Jakarta – Direktur Next Policy Yusuf Wibisono menyampaikan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 berpotensi memperburuk kesenjangan ekonomi.
Menurutnya, kebijakan tersebut lebih bersifat regresif dibandingkan pajak penghasilan (PPh) dan orang miskin menanggung beban pajak lebih besar dari orang kaya.
“PPN lebih bersifat regresif karena dibayarkan saat pendapatan dibelanjakan untuk barang dan jasa dengan tarif tunggal terlepas berapapun tingkat pendapatan konsumen. Karena itu setiap kenaikan tarif PPN akan berimplikasi pada kesenjangan yang semakin tinggi,” ujar Yusuf dikutip Selasa 24 Desember 2024.
Ia menjelaskan bahwa dari estimasi pengeluaran rumah tangga pada 2023, dengan tarif PPN 11 persen, konsumen kategori miskin menanggung beban pajak sebesar 5,56 persen dari pengeluaran mereka, sedangkan konsumen kelas atas menanggung 6,54 persen.
“Beban PPN yang hampir merata ini menunjukkan bahwa kenaikan tarif menjadi 12 persen akan semakin menekan daya beli kelompok miskin dan menengah,” jelasnya.
Simulasi Next Policy menunjukkan bahwa beban PPN terbesar justru ditanggung oleh kelas menengah. Dari estimasi total beban PPN Rp294,2 triliun pada 2023, sekitar 40,8 persen atau senilai Rp120,2 triliun dibayar oleh kelas menengah, yang hanya mencakup 18,8 persen dari total jumlah penduduk.
“Kelas menengah yang sudah mengalami tekanan ekonomi besar akan semakin tergerus oleh kebijakan ini,” tegas Yusuf.
Kenaikan tarif PPN 12 persen ini juga akan melemahkan ketahanan ekonomi sebagian besar masyarakat yang kondisinya semakin rapuh, bahkan kelas menengah yang memiliki ketahanan ekonomi tinggi.
Yusuf menjelaskan pasca kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada 2022 menunjukkan penyusutan jumlah penduduk kelas menengah dari 56,2 juta orang atau 20,68 persen pada Maret 2021 menjadi 52,1 juta orang atau 18,83 persen pada Maret 2023.
“Penduduk kelas menengah ini jatuh ke kelas ekonomi yang lebih rendah dengan ketahanan ekonomi yang semakin lemah,” ungkap Yusuf.
Sementara itu, penduduk calon kelas menengah melonjak dari 139,2 juta orang atau 51,27 persen pada Maret 2021 menjadi 147,8 juta orang atau 53,41 persen pada Maret 2023.
Yusuf menambahkan, dampak negatif Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada 2025 dipastikan akan semakin menekan daya beli masyarakat yang terlihat semakin melemah, terutama kelas menengah dan kelas bawah. Kejatuhan daya beli masyarakat telah melemahkan pertumbuhan ekonomi dalam tahun-tahun terakhir, terutama pasca kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen pada 2022.
“Setelah tumbuh 5,31 persen pada 2022, pertumbuhan ekonomi Indonesia melemah menjadi 5,05 persen pada 2023. Bahkan, dengan adanya dorongan pemilu pada 2024, pertumbuhan diperkirakan tetap stagnan di kisaran 5 persen,” ujar Yusuf.
Baca juga: PDIP Ubah Sikap, Kini Dukung Kenaikan PPN jadi 12 Persen pada 2025
Baca juga: PPN 12 Persen QRIS Dibebankan ke Pedagang, Siap-siap Harga Barang Bakal Naik
Selain itu, Yusuf memperingatkan bahwa kenaikan tarif PPN 12 persen akan mendorong inflasi yang tidak akan ringan.
“PPN berlaku secara masif pada mayoritas barang dan jasa, sehingga kenaikan tarif ini akan memberikan tekanan psikologis pada harga barang secara umum,” katanya.
Bahkan, barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan dan listrik pelanggan rumah tangga, yang selama ini dibebaskan PPN, kini akan terkena PPN 12 persen ketika dipandang pemerintah ‘tergolong mewah’.
“Tekanan kenaikan tarif PPN pada tergerusnya daya beli masyarakat karena banyaknya barang dan jasa yang secara resmi bukan kebutuhan pokok namun secara empiris telah menjadi ‘kebutuhan pokok’ masyarakat dan terkena kenaikan tarif PPN ini seperti pakaian, sabun, pulsa internet, hingga layanan transaksi dengan uang elektronik,” pungkas Yusuf.
Di sisi lain, pemerintah berencana meluncurkan paket stimulus untuk kesejahteraan sebagai kompensasi, termasuk bantuan beras selama dua bulan untuk 16 juta keluarga, diskon tarif listrik 50 persen untuk pelanggan dengan daya hingga 2200 VA selama dua bulan, dan perpanjangan PPh final 0,5 persen untuk UMKM hingga 2025.
“Namun kompensasi yang terbatas dan jangka pendek seperti demikian, tentu tidak akan sepadan dan memadai untuk mengkompensasi kenaikan tarif PPN yang bersifat permanen,” beber Yusuf.
Ia juga menyoroti pemberian insentif kepada kelas atas, seperti insentif PPN senilai Rp15,7 triliun untuk pembelian kendaraan listrik dan pembelian rumah hingga Rp5 miliar, yang dinilai tidak sejalan dengan prinsip keadilan pajak.
“Kompensasi yang diberikan pemerintah tidak cukup untuk menutupi tekanan ekonomi yang akan dirasakan masyarakat akibat kenaikan tarif PPN ini. Bahkan, kebijakan insentif untuk kelas atas justru menunjukkan ketimpangan dalam prioritas kebijakan pemerintah,” tandasnya. (*)
Editor: Galih Pratama
Jakarta – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengangkat Yon Asral sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua… Read More
Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) melalui Direktorat Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (Ditjen IKMA)… Read More
Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan dua nama baru sebagai tersangka dalam pengembangan… Read More
Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 27 Tahun 2024 tentang… Read More
Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membeberkan proses pengembangan kegiatan usaha bullion atau usaha yang berkaitan dengan… Read More
Jakarta - PT Bank CIMB Niaga Tbk (CIMB Niaga) mengoptimalkan fasilitas digital banking yang dimiliki sebagai alternatif… Read More