Jakarta – Kinerja Kementerian Pertanian (Kementan) di bawah komando Menteri Pertanian Amran Sulaiman kembali dipertanyakan sejumlah pihak. Klaim keberhasilan terkait dengan sasembada, perluasan lahan pertanian, bibit, pupuk dan peptisida yang ditujukan untuk memperkuat ketahan pangan dinilai sekadar klaim semata.
Direktur Centre For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi seperti dikutip dalam keterangannya, di Jakarta, Minggu, 18 Februari 2018 menilai, kebijakan impor beras sejatinya menunjukan ada yang salah dari pengelolaan produksi beras untuk ketahanan pangan. Seperti ketidakjelasan data stok beras yang disampaikan oleh pihak Kementan.
“Padahal perlu informasi yang akurat dan valid terkait ketersediaan beras. Harus akurat, jika tidak ya berarti kinerjanya mentan jelek,” ujarnya.
Permasalahan soal kebijakan impor beras menurutnya bukanlah hal yang baru. Di bawah pemerintahan Joko Widodo dan kepemimpinan Amran di Kementerian Pertanian dan di tengah-tengah seringnya Presiden blusukan ke sawah petani, pemerintah hanya mampu menghasilkan kebijakan impor beras sebanyak 2,9 juta ton dengan nilai sekitar Rp16,9 trliliun.
“Seharusnya Mentan memang dicopot. Jadi terlihat gak profesional sekali, ia tidak ditegur sementara menteri yang lain ditegur. Padahal kerjanya nilainya di bawah 5 lah, gak wajar jadi menteri,” keluhnya.
Baca juga: BI Dorong Pemda DKI Terbitkan Perda Ketahanan Pangan
Secara umum, dirinya melihat, bahwa sejauh ini tidak ada program di Kementan yang berjalan dengan baik dan sesuai tujuan. Ia malah mengingatkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang sempat menyatakan dalam auditnya, Kementan perlu mengklarifikasi masalah di pengadaan benih, lahan, dan pestisida.
“Harusnya hal ini ditanggapi. BPK harus bawa ke ranah hukum kalau tak ditanggapi,” serunya.
Di sisi lain, lanjut dia, terkait dengan program cetak sawah, Uchok melihat hal ini tidak juga terealisasi sesuai dengan target dan tujuan. Pasalnya, pengelolaan program di Kementan ini tak berjalan sebagaimana mestinya, begitu juga dengan koordinasi yang dianggap sangat kurang.
“TNI dilibatkan, tapi gak berjalan. Makanya yang harus dilibatkan itu masyarakat, kalau TNI biar urus soal pertahanan deh, gak usah di bawa-bawa kesitu. Gak bakal efektif, justru menggangu kerja (utama) TNI saja,” tuturnya.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira di kesempatan berbeda menilai, kegaduhan soal data produksi beras yang ternyata berbeda dari kata-kata Mentan Amran, yang mengatakan surplus, merupakan kesalahan fatal. Ia melihat kesalahan ini perlu dilakukan evaluasi total terhadap kinerja sang Menteri.
“Dari situ saya rasa perlu evaluasi total. Evaluasi total itu ya perombakan kabinet,” paparnya.
Data produksi yang membuat pemerintah terlena dikatakannya menjadi puncak kesalahan Mentan. Pasalnya selama ini, sebagai Menteri, Amran dinilai tak mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Hal ini terbukti dari nilai tukar petani yang cenderung stagnan dalam beberapa tahun terakhir.
“Penekannya lebih ke arah menteri pertanian yang lebih bertanggung jawab. Soalnya selama ini kan kita selalu dibilang surplus untuk berbagai komoditas, misalnya beras,” tutup Bhima. (*)
Jakarta - Perusahaan pembiayaan PT Home Credit Indonesia (Home Credit) terus berupaya meningkatkan inklusi keuangan… Read More
Jakarta - Hilirisasi nikel di Pulau Obi, Maluku Utara membuat ekonomi desa sekitar tumbuh dua… Read More
Jakarta - Menteri Koperasi (Menkop) Budi Arie Setiadi mendukung langkah Induk Koperasi Unit Desa (Inkud)… Read More
Jakarta - PT Bank Central Asia Tbk (BCA) untuk pertama kalinya menggelar kompetisi Runvestasi pada… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) memberi tanggapan terkait penutupan Indeks Harga Saham Gabungan… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) bersama Self-Regulatory Organization (SRO), dengan dukungan dari Otoritas… Read More