menyeluruh

Ketua Asprindo: Perlu Reorientasi dan Restrukturisasi Kabinet Secara Menyeluruh

Jakarta – Dalam kurun waktu 2014-2021 Presiden Joko Widodo telah melakukan 5 kali perombakan kabinet, masing-masing Agustus 2015, Juli 2016, Januari 2018, Agustus 2018 dan Desember 2020. Reshuffle berikutnya diprediksi terjadi dalam waktu dekat menyusul hasil ketetapan Rapat Paripurna DPR RI ke-16, 9 April 2021 tentang penggabungan Kemristek dengan Kemdikbud dan Kementerian Investasi dari Penciptaan Lapangan Kerja.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum ASPRINDO (Asosiasi Pengusaha Bumiputera Nusantara Indonesia), Jose Rizal, menyebut bahwa kementerian baru merupakan langkah awal yang baik apabila dikaitkan dengan sasaran pokok Kabinet Indonesia Maju (2019–2024) dalam meletakkan dasar-dasar yang kuat transisi Indonesia memasuki pintu gerbang negara maju. “Sejak awal orde reformasi melalui pergantian sejumlah kepala negara, komposisi dan nomenklatur kabinet tidak pernah dievaluasi secara menyeluruh, apakah masih sesuai dengan dinamika dan tantangan pembangunan atau tidak. Setiap presiden terpilih hanya disibukkan dengan calon figur anggota kabinet,” urainya seperti dikutip Sabtu, 17 April 2021.

Tiga Masalah Krusial

Jose Rizal yang saat ditemui didampingi anggota Dewan Pakar ASPRINDO Deibel Effendi, dan Ketua Departemen Pengembangan Bisnis ASPRINDO Ana Mustamin, berpendapat, paling sedikit terdapat 3 hal pokok yang selama 4 dekade lebih mempengaruhi kinerja kabinet yakni masalah link and match, koordinasi dan kebijakan satu pintu, serta harmonisasi komposisi kabinet. 

“Persoalan mendasar link and match terkait dengan tingginya pengangguran terdidik akibat irrelevansi antara muatan akademis dan kebutuhan dunia kerja. Ini akibat tidak terintegrasinya kementerian yang menangani pendidikan dan kementerian yang menangani perluasan lapangan kerja,” paparnya.

Kerena itu, untuk menghilangkan isu link and match maka menurut Jose, Kemendikbud justru harus digabung dengan Kemnaker. Penggabungan Kemdikbud dengan Kemristek menurutnya tetap meninggalkan masalah irrelevansi pendidikan dengan kebutuhan kerja karena perkembangan dan dinamika kompetensi kerja seiring dengan kecepatan kemajuan teknologi harus diintegrasikan ke dalam kurikulum, bukan ke Kementerian Investasi.

Terkait masalah koordinasi, Jose melihat  sebagai isu krusial. Setiap implementasi keputusan pemerintah berjalan lambat karena adanya benturan benteng birokrasi. Sebagai contoh, sektor kepemudaan yang ditangani Kemenpora programnya tersebar di lebih dari 20 K/L, sektor UMKM yang ditangani oleh Kemenkop UMKM program kerja tersebar di 17 Kementerian, Sektor Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang ditangani Kemenparekraf programnya tersebar di 17 K/L dan sama sekali sulit untuk disatukan di bawah satu atap kebijakan. “Hal ini jelas menciptakan inefisiensi APBN dan tumpang tindih,” jelasnya. 

Harmonisasi komposisi kabinet, menurut Jose merupakan hal paling mendasar yang justru harus dipersiapkan pada periode ke-II Presiden Jokowi. Kebijakan harmonisasi komposisi kabinet harus dilakukan secara menyeluruh dan tidak sebagian-sebagian seperti yang ditetapkan oleh Sidang Paripurna DPR-RI. “Jangan sampai ada kesan pengajuan merger dari kementrian baru tidak by design namun by accident,” tegasnya. 

Untuk itu, Jose menyebut perlunya reorientasi dan restrukturisasi Kabinet secara menyeluruh. Ia mencontohkan nomenklatur kementerian baru, seperti Kementerian Koordinator Produksi dan Distribusi; Kementerian Industri dan Pedagangan Internasional; Kementerian Pendidikan, Budaya dan Perluasan Lapangan Kerja; Kementerian Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Petani, dll. “Nanti kalau pemerintah butuh bantuan, ASPRINDO siap bantu. Ini di samping saya, Pak Deibel dan bu Ana, pikirannya bisa banget digunakan untuk membantu merumuskan konsep dasar,” Jose tersenyum lebar menutup perbincangan. (*)

Related Posts

News Update

Top News